JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani merespons soal adanya penurunan belanja transfer ke daerah (TKD) dalam rencana anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) 2026 yang mengalami penurunan hingga 24,8% menjadi hanya Rp649,9 triliun
Dia mengatakan, hal itu disebabkan lantaran pemerintah telah mengalokasikan anggaran lebih besar kepada Kementerian/Lembaga yang mencapai Rp1.498,3 triliun, yang justru mengalami kenaikan hingga 17,5% dibandingkan tahun ini. Belanja itu juga mayoritas ditujukan untuk mendukung program di daerah.
“Karena tadi jumlah dari belanja K/L yang langsung kepada masyarakat. Jadi kalau kalau TKD mengalami penurunan, ada kenaikan belanja pemerintah pusat di daerah itu naiknya jauh lebih besar,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, dikutip Bergelora.com Senin (18/8/2025).
Bendahara Negara mengatakan, hal itu ditujukan guna mendorong program pemerintah pusat agar dapat dirasakan dan dipahami langsung oleh masyarakat daerah setempat, sesuai dengan arahan Presiden Prabowo Subianto.
Tetapi, dia menggarisbawahi jika rencana tersebut harus diiringi dengan sosialisasi yang masih oleh masing-masing Kementerian dalam melaksanakan program, seperti pelayanan kesehatan, perumahan, hingga Koperasi Desa (Kopdes) Kelurahan Merah Putih.
Istana Bantah Kenaikan PBB Daerah Akibat Kebijakan Pusat
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan terpisah, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi mengatakan, maraknya kenaikan pajak bumi dan bangunan (PBB) di daerah bukan disebabkan proses yang ada pada pemerintah pusat. Menurut Prasetyo, setiap tahun sebenarnya ada daerah yang mengambil kebijakan menaikkan PBB.
“Kebaikan-kenaikan PBB itu kan kebijakan-kebijakan di tingkat kabupaten/kota. Tidak benar bahwa kebaikan-kenaikan itu sekarang seolah-olah itu akibat dari proses-proses yang ada di pusat. Tidak,” ujar Prasetyo di Kompleks Parlemen, dikutip Bergelora.com Senin (18/8/2025).
“Setiap tahun kan pasti ada daerah-daerah yang memutuskan untuk menaikan PBB,” tuturnya.
Salah satu daerah yang mendapat sorotan luas soal kenaikan PBB adalah Kabupaten Pati. Bupati Pati juga dikritisi lantaran komunikasi publiknya dinilai membuat gaduh saat menyampaikan kebijakan kenaikan PBB sebesar 250 persen.
Berkaca dari kasus Pati, Mensesneg mengingatkan para kepala daerah lebih berhati-hati saat mengeksekusi kebijakan publik.
“Menjadi pemimpin itu harus terus berhati-hati, siapapun pemimpin di tingkat apapun harus berhati-hati untuk memikirkan setiap kebijakan itu. Usahakan jangan menyusahkan rakyat,” tegasnya.
Prasetyo sebelumnya membantah bahwa maraknya kebijakan kenaikan pajak di daerah sebagai akibat kurangnya alokasi anggaran dari pemerintah pusat Menurut Prasetyo, penyebab kenaikan PBB di suatu daerah berbeda dengan daerah lain.
“Tidak ada penyebabnya karena itu, bukan ya (kurang anggaran dari pusat). Itu kan memang kebijakan-kebijakan setiap pemerintah daerah, dan memang berbeda-beda antara satu kabupaten dengan kabupaten yang lainnya,” ujar Prasetyo dilansir siaran Kompas TV, Kamis (14/8/2025).
Ia memberi contoh, kenaikan PBB di Kabupaten Pati berbeda teknisnya dengan kabupaten lain. Prasetyo pun memastikan kenaikan PBB juga sudah dilakukan dengan pertimbangan kondisi masing-masing daerah.
“Jadi bukan, menurut pendapat kami bukan karena itu. Kalaupun ada rencana atau kebijakan penaikan BBB itu di daerah masing-masing,” katanya.
Prasetyo bilang, pihaknya telah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian terkait fenomena kenaikan pajak ini.
Pembicaraan dengan Mendagri dilakukan setelah kenaikan pajak di berbagai daerah menimbulkan permasalahan. Daerah ramai-ramai naikkan PBB hingga ratusan persen
Setidaknya ada lima daerah yang saat ini menerapkan kenaikan PBB dalam jumlah besar, yakni Pati, Jombang, Semarang, Bone dan Cirebon.
Masyarakat di kelima daerah itu pun ramai-ramai menolak kebijakan pemerintah daerahnya dengan menggelar aksi demonstrasi.
Di Kabupaten Pati, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen.
PBB-P2 merupakan pajak atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan/atau bangunan di wilayah desa maupun kota, yang dikecualikan untuk lahan perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
Meski kebijakan tersebut sudah dibatalkan, publik tetap memilih turun ke jalan dan menuntut Bupati Pati Sudewo mundur dari jabatannya.
Sementara itu, puluhan warga Kota Cirebon yang tergabung dalam Paguyuban Pelangi Cirebon berkumpul di sebuah hotel di Jalan Raya Siliwangi, Selasa (12/8/2025).
Mereka menyuarakan penolakan terhadap kenaikan PBB yang mencapai 1.000 persen. Lihat Foto Kenaikan ini diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak dan Retribusi.
Juru bicara Paguyuban Pelangi Cirebon, Hetta Mahendrati, menilai kebijakan tersebut sangat memberatkan masyarakat dan tidak masuk akal.
Lalu di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, protes terhadap kenaikan PBB-P2 hingga 300 persen berakhir ricuh.
Puluhan mahasiswa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) terlibat bentrok dengan aparat di depan kantor DPRD Bone. Kericuhan dipicu kekecewaan karena aspirasi massa dianggap tidak ditanggapi, sehingga mereka mencoba masuk ke gedung dewan.
Ketua DPRD Bone, Andi Tenri Walinong, mengaku terkejut dengan adanya kebijakan tersebut, yang menurutnya masih dalam tahap pembahasan.
Ia menegaskan bahwa kenaikan ini tidak memenuhi asas legalitas penetapan dan berkomitmen mengawal pembatalannya. (Web Warouw)