JAKARTA – Mantan hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Djuyamto disebut sumbang uang Rp2 miliar untuk pembangunan gedung NU Kartasura.
Uang tersebut berasal dari pelicin vonis lepas perkara korupsi CPO.
Adapun hal itu terungkap pada sidang lanjutan kasus dugaan suap vonis lepas korporasi, pada pengurusan perkara korupsi ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, dikutip Bergelora.com, Sabtu (6/9/2025).
Duduk sebagai terdakwa dalam perkara tersebut yakni eks Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta, tiga mantan hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Djuyamto, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin serta panitera muda Pengadilan Negeri Jakarta Utara Wahyu Gunawan.
“Ada keperluan apa ke Gambir?” tanya jaksa kepada saksi eks Supir Djuyamto, Edi Suryanto di persidangan.
Edi menerangkan kedatangannya ke Stasiun Gambir untuk menyerahkan tiga koper berisi uang.
Lanjutnya uang tersebut diserahkan ke seseorang atas nama Suratno.
Jaksa lalu menanyakan apa hubungan Suratno dengan terdakwa Djuyamto.
“Beliau bilang sama saya katanya, uang itu untuk pembayaran gedung MWCNU Kartasura (Majelis Wakil Cabang (MWC) Nahdlatul Ulama),” jawab Edi.
Kemudian dikatakan Edi tiga koper tersebut berjumlah Rp2 miliar.
“Iya (Diserahkan) yang tadi kurang lebih Rp2 miliar tadi itu,” tandasnya.
Sebagai informasi, tiga korporasi besar yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group sebelumnya dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 17,7 triliun di kasus persetujuan ekspor CPO atau minyak goreng.
PT Wilmar Group dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 11.880.351.802.619 atau (Rp 11,8 triliun), Permata Hijau Group dituntut membayar uang pengganti Rp 937.558.181.691,26 atau (Rp 937,5 miliar), dan Musim Mas Group dituntut membayar uang pengganti Rp Rp 4.890.938.943.794,1 atau (Rp 4,8 triliun).
Uang pengganti itu dituntut oleh Jaksa agar dibayarkan oleh ketiga korporasi lantaran dalam kasus korupsi CPO negara mengalami kerugian sebesar Rp 17,7 triliun.
Tapi bukannya divonis bersalah, majelis hakim yang terdiri dari Djuyamto, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin justru memutus 3 terdakwa korporasi dengan vonis lepas atau ontslag pada Maret 2025 lalu.
Tak puas dengan putusan ini, Kejagung langsung mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Sejalan dengan upaya hukum itu, Kejagung juga melakukan rangkaian penyelidikan pasca adanya vonis lepas yang diputus ketiga hakim tersebut.
Hasilnya Kejagung menangkap tiga majelis hakim PN Jakpus tersebut dan menetapkannya sebagai tersangka kasus suap vonis lepas.
Sosok Hakim Djuyamto
Eks Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Djuyamto, ditangkap di sebuah apartemen di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, oleh tim Kejaksaan Agung, Minggu (13/4/2025).
Pengamanan itu terkait penerimaan suap setelah memvonis lepas tiga korporasi dalam kasus minyak goreng atau crude palm oil (CPO).
Djuyamto diduga menerima uang suap setelah memutus bebas tiga perusahaan yang terlibat dalam kasus minyak goreng.
Kabar penjemputan Djuyamto sontak mengejutkan warga di kampung halamannya, Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.
Ini karena di mata masyarakat setempat, ia dikenal sebagai sosok yang bersahaja dan dermawan.
Selain itu, Djuyamto sangat aktif dalam kegiatan sosial dan budaya, khususnya yang berkaitan dengan pelestarian warisan budaya Keraton Kartasura.
Camat Kartasura, Ikhwan Sapto Darmono berujar, Djuyamto rajin memberikan dukungan terhadap kegiatan sosial di lingkungan masyarakat Kartasura.
“Sangat aktif (pegiat budaya) dan sangat peduli budaya di Kartasura. Berbagai kegiatan budaya, seperti Ambalwarsa Keraton Kartasura dan pagelaran wayang kulit,” ujar Ikhwan, Rabu (16/4/2025).
Bukan hanya itu, Ikhwan menyebut, Djuyamto juga dekat dengan warga, para tokoh agama dan budaya di Kartasura.
Ia sering memberikan dukungan, baik secara langsung maupun tidak langsung dan menjadi penguat bagi komunitas budaya lokal.
Dengan munculnya kasus ini, menurut Ikhwan, warga Kartasura berharap proses hukum tetap berjalan adil dan transparan.
“Kami jujur saja merasa prihatin dan berdoa saja mudah-mudahan beliau orang baik dengan kebaikan beliau mampu memberikan kemudahan dan beliau diberikan kelancaran dalam ujian ini dan kami berharap beliau bebas sangkaan-sangkaan dan bertugas seperti biasanya,” terangnya.
Diberitakan sebelumnya, Djuyamto terbukti menerima aliran dana suap untuk pengurusan perkara korupsi CPO saat ditunjuk sebagai ketua majelis hakim perkara tersebut oleh Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta, yang kini menjabat Ketua PN Jakarta Selatan.
Total sekitar Rp22,5 miliar dari Rp60 miliar yang diberikan pengacara tersangka korporasi dalam perkara tersebut melalui Arif kepada Djuyamto dan dua hakim lain, yaitu Ali Muhtarom sebagai hakim AdHoc dan Agam Syarif Baharudin sebagai hakim anggota.
“Saat itu yang bersangkutan (Arif) menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakpus kemudian menunjuk majelis hakim yang terdiri dari DJU sebagai ketua majelis, kemudian AM adalah hakim adhoc dan ASB sebagai anggota majelis,” ujar Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar di kantornya, Senin (14/4/2025).
Arif yang kini juga sudah ditetapkan sebagai tersangka awalnya memberikan uang sebesar Rp4,5 miliar ke Djuyamto dkk untuk membaca berkas perkara.
Uang itu dibagi rata sehingga per orang memperoleh Rp1,5 miliar.
Tahap selanjutnya, Arif kembali memberikan uang Rp18 miliar kepada Djuyamto cs pada September hingga Oktober 2024 dengan tujuan agar sidang yang mereka pimpin dikondisikan agar berujung vonis onslag atau lepas.
“ASB menerima uang dollar dan bila disetarakan rupiah sebesar Rp4,5 miliar, kemudian DJU menerima uang dollar jika dirupiahkan sebesar atau setara Rp6 miliar, dan AL menerima uang berupa dollar Amerika jika disetarakan rupiah sebesar Rp5 miliar,” ujarnya.
Dengan begitu, dalam pembagian uang suap ini, Djuyamto mendapatkan bagian terbanyak, yakni sekitar Rp7,5 miliar untuk pengurusan kasus tersebut.
Sebagai informasi, dalam perkara suap vonis onslag ini, Kejagung sendiri awalnya menetapkan empat orang sebagai tersangka, sebagai berikut.
MAN alias Muhammad Arif Nuryanta, yang kini menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
WG yang kini merupakan panitera muda di Pengadilan Negeri Jakarta Utara
MS dan AR berprofesi sebagai advokat.
“Penyidik menemukan fakta dan alat bukti bahwa MS dan AR melakukan perbuatan pemberian suap dan atau gratifikasi kepada MAN sebanyak, ya diduga sebanyak Rp60 miliar,” kata Abdul Qohar, Sabtu (12/4/2025) malam.
Abdul Qohar menjelaskan jika suap tersebut diberikan untuk memengaruhi putusan perkara korporasi sawit soal pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya.
“Terkait dengan aliran uang, penyidik telah menemukan bukti yang cukup bahwa yang bersangkutan (MAN) diduga menerima uang sebesar 60 miliar rupiah.”
“Untuk pengaturan putusan agar putusan tersebut dinyatakan onslag, dimana penerimaan itu melalui seorang panitera namanya WG,” ucap Abdul Qohar.
Putusan onslag tersebut dijatuhkan pada tiga korporasi raksasa itu.
Padahal, sebelumnya jaksa menuntut denda dan uang pengganti kerugian negara hingga sekira Rp17 triliun.
Dalam perjalanannya, Kejagung juga menetapkan tiga orang lainnya sebagai tersangka.
Ketiganya merupakan majelis hakim yang memberikan vonis onslag dalam perkara tersebut, yaitu:
- Djuyamto sebagai Ketua Majelis Hakim
- Ali Muhtarom sebagai Hakim AdHoc
- Agam Syarif Baharudin sebagai Hakim Anggota
(Web Warouw)