Senin, 20 Oktober 2025

Prabowo-Gibran Hampir Pasti Gagal, Pemangkasan TKD Indikasi Tak Paham Negara Kepulauan

Oleh: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina*

PEMERINTAHAN Prabowo-Gibran sudah berjalan satu tahun pada 20 Oktober 2025 ini. Ketika pasangan ini terpilih ada harapan bahwa kebijakan mengenai kawasan timur akan lebih baik, karena latar belakang Presiden Prabowo yang semestinya sangat memahami karakteristik negara kepulauan.

Namun, ketika melihat postur kabinet gemoy segera memunculkan keraguan karena kontras antara keinginan untuk efesien dengan tindakan. Apalagi diikuti dengan kebijakan efesiensi “kaca mata kuda” tanpa memandang karakteristik daerah.

Kebijakan ini cukup mengejutkan, karena diberlakukan tanpa memperhatikan ketimpangan fiskal yang terjadi dari rezim ke rezim.

Efesiensi seolah hanya melihat sisi positif tanpa menimbang sebagai pukulan telak bagi daerah yang mengalami ketimpangan fiskal, seperti Tanah Papua, Maluku dan Nusa Tenggara.

Kebijakan ini dilanjutkan dengan pemangkasan transfer ke daerah (TKD) juga menggunakan “kaca mata kuda” untuk APBN 2026. Hal ini menyebabkan, TKD tahun 2026 merupakan yang terendah setidaknya selama 10 tahun terakhir.

Kesimpulannya satu: Pemerintahan Prabowo ternyata tak paham negara kepulauan dan hampir pasti akan gagal memimpin Indonesia, karena daerah yang mengalami ketimpangan fiskal akan semakin menderita.

Dengan formula Dana Alokasi Umum (DAU) yang diterapkan selama dua dekade ini saja sebenarnya sudah cukup untuk mengantar kawasan timur menuju penderitaan permanen. Kawasan timur ini ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, kemudian dipukulin lagi. Kira-kira begitulah untuk memahami kebijakan pemangkasan TKD ini.

Ketimpangan UU Perimbangan Keuangan Daerah

Sejak pemberlakuan UU Perimbangan Keuangan Daerah, formula DAU ini menggunakan parameter jumlah penduduk, luas wilayah daratam dan indeks fiskal. Formula ini sekilas tampak netral, tetapi mengandung kecurangan senyap yang sangat mendasar dan membawa dampak serius bagi daerah kepualan di Indonesia, terutama daerah di kawasan timur.

Formula ini justru semakin memperparah ketimpangan fiskal. Daerah kaya dengan jumlah penduduk besar akan tetap mendominasi alokasi fiskal, karena formula DAU yang digunakan melupakan faktor yang sangat mendasar seperti, kondisi geografi, seperti kepulauan, luas wilayah laut dan topografi.

Akibatnya, DAU wilayah kepulauan menderita karena alokasi DAU tidak seimbang dengan tantangan nyata yang dihadapi.

Alokasi DAU tidak menunjukkan kebutuhan nyata untuk pelayanan publik, transportasi pulau-pulau kecil, distribusi logistik dan pengadaan infrastruktur. Situasi ini dengan sendiri memperdalam kesenjangan antara daerah kaya dengan kemudahan akses dengan daerah kepulauan atau geografi yang penuh dengan tantangan meski sama-sama menerima DAU dengan porsi yang tidak adil.

Jadi tak heran, ketimpangan alokasi DAU ini berdampak langsung terhadap pemenuhan hak dasar masyarakat di bidang pendidikan, kesehatan dan infrastruktur di daerah kepulauan.

Untuk itu, ketika formula DAU masih tetap dipertahankan, maka secara tidak langsung memang Kawasan timur dan daerah kepualan lainnya akan mengalami penderitaan, kemiskinan dan ketertinggalan permanen.

Dengan kondisi kronis seperti inilah, pemerintah mengambil kebijakan yang seolah paling benar, dengan memangkas TKD dengan menggunakan kaca mata kuda tanpa melihat riwayat, karakteristik dan ketidakadilan fiskal yang sudah berlangsung lama.

Untuk itu, sinyalemen bahwa pemerintahan Pemerintahan Prabowo tidak paham negara kepulauan, bukan tanpa dasar dan dengan kondisi objektif seperti ini tidak terlalu keliru kalau Prabowo-Gibran memang berpotensi gagal dalam memimpin Indonesia sebagai negara kepulauan yang besar.

Penulis tidak sedang berharap ataupun mendoakan kegagalan bagi siapapun, apalagi untuk pemerintahan Prabowo-Gibran, tetapi nalar dan kenyataan empiris yang ada akan sangat naif untuk meyakini kalau kebijakan yang diambil akan mampu mempercepat kesejahteraan bagi negara kepulauan ini, sementara kebijakan yang diambil tidak menunjukkan keberpihakan kepada daerah kepulauan.

Sangat ironis, karena kebijakan yang seharusnya dikoreksi tetapi justru semakin diperparah dengan kebijakan yang membuat daerah semakin mati kutu.

Koreksi Formula DAU dan Geographic Cost Adjustment

Alokasi DAU yang menggunakan parameter penduduk, luas daratan dan indeks fiskal masih tetap dipertahankan meski semakin memperparah ketimpangan fiskal.

Kalau mau belajar dari praktik di negara lain, seperti Norwegia, Jepang dan berbagai negara lain dengan kondisi geografi yang tidak sama dan kepulauan, sangat jelas prinsip geographic cost adjustment menjadi parameter penting untuk memastikan keadilan fiskal bagi daerah terpencil atau kepulauan. Namun, Norwegia dan Jepang cukup untuk menjadi contoh praktik transfer daerah karena keduanya juga merupakan negara dengan jumlah pulau yang banyak dan memiliki kemiripan dengan Indonesia.

Norwegia misalnya mempertimbangkan biaya bagi kemampuan daerah yang mampu dan kurang mampu, sehingga ada keberpihakan negara terhadap keadilan bagi derah yang tidak mampu. Ini merupakan prinsip penyesuaian biaya geografi untuk daerah yang terpencil, pendapatan rendah dan mahal. Kebijakan redistribusi yang adil ini konsisten dilakukan dan tepat sasaran sesuai kebutuhan riil daerah.

Begitu juga Jepang sebagai negara kepulauan menerapkan prinsip ini untuk mengurangi ketimpangan antara daerah kaya dan miskin, terutama kepulauan.

Praktik baik di berbagai negara yang menekankan keberpihakan kepada daerah dengan ketimpangan fiskal sebenarnya cukup menjadi pelajaran bagi Indonesia untuk merombak formula populasi, luas wilayah daratan dan indeks fiskal.

Ketiadaan parameter geografi sangat fatal karena pemerintah menyamaratakan antara daerah kaya dengan akses mudah dan daerah susah dengan tantangan akses dan pelayanan yang kompleks. Kondisi ini semakin diperparah, karena hanya memperhitungkan luas wilayah daratan.

Padahal, bagi daerah kepulauan, wilayah laut merupakan urat nadi mobilitas barang dan jasa. Jarak pulau-pulau kecil ke pusat logistik sama sekali lepas dari pertimbangan dalam alokasi DAU.

Dengan kondisi geografi di wilayah kepulauan atau di kawasan timur menyebabkan biaya pelayanan publik di kawasan timur dua atau tiga kali lipat dengan Pulau Jawa misalnya, tetapi kawasan timur memperoleh porsi DAU yang relative minim karena bersumber dari parameter DAU yang digunakan.

Untuk itu, kawasan timur dan semua daerah kepulauan hanya memperoleh keadilan fiskal ketika formula yang berlaku selama ini dikoreksi dengan memasukkan prinsip geographic cost adjustment dan luas wilayah laut, sehingga faktor geografi, distribusi logistik, infrastruktur dan pelayanan tercermin dalam alokasi DAU.

Namun, bisa saja ada yang beragumen bahwa masih ada alokasi dana alokasi khusus (DAK). Tentu saja, tetapi DAK itu sesuai dengan kebijakan dan mungkin diikuti berbagai lobby, sehingga DAK juga bisa saja porsi terbesar ada di daerah kaya. Hal ini akan berbeda kalua komponen ini berada dalam alokasi DAU, karena ini merupakan dana dasar yang tidak mungkin seenaknya digeser.

Prinsip geographic cost adjustment ini hanya bisa diterapkan jika melibatkan Badan Informasi Geospasial, karena lembaga ini yang berkompeten untuk memastikan kondisi geografi suatu daerah, dan semestinya Kementerian Perhubungan juga harus dilibatkan untuk memastikan jarak distribusi logistik yang menjadi cakupan wilayah dengan topografi sulit ataupun wilayah kepulauan.

Hanya saja, para elit di daerah dan pusat seolah tidak peduli dengan keadilan fiskal, sehingga seolah terkejut ketika dihadapkan denggan ketimpangan yang kian dalam. Padahal, sumber ketimpangan itu tidak lepas dari kebijakan pemerintah sendiri.

Untuk itu, koreksi formula DAU merupakan langkah strategis untuk perlahan memperbaiki keadilan fiskal, distribusi layanan publik juga semakin baik, sekaligus mengharapkan semakin berkurangnya ketimpangan kawasan timur dan barat.

Ketimpangan kawasan ini menjadi persoalan lama, tetapi hanya berhenti pada tataran pidato para pejabat publik, tetapi tidak menunjukkan upaya untuk merombak formula DAU yang merupakan salah satu sumber ketimpangan fiskal, yang sekaligus berdampak pada ketimpangan wilayah.

Indonesia perlu belajar dari Greenland  yang meminta referendum dari Denmark karena salah satu pemicunya adalah ketimpangan fiskal dan ketergantungan subsidi. Padahal, Greenland memiliki sumber kekayaan alam yang sangat besar. Kondisi ini tiada bedanya dengan kawasan timur dengan kekayaan alam melimpah tetapi dipelakukan sebagai objek eksploitasi, tapi berlaku tidak adil dalam alokasi fiskal setidaknya melalui formula DAU.

Untuk itu, sebaiknya pemerintah dan para politisi melakukan koreksi kebijakan yang menyeluruh untuk memastikan keadilan fiskal. Jadi, bukan semakin memperparah bahkan belasan gubernur yang menyampaikan keberatan direspon dengan nada merendahkan di publik.

Kepala daerah dengan berbagai keterbatasan dan kekurangan merupakan perwakilan sah dari daerah, sehingga layak untuk didengar karena kepala daerah berhadapan dengan tantangan yang sangat kompleks di daerah. Salah satunya bersumber dari kebijakan pemerintah pusat sendiri.

Ketika pemerintah pusat bersikukuh dengan kebijakan yang nyata-nyata tidak memihak karakteristik kepulauan di Indonesia, maka hanya mimpi indah yang memungkinkan Prabowo-Gibran membawa kesejahteraan di Indonesia.

Pemerintahan Prabowo-Gibran hampir pasti gagal, karena gagal menjawab pertanyaan mendasar kebutuhan wilayah kepulauan yang besar ini. Pemangkasan TKD dengan “kacamata kuda” ini merupakan pukulan keras bagi daerah kepulauan, terutama yang berada di kawasan timur.

Namun, bisa saja ada yang berpandangan bahwa Prabowo-Gibran berhasil. Itu sah. Karena mengacu kepada program populis untuk meninabobokan rakyat. Tapi, kebijakan strategis justru bergerak ke arah yang berlawan.

Sejarah politik di dunia menunjukkan gaya populis seorang pemimpin memiliki dua wajah. Satu wajah yang mencitrakan diri sebagai pembela rakyat agar kontras dengan pihak yang dikategorikan “penindas” rakyat. Tetapi wajah lain merupakan wajah sejati yang muncul dalam ruang-ruang terbatas dan jauh dari sorotan publik. Namun, ini hanya ada dalam sejarah para pemimpin populis dan berharap pemimpin Indonesia tidak seperi itulah!….Semoga!

———-

*Penulis, Dipl.-Oek. Engelina Pattisiana, Direktur Archipelago Solidarity Foundation. Pemerhati Masalah Sosial, Ekonomi dan Politik.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru