Rabu, 16 Juli 2025

Singkirkan Konflik Kepentingan Dalam Konsil Kedokteran Indonesia *

Oleh: Dr. dr. Judilherry Justam, MM,ME **

KONSIL Kedokteran Indonesia adalah suatu badan otonom, mandiri, non-struktural, dan bersifat independen yang terdiri dari Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi. Pasal 4 ayat 1 UU No. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran menyebutkan bahwa Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dibentuk“untuk melindungi masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dari dokter dan dokter gigi”.

Dengan demikian misi yang ditugaskan ke KKI ini sejatinya sangat berat. KKI harus menjadi regulator yang baik untuk mengawasi kinerja OP (Organisasi Profesi) seperti IDI, PDGI, MKKI, MKKGI, Kolegium dan berbagai asosiasi seperti AIPKI dan ARSPI, sebagai pihak yang diregulasi. Oleh karena itu KKI harus dapat independen dari berbagai pihak yang diawasi dan tentunya harus juga independen dari pemerintah.

Keanggotan KKI menurut Pasal 14 ayat (1) UU No. 29 Tahun 2004 disebutkan bahwa jumlah anggota KKI 17 (tujuh belas) orang yang mewakili Organisasi Profesi Kedokteran/Kedokteran Gigi, KolegiumKedokteran/KedokteranGigi dan Asosiasi-Asosiasi Rumah Sakit dan Institusi Pendidikan, Pemerintah serta Tokoh Masyarakat.

Anggota Konsil Kedokteran saja ada 7 (tujuh) orang terdiri dari 2 (dua) orang wakil IDI, 1 (satu) orang wakil Kolegium,masing-masing satu orang wakil AIPKI dan ARSPI, serta masing-masing 1 (satu) orang wakil Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan.

Demikian juga anggota Konsil Kedokteran Gigi juga terdiri dari 7 (tujuh). Selebihnya 3 (tiga) orang wakil masyarakat. Bagaimana posisi masing-masing unsur dalam Kolegium Kedokteran dalam menyusun kebijakan KKI.

Unsur-unsur dalam Kolegium Kedokteran Posisi masing-masing unsur Wakil IDI – 2 (dua) orang jelas mengikuti sikap PB-IDI. Wakil Kolegium – 1 (satu) orang praktis mengikuti suara IDI karena Kolegium dibentuk oleh IDI. Wakil AIPKI – 1 (satu) orang dapat dikatakan proxy IDI. Wakil ARSPI – 1 (satu) orang Lebih mendengarkan pendapat IDI. Wakil Kemenkes – 1 (satu) orang menjalankan tugas secara netral. Wakil Kemendikbud – 1 (satu) orang menjalankan tugas secara netral.

Catatan: Menyangkut kebijakan kedokteran dan kesehatan, posisi wakil masyarakat umumnya netral, kecuali bila menyangkut kepentingan masyarakat banyak. AIPKI dapat dikatakan sebagai proxy IDI antara lain didasarkan atas adanya surat AIPKI yang ditujukan pada Dirjen Belmawa Kemendikbudristek tertanggal 25 Juni 2018 yang menyebutkan bahwa “karena revisi UU DIKDOK sudah masuk dalam prolegnas 2018, maka diminta agar semua pembicaraan mengenai DLP ditunda sampai revisi UU selesai.”

Sungguh tidak masuk akal permintaan AIPKI ini. Katakanlah RUU sudah masuk Prolegnas, tentunya draft RUU akan dibahas dulu oleh BALEG, kemudian diajukanke rapat paripurna untuk disetujui. Kemudian pimpinan DPR akan mengirimkan draftnya ke Presiden agar Presiden mengirim DIM (Daftar Isian Masalah) ke DPR untuk kemudian Komisi X akan membahasnya bersama dengan Kementerian terkait.

Dengan demikian AIPKI menghendaki selama RUU dibahas, UU yang saat ini berlaku tidak usah dijalankan dulu. Biarkanlah terjadi kekosongan hukum. Sungguh absurd usulan AIPKI seperti ini. Surat AIPKI ini yang memberi kesan bahwa AIPKI merupakan proxi-nya IDI.

Dengan komposisi keanggotaan Konsil Kedokteran seperti di atas praktis IDI mendominasi KKI. Dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam KKI yang harus diselesaikan dengan voting, suara IDI selalu menang.

Konflik Kepentingan

Dalam sejumlah kasus berikut di bawah ini, terkesan bahwa KKI periode yang lalu terkooptasi oleh IDI:

1. Menkes Prof. Nila Moeloek dalam suratnya tertanggal 22 Februari 2017 meminta Ketua KKI untuk mengambil sikap mengenai posisi Ketua PB IDI Prof. I. O. Marsis yang merangkap jabatan sebagai anggota KKI, karena rangkap jabatan dilarang oleh undang-undang. Jawaban Ketua KKI Prof. Bambang Supriatno tidak ada masalah jabatan rangkap dan menyatakan juga bahwa dalam hubungan ini juga tidak ada konflik kepentingan.

Seperti kita ketahui kemudian Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara No. 10/PUU-XV/2017 menyetujui permohonan judicialreview untuk mencopot posisi Ketua UmumPB-IDI Prof. Marsis dari keanggotaan KKI dengan alasan adanya konflik kepentingan antara IDIsebagai pihak yang diregulasi dan Ketua IDI sebagai regulator di KKI.

2. KKI begitu saja menerbitkan STR setelah menerima Sertifikat Kompetensi dari KolegiumDokterIndonesia tanpamerasa perlu untuk memverifikasi kelaikan Serkom yang diterbitkan, termasuk Sertifikat Kompetensi dokter yang lulus dariUKDI versi KDPI November 2014 dan Maret 2015 yang patut diduga telah melanggar peraturan perundang-undangan serta ketentuan yang ada.

3. KKI tidak pernah mengawasi atau mengontrol pelaksanaan P2KB/CPD yang dilaksanakan oleh IDI sehingga unit CPD di KKI tidak bisa berfungsi.

4. KKI menyurati Dirjen Belmawa Kemendikbudristek untuk menyelesaikan RPP UU No. 12 Tahun 2013 tanpa memasukkan DLP, sesuai dengan kemauan IDI yang menginginkan agar DLP dikeluarkan dari pembahasan RPP UU No. 12 Tahun 2013.

Dari beberapa contoh di atas terlihat jelas adanya konflik kepentingan posisi IDI sebagai Komisioner KKI dan IDI sebagai pihak yang merupakan salah satu objek dari regulasi KKI.

Apakah sebetulnya konflik kepentingan itu? Konflik Kepentingan adalah persinggungan yang terjadi antara kepentingan professional dengan kepentingan pribadi atau kelompok ketika seseorang berada pada posisi yang memerlukan kepercayaan.

Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Perkara No. 10/PUU-XV/2017 yang menyidangkan permohonan Uji Materi UU No. 29 Tahun 2004 dari sekelompok anggota Pemerhati Pendidikan Kedokteran dan Pelayanan Kesehatan menyebutkan “Pengisian anggota KKI harus mempertimbangkan tugas KKI yang berpotensi bersinggungan dengan kepentingan institusi asal anggota KKI”.

Organisasi profesi dokter, dalam hal ini IDI, merupakan objek yang diregulasi KKI karena para dokter yang merupakan anggota IDI merupakan objek dari regulasi. Di sisi lain sesuai dengan UU, IDI sebagai organisasi profesi juga merupakan salah satu institusi asal anggota KKI. Keadaan ini menimbulkan potensi konflik kepentingan dari sisi IDI. IDI bertindak sebagai regulator dalam menjalankan fungsi sebagai anggota KKI, pada saat yang sama jugamenjadi objek regulasi yang dibuat oleh KKI tersebut.

Download: IDI MAU DIBAWA KE MANA?

Dalam praktek global kita sulit menjumpai adanya asosiasi dokter (medical association) yang menjadi anggota Konsil Kedokteran (Medical Council). Sebagai contoh:

1. Keanggotaan GMC di Inggris bertanggung jawab pada Ratu, dipilih secara individu dari dokter-dokter yang terdafar di GMC.

2. Singapore Medical Council (SMC) di Singapura berada di bawah Kemenkes terdiri dari 2 (dua) praktis medis darisetiap FK yang terakreditasi, 12 praktisi medis yang dipilih oleh dokter yang teregister di SMC dan 8 praktisi medis yang ditunjuk oleh Menkes.

3. Medical Council di Selandia Baru juga berada di bawah Kemenkes, keanggotaannya terdiri dari 13 (tiga belas) orang, mayoritas anggota adalah dokter, selain itu terdapat beberapa orang awam.

4. Medical Council di Canada adalah badan publik yang independen, 50 anggota Konsil yang terdiri dari wakil regulatory authority setiap provinsi, seorang wakil dari FK-FK, 5 orang wakil masyarakat, 2 wakil mahasiswa S1 dan S2.

Walaupun terdapat beberapa variasi keanggotaan konsil kedokteran dari contoh di atas, tetapi jelas sama sekali tidak ada perwakilan organisasi profesi dokter (medical association) dalam Konsil Kedokteran negara masing-masing. Hal ini semata-mata untuk menghindari timbulnya potensi konflik kepentingan.

Makanya menjadi sangat aneh kalau Ketua KKI Prof. Bambang Supriatno dalam menjawab surat Menkes Prof. Nila Moeloek mengatakan tidak ada konflik kepentingan bila Ketua Umum IDI Prof. Marsis merangkap duduk sebagai salah seorang komisioner KKI.

—–

* Artikel ini dimuat Bergelora.com diambil atas seijin penulis dari Pengantar Buku Komika berjudul “IDI Mau Dibawa Kemana?” yang ditulis dan disusun oleh Dr. dr. Judilherry Justam, MM, ME dan Dr. Pandu Riono, MPH, PhD

** Penulis, Dr. Judilherry Justam adalah seorang aktivis mahasiswa 1974. Bersama Syahrir, Hariman Siregar, Muhammad Aini Chalid, dan lainnya, Judilherry merupakan tokoh utama peristiwa Malari pada 15 Januari 1974. Sebelum peristiwa bersejarah tersebut, ia merupakan Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DM UI), lalu kemudian menjabat Sekteraris Jenderal Dema UI, setelah Hariman Siregar terpilih jadi ketua melalui pemilihan yang diintervensi pemerintahan Orde Baru melalui Ali Murtopo. Judilherry juga merupakan Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran UI periode 1973 – 1974.

Karena peristiwa Malari, Judilherry bersama beberapa tokoh mahasiswa lainnya kemudian dipenjara oleh rezim penguasa masa itu.

Menjelang sidang umum MPR tahun 1978, Judil pernah mendatangi Adam Malik yang kala itu nenjabat sebagai Ketua MPR, dan menyatakan akan mencalonkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia. Kala itu, ia belum genap berusia 30 tahun dan baru saja lulus dokter. Ia merasa terpanggil untuk mencalonkan diri menjadi presiden karena gemas, tak ada satu tokoh pun yang berani mencalonkan diri sebagai presiden menantang Soeharto.

Saat ini Judil menjadi dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan menjadi Dewan Penasehat Forum Dokter Susah Praktek (FDSP) dan ikut serta menyiapkan dan mendorong Rancangan Undang-Undang Kesehatan (Omnibus Law)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru