JAKARTA – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia menuding Dana Moneter Internasional (IMF) sebagai dalang utama merosotnya lifting minyak. Sebab, kebijakan yang direkomendasikan IMF telah berdampak buruk bagi industri minyak nasional.
Semula, Bahlil membandingkan kondisi produksi minyak RI pada 1996-1997 dengan saat ini. Pada periode tersebut, RI mampu memproduksi sekitar 1,6 juta barel minyak per hari (bph) dengan konsumsi hanya sekitar 600 ribu bph.
Sehingga RI masih dapat mengekspor sekitar 1 juta bph. Namun, kondisi tersebut berubah drastis seiring dengan adanya reformasi kala itu.
“Kemudian reformasi, seiring waktu berjalan banyak perubahan-perubahan yang kita lakukan termasuk rekomendasi IMF ketika kita mau dibantu waktu itu Dokternya ini IMF. Dokter ini ada salah-salah juga,” kata Bahlil dalam acara Mandiri Investment Forum (MIF) 2025, dikutip dikutip Jumat (14/2/2025).
Menurut Bahlil, salah satu kebijakan yang ia sesalkan adalah perubahan regulasi di sektor migas yang diinisiasi berdasarkan rekomendasi IMF. Adapun, perubahan berupa undang-undang migas ini berdampak pada tren penurunan lifting minyak nasional yang terus terjadi.
“Nah ini saya mau buktikan dokternya ini salah. Dia suruh kita untuk membuat, merubah undang-undang migas. Apa yang terjadi trend lifting kita ke 1996-1997 itu menurun terus,” ujarnya.
Bahlil menyebut bahwa lifting minyak nasional sejatinya sempat mengalami kenaikan pada 2008 seiring dimulainya produksi dari Lapangan Banyu Urip, Blok Cepu. Namun, setelah mencapai puncaknya, lifting minyak RI terus mengalami penurunan hingga kini berada di bawah 600 ribu bph.
Target 1 Juta Barel/hari
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Presiden Prabowo Subianto mendorong menghidupkan kembali ambisi produksi siap jual atau mengangkat minyak sebanyak 1 juta barel per hari (bph), dengan target yang bahkan lebih cepat dari yang ditetapkan oleh pemerintah sebelumnya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan Presiden ke-8 RI tersebut kini menginginkan pengangkatan minyak 900.000—1 juta bph bisa tercapai antara rentang 2028—2029, lebih awal dari target pemerintahan sebelumnya yang bahkan sudah dianulir pada tahun 2030.
“Bapak Presiden menargetkan kami agar pada 2028—2029, mengangkat kita sudah harus mencapai 900.000—1 juta bph. Ini tantangan, ini kerja keras. Pertanyaannya, apakah bisa dilakukan?” katanya.
Bahlil percaya diri bahwa Indonesia masih memiliki harta karun minyak yang belum teroptimasi. Salah satunya di Blok Rokan yang dikelola PT Pertamina Hulu Rokan (PHR). Wilayah kerja (WK) ini menghasilkan 58 juta barel minyak sepanjang tahun 2024.
Sejak alih kelola WK Rokan dari PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) ke Pertamina pada 9 Agustus 2021, PHR mencatatkan 1.539 tajak sumur baru guna mendukung ketahanan energi nasional. Per akhir tahun 2024, Blok Rokan menghasilkan produksi di atas 160.000 bph.
Blok Rokan berhasil menyalip capaian produksi minyak dari Lapangan Banyu Urip di Blok Cepu yang dioperatori oleh ExxonMobil Cepu Ltd pada tahun 2023. Menurut SKK Migas, rerata produksi minyak Blok Rokan mencapai 167.000 bph, sedangkan Blok Cepu 140.000 bph.
“Kemarin saya baru pulang dari Rokan, tetapi minyaknya yang di bawah itu bagaimana caranya menaikkan? Nah kita melakukan intervensi dengan teknologi. Salah satu teknologi yang kami dorong adalah EOR [ enhanced oil recovery ],” kata Bahlil.
Selain menggunakan teknologi EOR, Bahlil menyebut produksi minyak di Blok Rokan tidak akan lagi sekadar menggunakan teknik pengeboran vertikal, tetapi horizontal.
Belajar dari Amerika Serikat (AS), dengan penggunaan teknik pengeboran horizontal, negara tersebut dapat mengatrol produksi minyaknya dari rata-rata 3,5 juta bph menjadi 13 juta bph.
Eksekusi Sumur
Selain mengandalkan Blok Rokan, target pengangkatan minyak 1 juta bph akan tercapai dengan segera menyelesaikan 301 sumur yang sudah menyelesaikan eksplorasi, tetapi produksinya belum berjalan.
“Ini kita akan mendorong cepat. Makanya, saya sudah perintahkan kepada Kepala SKK Migas, kepada pemegang konsesi siapa pun—baik itu BUMN maupun swasta — kalau sudah dikasihi, selesai eksplorasi, tetapi tidak mau ditingkatkan ke produksi; [izinnya] agar ditinjau,” tegas Bahlil.
Pada kenyataannya, sampai akhir tahun 2024, realisasi pengangkatan minyak hanya 579.700 bph, meleset dari target APBN sebanyak 635.000 bph. Capaian itu bahkan lebih rendah dari produksi minyak 2023 yang sejumlah 605.500 bph.
Target pengangkatan 1 juta barel bukan hal baru. Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo, target tersebut dicanangkan dapat tercapai pada tahun 2030. Namun, medio tahun lalu Kementerian ESDM ‘menganulir’ target tersebut.
Menurut proyeksi Kementerian ESDM saat itu, pengangkatan minyak pada tahun 2030 kemungkinan besar hanya akan mencapai level 869.000 bph. Dengan kata lain, proyeksi tersebut resmi meleset dari target pengangkatan 1 juta bph yang sebelumnya ditetapkan pada tahun 2030.
“Saya pegang data dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas [SKK Migas] bahwa betul kalau target 2030 1 juta bph. Ini sekarang tidak keluar angkanya mundur pasca-2030,” ujar Plt Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Dadan Kusdiana dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, Rabu (29/5/2024) lalu.
Dalam paparannya, Dadan menjelaskan bahwa tren pengangkatan minyak diproyeksikan mengalami tren peningkatan pasca-2025.
Perinciannya adalah 2026 sebanyak 593.000—621.000 bph, 2027 sejumlah 597.000—652.000 bph, 2028 sekitar 625.000–720.000 bph, dan 2029 sebesar 642.000–792.000 bph. (Web Warouw)