Senin, 6 Oktober 2025

80 Tahun TNI: Kembalikan Militer ke Barak: Akhiri Multifungsi dan Impunitas

Oleh: Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan *

PADA 5 Oktober 2025, Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan genap berusia 80 tahun. Koalisi mengucapkan selamat hari ulang tahun (HUT) TNI yang ke-80.

Sejak kelahirannya, TNI telah menjadi salah satu institusi penting dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Namun, peringatan ulang tahun ke-80 ini semestinya tidak semata dipandang sebagai pesta seremonial, melainkan momentum untuk melakukan refleksi kritis terhadap arah TNI pasca reformasi.

Lebih dari dua dekade sejak Reformasi 1998, publik berharap TNI bertransformasi menjadi kekuatan pertahanan yang profesional, tunduk pada supremasi sipil, dan terbebas dari praktik kekerasan terhadap warga sipil. Kenyataannya, harapan itu masih jauh dari kenyataan.

Memperingati HUT TNI, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menegaskan kembali bahwa institusi militer harus ditempatkan sesuai mandat konstitusionalnya, yakni sebagai alat pertahanan negara. Namun hingga hari ini, berbagai praktik multifungsi TNI masih berlangsung dan terus meluas ke ranah sipil. Mulai dari penempatan prajurit aktif TNI di lembaga sipil, keterlibatan dalam urusan keamanan dalam negeri, hingga mengurus sektor-sektor non-pertahanan. Praktik tersebut jelas bertentangan dengan semangat reformasi dan agenda demokratisasi di Indonesia. Multifungsi TNI tidak hanya merusak tata kelola pemerintahan sipil, tetapi juga bersifat destruktif bagi profesionalisme TNI itu sendiri. Selain itu, Multifungsi TNI membuka ruang penyalahgunaan kewenangan yang berkaitan langsung dengan tindakan represif terhadap masyarakat.

Peradilan Militer dan Impunitas

Koalisi memandang, Kasus-kasus kekerasan dan tindak pidana yang melibatkan oknum TNI terus berulang, namun penyelesaiannya masih diproses melalui peradilan militer. Dalam catatan Koalisi sejak Januari 2025 hingga September 2025, berulang kali prajurit TNI terlibat dalam tindak pidana umum yang meresahkan dan mencederai rasa aman masyarakat. Kasus-kasus yang mencuat ke permukaan di antaranya adalah penembakan bos rental mobil di Tangerang yang terjadi pada Bulan Januari, penyerangan terhadap Polres Tarakan Bulan Februari, penembakan warga sipil di Aceh dan Lampung juga pembunuhan jurnalis perempuan di Banjarbaru yang terjadi pada Bulan Maret, serta penculikan dan pembunuhan Kepala Cabang Bank BRI di Jakarta pada Agustus lalu.

Ironisnya, kekerasan juga menimpa sesama prajurit TNI, seperti dalam kasus kematian Prada Lucky di Nusa Tenggara Timur yang meninggal akibat penganiayaan oleh seniornya. Pola yang berulang ini menunjukkan bahwa persoalan kekerasan di tubuh TNI bukan sekadar tindakan individual, melainkan problem struktural dan kultural yang tak kunjung dibenahi.

Penyelesaian kasus-kasus kekerasan yang melibatkan prajurit TNI menjauhi rasa keadilan. Sistem peradilan militer yang berlaku hingga hari ini, terbukti masih menjadi celah kosong yang menciptakan ruang impunitas. Persidangan yang berlangsung tertutup dan tidak memenuhi prinsip-prinsp peradilan yang adil (fair trial) serta didominasi oleh militer sulit untk mendapatkan keadilan apalagi kalau korbannya adalah warga sipil.

Dalam praktiknya, peradilan militer menjadi sarang impunitas bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana. Kasus penembakan anak MAF di Serdang Bedagai dengan vonis hanya dua tahun enam bulan penjara, adalah bukti nyata bahwa peradilan militer lebih mengutamakan perlindungan terhadap institusi dibandingkan pemenuhan hak korban. Pola serupa juga muncul dalam kasus pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani di Papua dengan vonis terberat pada pelaku hanya 1 tahun penjara, penyiksaan terhadap Jusni di Sulawesi dengan vonis paling lama 1 tahun 2 bulan penjara, maupun penyerangan terhadap warga Deli Serdang yang pelakunya hanya divonis paling berat 9 bulan penjara. Semuanya berakhir dengan vonis ringan, dan tidak menyentuh rasa keadilan bagi para korban. Lebih dari itu, keadilan untuk kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang diproses melalui sistem peradilan militer juga sulit didapat dan diraih karena sistem peradilan militer yang tertutup dan masih abai terhadap prinsip keadilan gender.

Problem ini semakin diperparah dengan belum direvisinya Undang-undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Padahal, TAP MPR No. VII Tahun 2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU TNI telah mengamanatkan bahwa prajurit TNI diadili melalui peradilan umum dalam hal melakukan tindak pidana umum. Fakta bahwa aturan ini terus diabaikan, semakin memperkuat persepsi bahwa anggota TNI kebal hukum. Selama hakim, jaksa, dan terdakwa sama-sama berasal dari institusi militer, impunitas kian menguat dan amat mustahil mengharapkan terwujudnya peradilan yang adil dan setara. Koalisi menilai bahwa praktik ini bukan hanya pelanggaran hukum, melainkan juga pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi. Dengan masih bercokolnya multifungsi TNI dan impunitas militer, demokrasi Indonesia terus berada dalam ancaman.

Padahal, reformasi peradilan militer sesungguhnya adalah mandat dari UU No. 34 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2025 tentang TNI. Pasal 65 Ayat (2) UU TNI yang menyebutkan bahwa “prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”. Selain itu, upaya mewujudkan reformasi peradilan militer merupakan sebuah kewajiban konstitusional yang harus dijalankan pemerintah dan parlemen. Upaya mengubah peradilan militer adalah suatu langkah konstitusional untuk menerapkan prinsip persamaan di hadapan hukum secara konsisten (Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 28 Huruf d Ayat (1) UUD 1945).

Lebih jauh, di tengah daftar panjang kekerasan, Pemerintah dan TNI justru mengarahkan kebijakan yang kontra-produktif terhadap agenda reformasi. Penempatan prajurit aktif dalam jabatan sipil, seperti pengangkatan Sekretaris Kabinet dan Direktur Utama Bulog, perpanjangan usia pensiun perwira bintang dalam UU TNI yang baru, serta pembentukan enam kodam baru, merupakan langkah-langkah yang mengembalikan TNI tidak hanya pada praktik dwifungsi, namun multifungsi peran militer ke dalam ranah sipil. Semua kebijakan ini bukan hanya melanggar hukum yang berlaku, tetapi juga mengancam supremasi sipil dan membahayakan demokrasi.

Pembentukan Kodam Baru

Koalisi memandang, pembentukan enam kodam baru, antara lain: Kodam XIX/Tuanku Tambusai, Kodam XX/Tuanku Imam Bonjol, Kodam XXI/Radin Inten, Kodam XXII/Tambun Bungai, Kodam XXIII/Palaka Wira, dan Kodam XXIV/Mandala Trikora, secara khusus memperlihatkan adanya niat memperkuat Komando Teritorial yang sejatinya merupakan warisan Orde Baru.

Padahal, amanat Reformasi 1998 justru menghendaki restrukturisasi dan pengurangan Komando Teritorial karena keberadaannya lebih berfungsi sebagai alat kontrol politik ketimbang pertahanan. Selain itu, restrukturisasi ini sejatinya juga telah diatur dalam Pasal 11 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2025 tentang TNI yang mengamanatkan penggelaran kekuatan TNI tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintahan. Restrukturisasi Koter juga bertujuan agar gelar kekuatan TNI (Postur TNI) dapat mendukung peran TNI sebagai alat pertahanan negara. Sebagai konsekuensi dari restrukturisasi Koter dan mempertimbangkan lingkungan strategis serta dinamika ancaman terkini adalah perlu segera dipikirkan dan dibentuk model Postur TNI yang menekankan pembangunan kesatuan gelar kekuatan trimatra secara terpadu dan lebih terintegrasi. Penambahan Kodam hanya akan memboroskan anggaran, memperlemah akuntabilitas sipil, dan membuka ruang bagi militer untuk kembali masuk dalam kehidupan sosial-politik masyarakat.

Militerisme Dalam Ruang Siber

Ancaman terhadap demokrasi dan negara hukum juga datang dari RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS). Hal ini terlihat dari diakomodasinya TNI sebagai penyidik tindak pidana keamanan dan ketahanan siber, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) huruf d. Rumusan ini jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 30 ayat (3) UUD 1945, yang menegaskan bahwa TNI bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara, tidak memiliki tugas dan fungsi sebagai penegak hukum. Perumusan pasal ini kian menunjukkan semakin besarnya intervensi militer dalam kehidupan sipil, yang kian menciderai prinsip civilian supremacy dalam sistem hukum negara demokratis, di mana proses penegakan hukum pidana merupakan ranah kekuasaan sipil, bukan militer. Keterlibatan militer dalam proses penyidikan perkara pidana—termasuk pidana keamanan dan ketahanan siber—tidak hanya bertentangan dengan konstitusi dan UU TNI, tetapi juga mengancam kebebasan sipil dan demokrasi.

Perumusan pasal di atas menjadi indikasi semakin menguatnya upaya militerisasi ruang siber, yang langkah-langkah sistematisnya terlihat semenjak revisi UU TNI, dengan penambahan tugas operasi militer selain perang, yang berkaitan dengan penanganan ancaman pertahanan siber. Penambahan tugas ini menjadi problematis dengan kondisi ketidakjelasan mengenai gradasi ancaman. Ketidakjelasan ini akan memberikan ruang bagi militer untuk terlibat dalam semua tingkatan penanganan ancaman keamanan siber, tidak terbatas pada aspek yang berkaitan dengan ancaman perang siber (cyber conflict). Selain itu, pertahanan siber (cyber defense) yang menjadi tugas dari TNI, fokus dan lingkupnya semestinya lebih menekankan pada tindakan defensif yang diambil untuk menghancurkan, meniadakan, atau mengurangi keefektifan ancaman siber terhadap pasukan dan aset (active cyber defense), atau sebaliknya dengan tindakan yang diambil untuk meminimalkan keefektifan ancaman siber terhadap pasukan dan aset (passive cyber defense).

Koalisi memandang bahwa pada usia ke-80 tahun, TNI justru semakin menjauh dari cita-cita reformasi TNI itu sendiri. Kekerasan terhadap warga sipil, perebutan ruang sipil, penyalahgunaan senjata api, dan lemahnya akuntabilitas hukum telah menempatkan militer semakin jauh dari prinsip demokrasi dan negara hukum. Agenda reformasi TNI yang diperjuangkan dengan penuh terancam berhenti di tengah jalan dan hanya menjadi slogan kosong apabila pemerintah dan DPR tidak segera mengambil langkah nyata.

Deaakan Masyarakat Sipil

Berdasarkan paparan dalam rilis ini, maka Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak:

  1. Penghentian total praktik multifungsi TNI dalam urusan sipil, sesuai amanat reformasi dan prinsip supremasi sipil.
  2. Revisi UU No.31 Peradilan Militer 1997 untuk memastikan seluruh prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum diproses melalui peradilan umum.
  3. Pemerintah dan DPR RI untuk menegaskan kembali agenda reformasi sektor keamanan dalam kebijakan dan praktik, bukan sekadar seremoni.
  4. Panglima TNI untuk mengembalikan institusi militer ke tugas utamanya menjaga pertahanan negara, bukan mengurus hal-hal di luar mandat konstitusional.

Tidak akan ada demokrasi tanpa supremasi sipil. Tidak akan ada keadilan tanpa akuntabilitas militer.

Jakarta, 5 Oktober 2025

—–

*Rilis ini diterima Bergelora.com dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yang beranggotakan: Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, Centra Initiative, ICW, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), BEM SI, De Jure, Raksha Initiative, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI).

Narahubung:

Ardi Manto Adiputra (Imparsial),⁠ M. Isnur (YLBHI), Usman Hamid (Amnesty International Indonesia), Julius Ibrani (PBHI), Dimas Bagus Arya (Kontras), Mike Tangka (KPI), Ikhsan Yosarie (Setara Institute), Daniel Awigra (Direktur HRWG), ⁠Bhatara Ibnu Reza (DeJure), ⁠Wahyudi Djafar (Raksha Initiatives), ⁠ Al Araf (Ketua Centra Initiative)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru