JAKARTA- Jaksa Agung, Muhammad Prasetyo terkesan tidak pernah optimal dalam memanfaatkan kewenangan yang diberikan oleh UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM kepada institusinya. Seperti tindakan penangkapan (Pasal 11 ayat [1]), penahanan (Pasal 12 ayat [1]), pembentukan penyidik ad hoc dari masyarakat (Pasal 21), hingga keseriusan dalam mengelola materi penuntutan (Pasal 23) ke Pengadilan HAM.
Hal ini disampaikan oleh Deputi Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (25/7) untuk memperingati Hari Bhakti Adhyaksa yang jatuh pada 22 Juli 2016 yang menandai 56 tahun masa bakti Kejaksaan Republik Indonesia di negeri ini.
Untuk itu Presiden Joko Widodo diminta segera memberikan instruksi kepada Jaksa Agung, untuk segera mengambil langkah-langkah sesuai mandat dan wewenang yang dimilikinya, demi penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang adil dan bermartabat, sesuai dengan komitmen politik yang tercantum dalam Nawacita.
“Peringatan tahun ini bertepatan dengan dua hari setelah diumumkannya hasil final sidang Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal-IPT) 1965 yang telah diselenggarakan pada bulan September tahun 2015 lalu dan penyerahan hasil laporan penyelidikan Kasus Simpang KKA (Kertas Kraft Aceh) 1999, oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ke Jaksa Agung,” ujarnya.
Menurutnya di tengah dua momentum tersebut, Kejaksaan RI dihadapkan pada persoalan besar yang tidak hanya menantang profesionalisme lembaga kejaksaan, namun juga menguji sejauh apa kesetiaan, kesempurnaan dan kebijaksanaan (satya adi wicaksana) benar-benar diwujudkan dalam kerja-kerja peradilannya.
“Penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu menjadi batu uji tentang sejauh apa komitmen Kejaksaan RI menjalankan mandat UUD 1945 sebagai perwujudan dari komitmen Negara Hukum. Akan tetapi, historiografi penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu memperlihatkan performa buruk yang ditampilkan kejaksaan dalam menghadirkan keadilan di tengah-tengah para korban pelanggaran HAM,” ujarnya.
Untuk itu menurutnya Kejaksaan Republik Indonesia segera mengambil langkah-langkah hukum yang efektif dan strategis dalam rangka penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu, dengan menindaklanjuti laporan hasil penyelidikan yang telah diserahkan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
“Kejaksaan Republik Indonesia harusnya segera menyusun langkah-langkah hukum yang adil dan restoratif terhadap para korban dan keluarga penyintas kasus-kasus pelanggaran yang HAM berat di masa lalu,” tegasnya.
Ia mengingatkan agar Pemerintahan Joko Widodo memastikan adanya akuntabilitas dan transparansi hukum, sebagaimana tercantum di dalam dokumen visi-misi Kejaksaan RI, dalam setiap proses penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Dari seluruh laporan kasus yang diserahkan oleh Komnas HAM, hanya Kasus Tanjung Priok 1984 dan Kasus Timor-Timor yang disidangkan melalui Pengadilan HAM Ad hoc, dan Kasus Abepura, Papua di Pengadilan HAM.
Belum Ditindaklanjuti
Sementara itu Peneliti ELSAM, Miftah Fadhli menyampaikan, sejumlah kasus masa lalu yang hasil penyelidikannya belum ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung antara lain adalah Kasus Trisakti, Tragedi Mei 1998, Semanggi I dan II, Penghilangan Aktivis 1998-1999, Peristiwa 1965-1966, dan Penembakan Misterius 1982-1985. Situasi ini mempertontonkan kegagalan institusi Kejaksaan RI dalam merangkul paradigma keadilan transisional dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu.
Bagi Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), kegagalan itu terbaca dalam dua dimensi. Pertama, kegagalan lembaga kejaksaan dalam mengelola-diri di tengah-tengah konjungtur sosial-politik demi mempertahankan transparansi, akuntabilitas, imparsialitas dan keadilan. Kedua, kegagalan Kejaksaan RI untuk memahami dirinya dalam konteks semangat keadilan transisional yang memiliki tugas dan kewenangan sebagai institusi peradilan.
Jaksa Agung menurutnya terkesan tidak pernah optimal dalam memanfaatkan kewenangan yang diberikan oleh UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM kepada institusinya. Seperti tindakan penangkapan (Pasal 11 ayat [1]), penahanan (Pasal 12 ayat [1]), pembentukan penyidik ad hoc dari masyarakat (Pasal 21), hingga keseriusan dalam mengelola materi penuntutan (Pasal 23) ke Pengadilan HAM.
“Dalam usia yang semakin tua, Kejaksaan RI harus segera membenahi institusinya dalam rangka melakukan reformasi kelembagaan, guna menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu, yang semakin hari semakin mendesak untuk segera dituntaskan,” ujarnya. (Max K. Lasut)