JAKARTA- Kerusuhan yang terjadi di Tanjungbalai Sumatera Utara, merupakan ekspresi intoleransi dan kekerasan yang tidak semestinya terjadi. Memang pemicunya sederhana yakni protes warga atas pengeras suara dari sebuah tempat ibadah, tetapi soal sepele yang terjadi di tengah masyarakat yang kurang toleran maka berbalas kerusuhan, apalagi diduga kuat terdapat sejumlah aktor yang memprovokasi. Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani, kepada Bergelora.com di Jakarta, Minggu (31/7)
“Setara Institute mengutuk keras tindakan pembakaran sejumlah tempat ibadah tersebut,” ujarnya.
Menurutnya Polri dalam peristiwa ini telah mengambil langkah tepat dengan mempertemukan tokoh-tokoh agama dan memulihkan situasi menjadi lebih kondusif. Apalagi FKUB Sumut dalam catatan Setara Institute adalah salah satu FKUB berkinerja baik dalam memajukan toleransi.
“Tetapi langkah tersebut belum cukup. Polri diharapkan dapat mengungkap aktor penggerak kerusuhan tersebut. Sementara masyarakat diharapkan tidak mudah terprovokasi untuk melakukan aksi-aksi intoleran dan kekerasan lanjutan,” jelasnya.
Peristiwa tersebut menurutnya memberikan pembelajaran bagi semua pihak, bahwa kondisi intoleransi di tengah masyarakat semakin meningkat. Berbagai peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang terus terjadi mengkonfirmasi status toleransi masyarakat yang semakin menipis.
“Pemerintah harus mengambil langkah mendasar dalam merespons seluruh peristiwa pelanggaran yang terus terjadi. Tidak hanya reaktif dalam peristiwa aktual seperti pemadam kebakaran. Pemerintah hanya riuh saat peristiwa terjadi,”ujarnya.
Kementerian Agama dan Kemendagri menurutnya memegang peranan kunci mengelola hubungan antar agama, meningkatkan toleransi, dan menghapus praktik diskriminasi atas dasar agama/keyakinan.
“Namun, hampir dua tahun menjabat, Tjahjo Kumolo dan Lukman Hakim Saefudin, belum menunjukkan langkah dan kebijakan yang mendasar, berbasis fakta, komprehensif dan berdasar pada Konstitusi RI,” ujarnya.
Kerusuhan Meluas
Kerusuhan di Kota Tanjungbalai pada Jumat (29/7) hingga Sabtu pagi menyebabkan sembilan rumah ibadah milik umat Buddha rusak.
Tujuh warga yang melakukan penjarahan telah diamankan dalam kerusuhan tersebut.
Sementara kerusuhan di Kabupaten Karo menyebabkan seorang warga tewas.
Kerusuhan di Tanjung Balai, Kabupaten Asahan yang berujung pada isu SARA juga menyebabkan satu vihara dan empat kelenteng hangus terbakar, Jumat (29/7) malam.
Persoalan bermula dari adanya keluhan seorang warga bernama Meliana (41) warga Jalan Karya Kelurahan Tanjung Balai Kota I, Kecamatan Tanjung Balai Selatan Kota, Tanjung Balai, Sumatera Utara terhadap suara azan yang dikumandangkan di Masjid Al Maksum Jalan Karya.
Sebelum kericuhan meledak, Meliana mendatangi nazir masjid menyampaikan keluhan. Ia merasa terganggu dengan suara azan yang dikumandangkan pihak masjid.
“Setelah oknum tadi menyampaikan keluhan, pihak masjid kemudian mendatangi kediaman wanita bernama Meliana setelah salat Isya. Lalu, karena timbul keributan, pihak kepala lingkungan dan kelurahan setempat yang kooperatif kemudian membawa masing-masing pihak ke polsek setempat untuk dimediasi,” kata Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Rina Sari Ginting, kepada pers, Sabtu (30/7).
Di tengah mediasi, warga yang mendapat informasi lantas berkumpul di depan polsek.
Entah bagaimana, jumlah warga semakin bertambah dan bergerak ke Vihara Juanda yang berjarak sekitar 500 meter dari Jalan Karya dan kemudian melakukan pengerusakan.
“Dari informasi sementara, vihara di Pantai Amor terbakar. Kemudian, turut dibakar 3 unit kelenteng serta 3 unit mobil dan tiga unit sepeda motor,” kata Rina.
Selain itu, sambung Rina, ratusan warga turut merusak barang-barang di dalam kelenteng Jalan Sudirman.
Kemudian, di Jalan Hamdoko barang di dalam kelenteng dirusak dan praktek pengobatan tinghoa dihancurkan serta satu unit motor nyaris dibakar.
Di Jalan KS Tubun, massa merusak barang-barang yang ada dalam klenteng dan satu unit bangunan milik Yayasan Putra Esa di Jalan Nuri. Di Jalan Imam Bonjol masyarakat membakar barang-barang yang ada dalam satu vihara.
Kemudian, di Jalan WR Supratman massa merusak isi bangunan yayasan sosial dan merusak 3 unit mobil. Di Jalan Ahmad Yani, massa merusak pagar vihara. Serta di Jalan Ade Irma, massa membakar barang-barang yang ada dalam satu unit klenteng (Web Warouw)