Jumat, 29 Agustus 2025

JANGAN PERCAYA BANK DUNIA..! Di Hadapan DPR, Kepala BPS Bantah Manipulasi Data Kemiskinan 

JAKARTA – Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, memberikan klarifikasi terkait polemik di media sosial terkait data penurunan jumlah warga miskin di Indonesia. Sebagaimana diketahui, di lini masa, banyak warganet menuding BPS senjaga memoles data jumlah warga miskin agar citra kinerja pemerintah bisa selalu positif. Terlebih, standar yang dipakai BPS jauh berbeda dengan Bank Dunia.

“Kalau ada di dalam perbincangan netizen bahwa kita menurunkan garis kemiskinan itu sebenarnya tidak benar,” ucap Amalia saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi X DPR RI yang disiarkan Live di YouTube Komisi X, dkutip Bergelora.com di Jakqrta, Kamis, (28/8)

Menurut dia, ketika bicara angka statistik, masih banyak masyarakat yang masih awam. Hal inilah yang kemudian menimbulkan prasangka bahwa data yang disajikan BPS dianggap tidak akurat.

“Jadi memang literasi statistik sangat dibutuhkan. Masyarakat kadang-kadang ingin ikut berbicara tentang data, tetapi kadang-kadang cara membaca data dan menerjemahkan datanya masih belum pas,” ungkapnya.

Ia lalu menjelaskan, bahwa data angka kemiskinan yang dirilis BPS berpedoman pada survei langsung, yakni Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang terakhir kali dilaksanakan pada Maret dan September. Selain data lengkap soal angka kemiskinan, Susenas juga menyajikan data lengkap soal rasio gini, kemiskinan ekstrem, indeks manusia, hingga angka melek huruf.

Dalam kasus data angka kemiskinan yang turun, BPS selalu mengacu pada standar pakem, yakni garis kemiskinan berdasarkan pengeluaran makanan dan belanja non-makanan.

Ia berujar, angka pengeluaran untuk menentukan garis kemiskinan juga selalu diperbaharui, alias naik dari tahun ke tahun seiring dengan inflasi. Misalnya saja per Maret 2025, garis kemiskinan nasional ditetapkan BPS sebesar Rp 609.160 per kapita per tahun atau Rp 20.305. Garis kemiskinan ini mengalami peningkatan sebesar 2,34 persen dibandingkan September 2024.

Angka per kapita ini mencerminkan batas minimum pengeluaran seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan.

“Dan perlu kami sampaikan bahwa garis kemiskinan dari tahun ke tahun itu pasti mengalami peningkatan,” terang Amalia.

Penduduk dikategorikan miskin jika total pengeluaran per kapita per bulan mereka berada di bawah garis kemiskinan yang ditentukan BPS. Angka garis kemiskinan per kapita inilah yang kemudian ramai dibahas di media sosial.

Ia bilang, banyak publik yang salah menafsirkan angka-angka yang disajikan lembaganya.

“Nah, garis kemiskinan yang Rp 609.160 itu harus diterjemahkan ke dalam garis kemiskinan rumah tangga, karena pendapatan dan pengeluaran rumah tangga itulah yang menentukan tingkat kesejahteraan dari rumah tangga itu,” ujar Amalia.

“Sehingga tingkat pengeluaran rumah tangga untuk bisa keluar dari garis kemiskinan adalah di atas Rp 2,87 juta per rumah tangga per bulan. Jadi membaca garis kemiskinan yang tepat adalah per rumah tangga,” tegasnya. (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru