Selasa, 1 Juli 2025

Lilin Kecil Siti Fadilah Di Rutan Pondok Bambu

Ini adalah surat kedua dari Mantan Menteri Kesehatan, DR.dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K) dari Rutan Pondok Bambu yang dimuat Bergelora.com (Red)

Oleh : Dr. Eva Sri Diana, Sp.P*

Pagi itu aku membaca berita yang cukup kontroversial, berita mengenai vaksin HPV yang diberikan kepada pelajar SD ini cukup menarik perhatian. Pro-kontra dimana-mana, bahkan di kalangan teman sejawatku sendiri.

Berbicara soal vaksin, tiba-tiba aku teringat beberapa cuplikan cerita dalam buku Ibu Siti Fadilah yang berjudul “Saatnya Dunia Berubah”.  Pembahasan yang sangat tajam mengenai bagaimana Indonesia mempertahankan kedaulatan kesehatan di mata dunia. Buku itu cukup membuka mataku bagaimana seorang dokter dapat menunjukkan rasa nasionalismenya, bagaimana seorang ilmuwan dapat menunjukkan rasa patriotisme dalam memperjuangkan keadilan untuk negerinya. Sikap dan tulisannya sangat menyentuh dan berani. Tidak pernah berubah. Bahkan ketika beliau menuliskan surat untukku. Setiap baitnya, gaya bahasanya tidak pernah berubah, membuatku membaca pelan-pelan dan memahaminya dengan seksama…

Dear Eva,

Hari ini Ibu sangat bahagia karena kemarin ibu mendapat kiriman buah. Ada jambu air super kesukaanku, ada salak madu, ada apel, ada jeruk medan, ada anggur. Bukan hanya karena isinya Eva, tapi lebih membahagiakan lagi adalah pengirimnya yang dari jauh yaitu Surabaya. Luar biasa, IWOC Surabaya yang mengirimkan buah-buahan itu kepadaku. Tahukan Eva apa itu IWOC? Itu kepanjangan dari Indonesia Women of Cardiologist atau Perhimpunan Perempuan-perempuan Ahli Jantung Indonesia. Mereka teman-teman ibu, Eva..

Terimakasih banyak teman-teman IWOC Surabaya yang telah memberikan perhatian kepada ku sedemikian rupa. Mudah-mudahan Tuhan membalaskan budi baik teman-temanku IWOC Surabaya.

Eva, hari ini ibu dijenguk seperti biasa. Ada Onit, Tika, dan satu lagi, Marlo, si aktivis yang suka demo dan dulu pernah menjadi Ketua Masyarakat Miskin Kota.

Dia mengingatkan Ibu bahwa orang-orang miskin yang dahulu ibu perhatikan, sekarang sudah habis digusur oleh Pak Ahok. Itulah perubahan yang terjadi, kampung kumuh itu kini tinggal cerita saja. Kadang-kadang memang harus terjadi demi kebutuhan manusia lain yang harus hidup dengan caranya. Coba lihat, bagaimana pasar tradisional semakin terdesak oleh supermarket. Terlihat oke-oke saja bukan? Bahkan kita pun sekarang bergantung pada supermarket-supermarket itu, Bahkan nantinya supermarket pun bisa tergsuur oleh e-commerce. Itu loh, online shopping! Hehe..

Ah, apapun yang terjadi, mudah-mudahan tidak bertentangan dengan kemanusiaan, karena sebenarnya perubahan-perubahan itu pada dasarnya adalah untuk kemudahan dan setiap perubahan selalu ada korbannya. Padahal perubahan adalah suatu keniscayaan dalam perjalanan hidup manusia.

Eva..

Suratku yang pertama tampaknya menjadi viral kemana-mana. Kemarin ibu kontrol ke rumah sakit, dokternya pun bercerita tentang isi surat itu.

Sebelumnya, ibu kepala rutan Pondok Bambu juga membacanya (dia bercerita kepada Ibu). Tampaknya cerita yang ibu tuliskan banyak menarik perhatian pembaca.

Eva..

Siang tadi ibu dipanggil Kepala Rutan karena dia kedatangan tamu dari BAZNAS yang telah membaca isi suratku itu. Tamu dari BAZNAS diwakili oleh seorang ibu-ibu yang berperawakan subur berjilbab hitam panjang, terlihat tampak anggun. Ibu dari BAZNAS itu tergerak dengan tokoh Neneng yang ibu tulis di surat ibu sebelumnya. Dia ingin membantu Neneng agar terlepas dari masalahnya. Neneng itu nama samaran. Ibu yang tahu siapa sebenarnya orang tersebut. Oleh karena itu  mereka juga mengundang ibu untuk membicarakannya.

Akhirnya tokoh Neneng dipanggil. Dia seorang ibu yang berumur 30-40 tahun beranak empat dan suaminya hanya seorang Office Boy yang gajinya 1,8 juta perbulan dikurangi BPJS untuk berenam, sehingga tiap bulan Neneng hanya menerima 600-700 ribu (menumpang di rumah mertua) dengan pendapatan sebegitu, ditambah dia bekerja di toko, paling gajinya tidak sampai 3 juta.

Dengan empat anak seperti itu, memang terpaksa berhutang, ternyata bukan saja yang 17 juta saja, ternyata hutangnya 60 juta-an. Dia mengatakan sebenarnya hutangnya tidak sebanyak itu tetapi dia ngutang ke rentenir sehingga bunga dan hutangnya kian menumpuk.

Eva, andaikan saya di BAZNAS, Neneng ini adalah orang yang perlu dipertimbangkan untuk menerima zakat, tidak usah ragu-ragu, apalagi kalau bantuan dari BAZNAS bisa membebaskan dia dari proses hukum dimana dia dilabel sebagai “penipu” oleh polisi.

Memang tidak mudah Eva, membedakan apakah dia “penipu” apa dia “dhuafa” yang berhak di tolong karena dia sudah jatuh di kubangan yang dibuat oleh lembaga hukum negeri ini. Dalam hati ibu, dia bukan penjahat yang menipu, tapi dia seorang ibu yang miskin yang harus memberi makan kepada empat anaknya.

Dia terpaksa berhutang, tutup lubang gali lubang akhirnya terjerembab kepada renternir. Saat itu juga, Neneng dibawa penyidiknya, mudah-mudahan masih bisa ditolong oleh BAZNAS yang melunasi hutang-hutangnya sehingga dia bisa kembali untuk memeluk bayinya.

Eva dan sahabat-sahabatku..

Betapa dahsyatnya tragedi kemiskinan seperti bola salju yang semakin lama semakin membesar. Kemiskinan yang seperti butir es, bisa menjadi kejahatan yang sebesar bola salju.

Hubungilah BAZNAS Eva, berikan support kepada mereka untuk mendistribusikan zakat yang mereka himpun sebagai amanah negara..

Hari-hari masih seperti kemarin. Kadang perasaan bosan mendekap diriku erat-erat, kadang putus asa menyelinap tanpa rasa tanpa kata, menunggu tidak jelas yang ditunggu, menanti semua yang saya tidak mengerti.

Menangiskah, atau menyerah saja, mensyukuri, atau cuek saja?

Mungkin mensyukuri apa yang bisa ibu syukuri. Adakah jalan terbaik? Mungkinkah Tuhan cemburu? Tuhan yang selama ini saya kesampingkan oleh urusan-urusan keduniawian?

Dan sekarang terasa benar betapa ibu sangat butuh Tuhan agar ada di dalam hati Ibu.

Tuhan sangat dekat Eva..

Karena tidak ada lagi waktu yang membatasi harus kesana harus kemari, tidak ada lagi HP yang selalu menyita waktu dzikir kita.

Eva

Hampir setiap hari ibu melihat hal-hal yang sebelumnya belum pernah ibu lihat bahkan tidak hanya untuk ibu bayangkan. Ada yang aneh, ada yang lucu, ada yang menyedihkan, ada yang mengharukan, tapi ada juga yang mengagetkan.

Peristiwa itu muncul begitu saja seperti lembaran-lembaran buku yang harus ibu baca, ibu cerna, dan ibu fahami sehingga bisa ibu ceritakan kembali kepadamu. Untung buku itu ada di depan ibu, sehingga mudah untuk membukanya lembar demi lembar…

Eva...

Kali ini Ibu akan bercerita padamu. Ini tentang kemanusiaan. Kisah yang membuat Ibu berfikir dan sempat ragu-ragu menolong orang yang sedang susah.

Ada seorang yang semua orang memanggilnya “Emak”. Entah dari mana panggilan itu dan sejak kapan panggilan itu muncul, ibu tidak tahu.

Dia seorang perempuan, usianya kira-kira 50 tahun. Dia terlihat sakit. Perutnya besar seperti perempuan hamil 9 bulan. Ibu curiga dia menderita cysta ovarii atau kemungkinan penyakit keganasan. Perutnya besar sehingga berjalan susah, dudukpun susah. Sebagai penghuni baru, ibu hanya bisa mengobservasinya dari jauh. Tapi sebagai seorang dokter, Ibu ingin tahu, apakah sudah ada usaha untuk menolongnya?

Alangkah sedihnya Eva, dia sangat tidak mampu. KTP-pun tidak punya sehingga pengurus rutan tidak berhasil mengurus BPJS nya. Bahkan tidak berhasil mengurus ke Kemensos sebagai orang terlantar. Artinya negara tidak sanggup mengurus dia. Terus bagaimana? Masak kita diamkan saja?

Ibu melihat perutnya tersebut semakin membesar hingga mendesak organ-organ di abdomen. Dia mulai tidak bisa buang air kecil maupun buang air besar. Ibu tahu karena ibu melihat dia tidak mau makan dan minum. Ibu bertanya untuk memastikan apakah dugaan ibu benar? Ternyata dugaan ibu tidak salah. Dia takut makan dan minum karena dia tidak bisa buang air kecil maupun buang air besar.

“Ya Allah, siapa yang bisa menolong dia? Apakah saya boleh menolong dia ya Tuhan?” terus ibu bertanya di dalam hati. Hati ibu semakin gelisah.

Memang, dia adalah seorang narapidana narkoba. Ibu melihat ada tattoo di tengkuknya. Dia mengaku beragama Islam tapi dia tidak bisa bersembahyang meskipun dia punya mukena dan sajadah. Ibu ragu, kalau Ibu tolong, jangan-jangan nanti dia akan terjun kembali mengulangi perbuatannya. Tapi kalau tidak dibantu, siapa yang akan bantu dia? Semuanya sudah angkat tangan. Apakah kita biarkan? Dalam hati ibu berdoa, “Ya Allah, izinkanlah saya menolongnya dan lancarkanlah bila pertolongan ini akan membawa kebaikan.”

Akhirnya, ibu memutuskan untuk menolongnya. Dengan dana awal terkumpul Rp 20 juta, pasti masih kurang untuk pengobatan. Ibu harus mendapat jaminan dari Rimah Sakitnya. Kebetulan dia sudah pernah periksa di Rumah Sakit Persahabatan.

Jadi, dengan bantuan dr. Ratna, ibu menelepon Dirut Rumah Sakit Persahabatan dan ibu minta tolong agar pasien ini ditangani.

Rekan ibu, yang bernama dr. Ali Toha, yang pernah ibu kenal ketika Ibu masih menjadi Menteri Kesehatan, mendengarkan permohonan ibu dan dia mau membantu dengan sangat baik meskipun dana hanya terkumpul Rp 20 juta. Maka berangkatlah Emak itu dibantu oleh dr.Ali Toha yang budiman hingga saat ini.

Kemudian, Emak diperiksa di Rumah Sakit Persahabatan. Ternyata pada pemeriksaan pertama sudah terlihat adanya tanda-tanda keganasan. Dia kembali ke Rumah Sakit Persahabatan untuk diperiksa staging keganasannya. Dr. Ali Toha telah berjanji akan menolong Emak semaksimal mungkin.

Eva,

Meskipun dr. Ali Toha mengatakan demikian, ibu masih berfikir bagaimana kita harus mencari dana semaksimal mungkin. Ibu ada disini agak sulit Eva, kecuali untuk DP yang sudah ibu sebutkan di awal.

Orang dari BAZNAS ketika itu mengatakan bahwa mungkin BAZNAS juga membantu, tolong kamu katakan pada sahabat-sahabat yang lain untuk menghubungi dr. Fachri untuk kemungkinan ini. Atau bukalah kantung-kantung dhuafa. Siapa tahu sahabat-sahabat ibu tergerak untuk membantu Dia.

Ingat Eva, Allah mencintai dan menyayangi orang-orang yang menolong dhuafa.

Eva, lebih baik kita menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan. Bantulah orang-orang yang ada di sekitar kita. Meskipun sedang dalam keadaan seperti ini, tapi ibu masih bersyukur karena ibu masih punya harapan untuk orang lain yang lebih menderita.

Eva, sudah agak malam. Ibu capek menulis, nanti kita sambung lagi ya… Sampaikan salamku untuk sahabat-sahabat yang mengikuti tulisanku ini, tulisan dari dunia yang tidak terbayangkan oleh kita..

Kututup surat itu sambil berfikir dan merenung. Betapa negeri ini masih jauh dari kata keadilan sosial. Betapa negeri ini masih jauh dari kata kesejahteraan. Sungguh banyak pekerjaan dan tanggung jawab yang belum kita selesaikan. Oh Ibu, malu aku padamu yang masih bisa menolong orang padahal engkau mendekam di dalam penjara.

 

*Penulis seorang Dokter Spesialis Paru bekerja di Rumah Sakit Pasar Rebo Jakarta Timur aktif memimpin organisasi Dokter Indonesia Bersatu (DIB)

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru