Kamis, 23 Oktober 2025

JANGAN LAGI PERCAYA PARTAI POLITIK..! ‘Fraksi Bersih-Bersih’ Aksi Peringatan Hari Bumi 2025: Jaga Bumi Jaga Demokrasi

PALU- Tanggal  24 April merupakan hari yang ditetapkan sebagai peringatan Hari Bumi Se-Dunia sejak pertama kali digagas pada tahun 1970 oleh Senator Gaylord Nelson dari Wisconsin, Amerika Serikat.

Peserta aksi termuda dalam memperingati Hari Bumi Se-Dunia tahun 2025 ini, para aktivis pemerhati lingkungan, oraganisasi pemuda/Mahasiswa dan Perempuan di Sulawesi Tengah, Rabu (23/4). (Ist)

Sebagaimana dikutip dari catatan dalam situs resmi Earth Day bahwa Hari Bumi ini diperingati sebagai bentuk penghargaan atas perjuangan para aktivis lingkungan dalam gerakan pelesatarian lingkungan.

Selain itu sebagai upaya untuk mendorong agar semakin meningkatnya dan meluasnya kesadaran banyak orang terhadap pentingnya perlindungan atas sumber daya alam dan lingkungan disekitarnya demi kelangsungan kehidupan di muka bumi ini.

Aksi memperingati Hari Bumi Se-Dunia tahun 2025 ini, para aktivis pemerhati lingkungan, oraganisasi pemuda/Mahasiswa dan Perempuan di Sulawesi Tengah, Rabu (23/4). (Ist)

Sejarah Gerakan

Gerakan perlindungan sumber daya alam dan lingkungan ini bermula pada Januari tahun sebelumnya 1969 telah terjadi bencana atau peristiwa tumpahan minyak di Santa Barbara California. Sejak saat itulah setiap tahunnya Hari Bumi diperingati banyak organisasi dan lembaga pemerhati atau yang bergerak dalam issu pelestarian lingkungan tidak terkecuali di Indonesia.

Dalam rangka memperingati Hari Bumi Se-Dunia tahun 2025 ini, para aktivis pemerhati lingkungan, oraganisasi pemuda/Mahasiswa dan Perempuan di Sulawesi Tengah yang di pimpin oleh Wandi dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tengah selaku Kordinator Lapangan menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Gubernur dan DPRD Provinsi Sulawesi Tengah.

Aksi memperingati Hari Bumi Se-Dunia tahun 2025 ini, para aktivis pemerhati lingkungan, oraganisasi pemuda/Mahasiswa dan Perempuan di Sulawesi Tengah, Rabu (23/4). (Ist)

Diikuti puluhan peserta, aksi yang tergabung dalam Fraksi Bersih-Bersih dengan membentangkan spanduk yang bertuliskan tema: “Peringatan Hari Bumi 22 April 2025 Jaga Bumi Jaga Demokrasi”. Peserta aksi menutup mulut dan hidungnya menggunakan masker dan lakban sambil memegang poster-poster yang berisi tuntutan.

Dalam aksi ini peserta yang secara bergantian menyampaikan orasi-orasinya dan membacakan puisi yang menggambarkan tentang berbagai fakta kerusakan lingkungan akibat dampak dari proses eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran dan masif di negara ini khususnya di wilayah Sulawesi Tengah.

Jauh dari Harapan

Dalam Orasinya Wandi menyampaikan bahwa saat ini berbagai upaya penanganan krisis yang dilakukan oleh pemerintah masih jauh dari yang diharapkan untuk bisa berkomitmen dalam perlindungan dan pelestarian lingkungan dan sumber daya alam di negeri ini.

Aksi memperingati Hari Bumi Se-Dunia tahun 2025 ini, para aktivis pemerhati lingkungan, oraganisasi pemuda/Mahasiswa dan Perempuan di Sulawesi Tengah, Rabu (23/4). (Ist)

Masih terlihat dengan begitu jelas bagaimana Pemerintah Indonesia bergantung dan mendukung sektor industri ektraktif seperti industri nikel, pembakaran bahan fosil dan perluasan lahan perkebunan sawit masih menjadi program prioritas.

Pembongkaran kawasan hutan demi mendapatkan nilai tambah ekonomi untuk mendukung proyek-proyek strategis nasional. Hal ini akan menjadi bom yang sewaktu-waktu dapat mempercepat krisis sosial, krisis ekonomi hingga  krisis lingkungan.

Wandi juga menyampaikan bahwa fakta di lapangan saat ini di Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa besaran luasan Kawasan Pangan Nusantara (KPN) 15.000 Ha sama dengan 1,1%, potensi perkebunan sawit luasan 681.686 ha atau 51.9%. Data ini diperoleh Dinas Perkebunan dan Peternakan Sulawesi Tengah, sedangkan luasan pertambangan sebesar 615.571,4 (Ha 46.9%) temuan dari Momi ESDM 2025.

Aksi memperingati Hari Bumi Se-Dunia tahun 2025 ini, para aktivis pemerhati lingkungan, oraganisasi pemuda/Mahasiswa dan Perempuan di Sulawesi Tengah, Rabu (23/4). (Ist)

Jika kalkulasi mencapai sebesar 1.312.257,40 Ha.  Angka-angka ini mengindikasikan bahwa bukaan hutan di Sulawesi Tengah akan terus meluas dalam beberapa tahun ke depan.

Proyek-proyek besar seperti KPN, ekspansi perkebunan sawit, dan pertambangan, yang kerap diklaim sebagai langkah pembangunan ekonomi, justru membawa dampak ekologis yang serius dan berkepanjangan.

Akibat dari bukaan hutan yang begitu masif ini maka kerusakan ekosistem hutan tentu tak dapat dihindari.

Krisis iklim kini semakin terasa dan terlihat nyata di wilayah Sulawesi Tengah. Cuaca ekstrem, polusi udara, deforestasi, dan bencana ekologis seperti banjir dan longsor menjadi kejadian yang semakin sering terjadi.

Dampaknya pun langsung menyasar kepada masyarakat seperti hilangnya sumber mata pencaharian, terutama bagi komunitas yang bergantung pada hasil hutan, menurunnya kualitas udara dan air, serta meningkatnya kerentanan terhadap bencana alam.

Tersingkirnya Perempuan Adat

Orasi juga di sampaikan oleh Wulan dari Solidaritas Perempuan (SP) yang menggambarkan fakta yang terjadi bagaimana proses eksploitasi sumber daya alam tersebut berdampak pada tersingkirnya masyarakat adat khususnya perempuan adat harus tersingkirkan atau termarginalkan dari ruang-ruang hidupnya yang jelas bergantung pada hasil hutan disekitar tempat tinggalnya.

Sementara itu perwakilan Aziz dari Yayasan Tanah Merdeka menjelaskan dalam orasinya bahwa aksi menutup hidung dan mulutnya menggunakan masker dan lakban untuk menggambarkan bahwa inilah situasi dan kondisi yang dialami dan hadapi oleh masyarakat Indonesia saat ini termasuk di Sulawesi Tengah khususnya di wilayah Kabupaten dan Kota.

Masyarakat menghadapi eksploitasi sumber daya alam dan kerusakan lingkungan yang sudah sangat parah dengan adanya aktifitas industri skala besar di sekitar pertambangan emas dan industri nikel. Hal ini terjadi di Kabupaten Morowali, Kabupaten Morowali Utara, Kabupaten Donggala, Kota Palu dan kabupaten lainnya.

Massa Aksi menggunakan masker memperlihatkan bahwa saat ini masyarakat yang tinggal di daerah industri-industri besar itu banyak yang mengalami penyakit Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA) akibat begitu besarnya polusi atau pencemaran udara di sekitar kawasan eksploitasi sumber daya alam. Sementara sombol melakban mulut merupakan bentuk pembungkaman terhadap masyarakat dan aktivis lingkungan dan agraria yang telah dibungkam dengan cara-cara dikriminalisasikan ketika melakukan protes terhadap kebijakan negara.

Negara telah memberi ruang seluas-luasnya melalui izin-izin pengelolaan sumber daya alam terhadap investasi industri ekstraktif di sektor pertambangan emas, nikel , galian C, dan pembukaan lahan perkebunan sawit.

Jangan Lagi Percaya pada Partai

Dalam Orasinya Aziz juga menyerukan kepada masyarakat untuk tidak lagi percaya kepada partai-partai politik yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan atas berbagai kebijakan yang berpihak terhadap pengrusakan lingkungan juga terhadap kebijakan negara yang mendukung lahirnya kebijakan peraturan perundangan yang akan semakin terbuka dalam pembungkaman dan kriminalisasi terhadap rakyat yang menuntut keadilan di negeri ini. Ia menyoroti disahkannya UU TNI/Polri.

Selain menyampaikan orasi-orasinya secara bergantian massa aksi dari Fraksi Bersih-Bersih juga menyampaikan kritikannya melalui pembacaan Puisi dari Hernan Lapi dari KPA dan Jihan dari Relawan Muda KPKP-ST.

Aksi unjuk rasa peringatan Hari Bumi tahun 2025 di Palu yang digelar oleh Fraksi Bersih-Bersih ini kemudian di tutup orasi dari Lia Somba dari Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKP-ST). Lia kembali menyampaikan betapa dampak dari kerusahan lingkungan yang disebabkan oleh karukusan manusia secara legal ini sungguh berdampak pada hancurnya sendi-sendi kehidupan masyarakat khususnya dan yang paling terdampak tentu saja adalah perempuan dan anak-anak.

Karena dengan eksploitasi SDA yang mengakibatnya semakin berkurangnya sumber air bersih sementara yang paling banyak membutuhkan air adalah perempuan.

Selain itu dengan rusak dan hilangnya sumber mata pencaharian masyarakat akibat bencana alam banjir dan longsor yang terjadi maka akan meningkatkan angka kemiskinan yang kemudian perempuan dan anak yang menjadi paling rentan mengalami tindak kekerasan berbasis gender. Kekerasan itu terjadi dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual, menjadi menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) karena harus memilih menjadi TKW legal ataupun illegal,– dan berbagai bentuk tindak kekerasan lainnya termasuk menjadi korban kekerasan seksual di area industri skala besar dan kawasan perkebunan sawit.

Yang jadi pertanyaan harus sampai kapan hal itu terus terjadi? harus menunggu berapa banyak lagi rakyat menjadi korban barulah negara ini mengambil tindakan perlindungan terhadap rakyatnya? Dan harus kepada siapa lagi rakyat meminta perlindungan ketika peraturan perundangan yang dilahirkan oleh rezim ini justru untuk membungkam dan mengkriminalisasikan rakyatnya sendiri ketika menuntut keadilan dengan UU TNI/Polri yang di sahkan?Semua pertanyaan disampaikan Lia Somba dalam orasinya.

Kepada Bergelora.com di Palu dilaporkan, aksi unjuk rasa yang di gelar oleh lembaga/organisasi masyarakat sipil, LSM dan organisasi perempuan yang ada di Sulawesi Tengah yakni Walhi Sulteng, JATAM Sulteng, Yayasan Tanah Merdeka (YTM), Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulteng (KPKP-ST), Solidaritas Perempuan (SP), dan Perhimmpuan Evergreen (PEI), Mahardika Palu dan KPA tergabung dalam Fraksi Bersih-Bersih ini ditutup dengan pembacaan tuntutan dan menyanyikan lagu Darah Juang sebelum membubarkan diri. (Bachtiar)

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru