Minggu, 7 Desember 2025

SEGERA USUT DULU NIH..! Habiskan Duit Rakyat Rp1,3 Triliun Zaman Sri Mulyani, Coretax Bermasalah Harus Jalani Audit Total

JAKARTA- Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono, mendesak dilakukannya audit komprehensif untuk menginvestigasi akar permasalahan di aplikasi layanan pajak digital bernama Coretax.

Di mana, proyek pembangunan aplikasi layanan pajak berbasis digital yang digarap anak usaha LG Group asal Korea Selatan (Korsel) itu, anggarannya mencapai Rp1,3 triliun. Proyek ini dijalankan di era Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Suryo Utomo.

Prianto menilai, masih terkendalanya Coretax, dapat dilihat dari berbagai perspektif. Salah satunya adalah pendekatan Input-Process-Output atau Garbage In-Garbage Out.

“Aplikasi Coretax yang menjadi output bisa bermasalah karena ada masalah di sisi input atau proses. Logika sederhananya adalah bahwa input itu diproses menjadi output,” kata Prianto saat dikutip Bergelora.com di Jakarta,  Minggu (2/11/2025).

Prianto menjelaskan, masalah dari sisi input, bisa bersumber dari proses pengadaan yang bermasalah. Hal ini mencakup pengadaan konsultan, perangkat keras dan perangkat lunak

“Input yang dapat menjadi sumber masalah di Coretax bisa berasal dari konsultan pengadaan, perangkat keras, dan/atau perangkat lunak. Proses pengadaan dapat bermasalah karena prosedur pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah tidak diindahkan sehingga ada penyimpangan,” jelasnya.

Sementara dari sisi proses, Prianto menyoroti dua kemungkinan. Pertama, terkait kompetensi sumber daya manusia (SDM) yang terlibat dalam pembangunan Coretax. Isu ini sempat mengemuka ketika Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa menyebut, proyek Coretax digarap programer lulusan SMA. Artinya, ada masalah soal SDM yang terbatas pada kualifikasi vendor.

“Proses bisa memunculkan masalah karena pembuatan bahasa pemrogramannya tidak dilakukan oleh orang yang tidak kompeten. Sinyalemen di media yang mengatakan bahwa programmer Coretax merupakan lulusan SMA dapat dijadikan indikator awal,” ujarnya.

Kedua, lanjut Prianto, kemungkinan ahli atau konsultan yang terlibat proyek Coretax tidak sepenuhnya memahami keinginan dan kebutuhan kompleks dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP), sebagai pengguna utama.

“Bisa jadi karena ahlinya tidak menguasai dan memahami keinginan DJP. Akibatnya, bahasa pemrogramannya terus mengalami perubahan,” ucapnya.

Melihat berbagai masalah yang muncul, Prianto juga menekankan perlunya adanya audit secara menyeluruh. Menurutnya, terdapat beberapa jenis audit yang relevan untuk dilaksanakan.

“Dua faktor di atas (input dan proses) akan dapat terungkap secara jelas jika ada audit komprehensif. Contohnya adalah audit forensik, audit investigatif, audit operasional, dan audit IT (teknologi informasi),” papar Prianto.

Oleh karena itu, ia mendorong aparat penegak hukum serta auditor internal dan eksternal pemerintah untuk segera turun tangan.

“Untuk itu, aparat penegak hukum, auditor internal pemerintah (BPKP), dan/atau auditor eksternal pemerintah (BPK) dapat segera terjun untuk menginvestigasi akar masalah Coretax di sisi input, dan proses,” tegas Prianto.

Kegagalan proyek ini, menurut Prianto, tidak hanya mencerminkan lemahnya manajemen proyek digital pemerintah. Namun juga berdampak langsung pada efektivitas sistem. Dikhawatirkan, penundaan yang terus menerus ini, mengganggu pencapaian pajak.

“Jika dilihat dari perspektif ilmu manajemen, keefektifan dari proyek Coretax menjadi rendah. Alasannya adalah karena target Coretax belum tercapai karena terus menimbulkan masalah sehingga mengganggu penerimaan pajak pada tahun 2025,” tuturnya. (Calvin G. Eben-Haezer)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru