Oleh: Captain (Pilot) Eky Adriansjah
Merebaknya berita tentang ‘pemogokan’ (baca : menolak terbang) yang dilakukan oleh pilot Lion Air pada tanggal 10 Mei 2016 adalah sebuah fenomena gunung es dalam hubungan kerja (industrial) antara managemen dan pilot Lion Air yang memang sejak lama berjalan kurang harmonis.
Penolakan terbang tersebut sebenarnya terkait sejumlah tuntutan atas permasalahan yang dikeluhkan oleh para pilot Lion Air, tidak semata urusan ‘uang transport’ belaka sebagaimana diberitakan oleh beberapa media. Medium penyelesaian perselisihan hubungan Industrial yang disediakan oleh Undang-undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Ketetenagakerjaan yaitu Tripartit ini adalah jalan yang ditempuh oleh Serikat Pekerja Asosiasi Pilot Lion Group ini setelah beberapa kali perundingan bipartit (dua pihak antara majikan dan pekerja) yang ditawarkan SP APLG berujung pada macetnya perundingan. Pihak manajemen cenderung menutup pintu perundingan bahkan menolak tunduk pada UU ketenaga kerjaan dan bersikukuh bahwa hubungan kerja antara majikan dan pekerja dalam PT Lion Mentari Air adalah sekadar ranah perdata biasa.
Meski tripartit ini berangkat persoalan kesepakatan mengenai trasnportasi pilot yang memicu para pilot untuk menolak terbang sesuai standar keselamatan penerbangan dalam CASR (Civil Aviation Dafety Regulation), ada banyak persoalan mendasar menyangkut ketenaga kerjaan. Berbagai persoalan yang mengemukan diatas telah berlangsung bertahun-tahun sehingga terakumulasi. Tripartit kali ini mengangkat beberapa persoalan tersebut.
Transportasi dan Klarifikasi Aksi
Transportasi adalah bagian yang dicantumkan dalam kontrak kerja antara majikan (PT Lion Mentari Airlines) dengan pekerja (pilot) sebagai komponen terintegrasi dengan satuan gaji pokok dan komponen lainnya seperti uang terbang, asuransi dan sebagainya. Transportasi yang dimaksud dalam kontrak kerja ini adalah angkutan yang disediakan untuk jemput antara pilot dalam melaksanakan tugasnya (duty).
Komponen ini secara sepihak kemudian diubah menjadi sistem pergi dan pulang dibiayai sendiri dan reinburse di tempat sebelum atau sesudah penerbangan. Hal ini diikuti dengan sukarela oleh pilot meski menambah beban baru sebelum penerbangan untuk mendapatkan tranportasi. Sistem ini kemudia diubah kembali dengan talangan oleh pilot, yang mengundang keberatan. Setelah negosiasi yang alot maka disepakati sistem dengan memberikan besaran dana yang sama di awal sebagai dasar/base yang kemudian akan di top up sesuai pemakaian. Hal yang telah disepakati ini ternyata juga dilanggar oleh pihak majikan pada pembayaran kedua yang seyogyanya diberikan per tanggal 5 dan kemudia diperjanjikan diberikan per tanggal 7 Mei 2016 tanpa penjelasan memadai. Ketidak pastian dalam banyak hal seperti perhitungan jam terbang, pembayaran uang inap, dan puncaknya pembayaran kesepakatan dana trasnportasi ini telah menumbuhkan rasa ketidak nyamanan, ketidak pastian dan kegusaran terus menerus pada pekerja.
Hal ini memicu, puncak aksi para pilot Lion Air melakukan penundaan terbang pada tanggal 10 Mei 2016. Langkah penundaan terbang ini sendiri bertujuan sebagai langkah keselamatan (safety action). Penundaan terbang atas alasan psikis diatur Operation Manual (OM) yang merupakan bentuk ratifikasi Konvensi Chicago 1944 mengenai penerbangan sipil internasional pada poin 6.5.1.2 (EMOTION) Operation Manual yang dikeluarkan Lion Air pada intinya menyatakan, penerbang yang tidak merasa safety atas gangguan psikis berhak untuk tidak terbang.
Sanksi dan Kriminalisasi
Namun aksi penundaan terbang oleh para pilot Lion Air yang bertujuan sebagai langkah keselamatan (safety action), ditangapi oleh managemen Lion Air dengan tidak memberikan jadwalterbang kepada para pilot yang melakukan penundaan terbang, sehingga saat (sekitar 3 bulan terakhir). Sedangkan peraturan dalam dunia penerbangan memberikan batas waktu atau limitasi minimal seorang pilot tidak aktif terbang selama ……………. akan berakibat tidak berlakuknya setifikasi/lisensi terbang di pilot.
Kondisi ini merugikan pilot, yang tidak mendapatkan perlakuan sebagaimana mestinya menurut UU ketenagakerjaan. Bila aksi dianggap pelanggaran, tiak eprnah ada mekanisme peneguran berupa Surat Peringatan dari majikan. Dan menurut ketentuan dalam ketenagakerjaan, apabila perusahaan menganggap aksi adalah mogok yang ilegal maka peneguran dilakukan 24 jam dari aksi. Jika tidak maka aksi akan dianggap pemogokan legal atau diakui. Sementara di sisi lain, pilot yang menunda terbang pun pada akhirnya tetap melakukan tugasnya / tidak berhenti bekerja meski dana yang diperjanjikan belum lagi dipenuhi.
Sanksi bahkan dieskalasi dengan mengkriminalisasi pilot dengan mengenakan dugaan penyebaran berita bohong dan pencemaran nama baik terhadap beberapa pilot terdampak sanksi. Beberapa pilot tersebut telah memenuhi panggilan dari Bareskrim. Beberpa nama yang dikenai sanksi tidak terbang dan kriminalsasi berangkat dari berita online tentang pemogokan ini bahkan sebenarnya tidak sedang dinas/duty saat 10 Mei 2016. Pengenaan sanksi tersebut menjadi aksi tebang pilih dan ditujukan pada para pendiri dan anggota Serikat Pekerja Asosiasi Pilot Lion Group (APLG) demi memberangus Serikat belaka.
Pemberangusan dilakukan juga dengan mengintimidasi pilot dengan pemanggilan dan ancaman. Beberapa orang dari mereka yang dikenakan sanksi kemudian diperjanjikan terbang kembali jika bersedia menanda tangani permintaan maaf yang sudah dibuatkan draftnya oleh majikan dengan membawa serta anggota keluarga.
Pola pengenaan sanksi ini menjadi pola yang terbiasa dikenakan manajemen/majikan kepada pekerja. Yang kerap terjadi juga adalah pengenaan sanksi menyandarkan pada FOQA (Fight Operation Quality Assurance). FOQA ini tidak disosialisasi secara detail dan mendalam, terlebih hal poin-poin mana saja yang masih dalam koridor safety, sehingga tidak keluar dari safety margin yang berdampak terganggungnya crew stregh dan jalannya operasional.
Terganggungnya operasional, kemudian dilimpahkan kepada Pilot sebagai pihak yang dipersalahkan. Ini kemudian mendorong management menerbitkan berbagai sanksi kepada pilot, dengan ragam sanksi berupa grounded, re-training, penurunan Bar Captain, dan penurunan jabatan FO Senior ke Junior, dan lain-lain. Padahal CASR membedakan pengaturan antara FOQA/FDA dengan kejadian (INCIDENT atau ACCIDENT).Pemberian sanksi ini tidak mengacu pada CASR dan terkesan sewenang-wenang.
Sistem Kontrak Pekerja
Sistem sanksi cuma satu hal yang berawal dari tidak dipatuhi ketentuan ketenaga kerjaan mengenai kontrak pekerja. Penolakan kepatuhan kepada UU ketetnaga kerjaan dan anggapan bahwa ranah kontrak kerja adalah sekadar perjanjian perdata belaka galib dilakukan manajemen/majikan Lion Air. Kontrak pekerja yang sedianya maksimal dalam rentang 2 tahun dan penambahan 1 tahun tidak ditemui. Hampir semua pekerja PT Lion Air ini diikat dengan sistem kontrak yang rentang waktunya antara 5 sampai 18 tahun. Kontrak ini diikuti dengan penahanan satu atau lebih dokumen pekerja sebagai alat paksa untuk tunduk pada majikan.
Keinginan untuk keluar dan bekerja pada tempat lain bukan hanya terhambat pada penahanan dokumen dan ketidak tahuan pekerja akan ketentuan mengenai kontrak kerja. Lebih dari itu, kerumitan ini karena beban sansi ganti rugi yagn diterapkan manajemen bila pekerja keluar sebelum masanya yang mencapai angka dari ……. hingga………… Yang lebih menarik, kontrak pilot dengan manajemen bahkan melibatkan pemberian sejumlah uang yang ditawarkan sebagai uang transfer atau soft loan yang wajib diambil dan dihitung dengan sistem bunga perbankan.
Sistem Kerja dan Penjadwalan
Belum lagi pola kerja yang tidak taat asas. Sesuai ketentuan internasionai, seharusnya penerbangan taat pada sitem Schedule Geneva. Schedule Geneva adalah sebuah sistem untuk mengatur berbagai kegiatan operasional, termasuk mengatur jadwal terbang crew(pilot dan pramugari/ra).Pengaturan schedule (jadwal terbang) di Lion Air, seringkali tidak beraturan dan berkesimbungan dengan penerbangan berikutnya, sehingga merugikan pilot. Perhitungan jam terbang atas tugas terbang yang telah dilaksanakannya berikutnya tanpa ada kompensasi yang jelas, sehingga merusak schedule penerbangan pilot dan crew selanjutnya. Bahkan tidak jarang perubahan schedule tanpa ada pemberitahuan kepada crew yang bersangkutan, padahl crew tersebut telah memiliki schedule geneva-nya.
Jam kerja pilot (Pilot frame) adalah schedule geneva. Karena itu perubahan atas schedule geneva harus atas pesetujuan pilot bersangkutan, tidak boleh diubah se-suka management. Saat ini hari kerja pilot & crew. 6 hari tebang, 1 hari libur. Akibatnya tidak ada waktu bagi pilot untuk kehidupan sosialnya (Social life).
Cuti Pekerja
Selama ini, managemen menerapkan kebijakan, pengajuan ijin kerja (selain kedukaan dan naik haji)harus dipotong cuti tahunan. Selain itu, ijin kerja juga mengalami pemotongan gaji. Sedangkan cuti kerja tahunan yang tidak diambil oleh karyawan (pilot) tidak dikompensasi (uang penganti) oleh perusahaan. Bahkan perusahaan tidak memberikan cuti satu bulan penuh kepada karyawan yang telah bekerja diatas 6 (enam) tahun secara terus menerus, sebagaimana diatur dalam UU Ketenaga Kerjaan.
Jamsostek dibayarkan oleh perusahaan tidak sesuai dengan gaji yang diterima oleh para pilot (gaji pokok + tunjang tetap) sebagamana diatur dalam Undang-Undang. Akibatnya JHT (Jaminan Hari Tua) yang akan terima oleh para pilot akan sangat kecil karena Jamsostek tidak bayarkan tidak sesuai dengan ketentuan. Angka besaran gaji yang tercantum dalam pelaporan kepada BPJS adalah angka UMR dan bukan angka gaji sebenarnya.
Serikat Pekerja APLG ini adalah medium antar pilot yang sedianya bertujuan untuk berunding sejak awal tentang kepentingan para pihak. Kesepakatan-kesepakatn yagn akan tertuan pada Perjanjian Kerja Bersama. Hingga saat ini belum ada PKB di lingkungan Lion Air yang dibuat bersama pekerja Kesejahteraan pilot dan pekerja lainnya yang akan membawa Lion Jaya. Bukan hendak merusak perusahaan tempat mencari nafkah dan berkarya.
Dalam upaya memperbaiki, dan mengembalikan hubungan kerja antara para pilot dan managemen Lion Air, maka mediasi yang dilakukan oleh suku dinas ketenagaa kerjaan provinsi DKI Jakarta, hari ini dilangsung. Kami berharap pertemuan ini, bisa memberikan jalan keluar yang baik bagi semua pihak dari persoalan yang terjadi beberapa bulan belakang ini.
*Penulis adalah Ketua Asosiasi Pilot Lion Group (APLG)