JAKARTA – Pakar hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya menolak pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia Soeharto yang telah ditetapkan pada Senin (10/11/2025) atau bertepatan dengan Hari Pahlawan.
Dosen Bagian Hukum Tata Negara Unair, Dr. Dri Utari mengaku tidak setuju dengan pemberian gelar tersebut mengingat banyaknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukannya.
“Karena saat itu rakyat sudah ramai bergerak menduduki di DPR. Nah, kalau saya sih enggak setuju kalau beliau sekarang diberikan gelar seperti yang diusulkan oleh Pak Prabowo ya,” kata Utari dikutip Bergelora.com di Jakarta, Rabu (12/11).
Hal tersebut menjadikan integritas Soeharto patut dipertanyakan.
“Kalau misalnya lah, tidak terjadi apa-apa kan ya, enggak mungkin rakyat saat itu bertindak di tahun 1998 kan,” tuturnya.
Ia menegaskan, sispapun presiden yang menjabat tidak pantas untuk memberikan gelar kepahlawanan kepada Soeharto.
“Menurut saya siapapun presidennya tidak layak sih,” tegannya.
Ia menerangkan kriteria seseorang pantas diberikan gelar pahlawan tidak hanya dilihat dari hasil kerja yang dilakukan, tetapi juga prosesnya dalam menjalankan.
“Kenyataannya, ketika beliau menjadi presiden itu banyak cara yang digunakan untuk mengakali siapa-siapa yang bisa duduk di MPR dan orang yang memberikan dukungan pada beliau, jadi enggak ada yang namanya demokrasi,” jelasnya.
“Kan juga sudah dihitung siapas-iapa sjaa yang duduk di MPR, kebanyakan orang dari Golkar atau orang dari fraksi-fraksi ABRI,” lanjutnya.
Selain itu, pemberian gelar juga baiknya tidak hanya melihat sisi hukum, tetapi juga moral.
“Karena hukum juga tidak terlepas dari sisi moral, jadi seperti koin yang pnya dua sisi, saling melengkapi,” ucapnya.
Menurutnya, gelar pahlawan seseorang memiliki kemungkinan dapat dicabut apabila dasar pengangkatannya berlandaskan Peraturan Presiden (Perpres) atau Keputusan Presiden (Keppres).
“Kalau penetapannya berdasarkan Keppres atau Perpres mungkin masih bisa dirujuk ke Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN),” terangnya.
Diketahui, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengatakan, Presiden ke-2 RI Soeharto menjadi salah satu nama dari 10 sosok yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Prasetyo menjelaskan, penetapan nama-nama pahlawan nasional sudah melalui proses finalisasi dalam rapat terbatas di kediaman Presiden Prabowo di Kertanegara, Jakarta Selatan, Minggu (9/11/2025).

:Munir Lebih Layak
Kepada Bergelora.com.di Jakarta dilaporkan, Dosen sejarah Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Pradipto Niwandhono, menilai aktivis hak asasi manusia (HAM), Munir Said Thalib, lebih layak menyandang gelar Pahlawan Nasional.
Presiden Prabowo menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada 10 tokoh di Istana Negara saat momen Hari Pahlawan Nasional, Senin (10/11/2025).
Mereka adalah Soeharto, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Marsinah, Sarwo Edhie Wibowo, Mochtar Kusumaatmaja, dan Rahmah El Yunussiyah. Kemudian Sultan Muhammad Salahuddin, Syaichona Muhammad Cholil, Tuan Rondahaim Saragih, dan Sultan Zainal Abidin Syah.
Soeharto menjadi tokoh yang menyandang gelar Pahlawan Nasional tetapi menuai pro kontra di berbagai kalangan, termasuk akademisi.
Dosen Sejarah Unair Surabaya, Pradipto Niwandhono, menilai bahwa gelar tersebut belum layak disematkan pada seorang Presiden ke-2 Republik Indonesia tersebut.
“Ya, saya kira belum layak untuk diberi gelar pahlawan karena bagaimanapun menurut standar hukum internasional Soeharto adalah pelaku pelanggaran hak kemanusiaan,” kata Pradipto, Senin (10/11/2025).
Ia menyoroti banyaknya kasus pelanggaran HAM saat masa kepemimpinan Presiden Soeharto.
Puncaknya, pada Mei 1998 saat Orde Baru Soeharto dilengserkan oleh masyarakat.
Dengan demikian, menurut Pradipto, penobatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional mencederai nilai-nilai demokrasi dan keadilan yang diperjuangkan sejak reformasi.
“Selain itu, penganugerahan gelar pahlawan akan mencederai cita-cita demokrasi di Indonesia,” imbuh akademisi lulusan The University of Sydney tersebut.
Lebih lanjut, Pradipto juga bilang bahwa dengan Soeharto yang sekarang menyandang gelar Pahlawan Nasional menunjukkan negara Indonesia memberikan impunitas di bawah pimpinan Presiden Prabowo.
“Dengan gelar itu, artinya pemerintah Prabowo sekarang membawa Indonesia untuk menjadi negara yang memberikan impunitas (kekebalan hukum) pada orang-orang tertentu,” bebernya.
Pradipto juga menilai, keterpilihan Soeharto sebagai pahlawan menunjukkan bahwa bagi sebagian besar orang Indonesia, demokrasi bukan idealisme yang utama.
“Mereka menginginkan kehidupan negara yang kuat dan stabil, atau jika tidak maka mereka akan mencari kepastian pada hal yang lain, misalnya agama,” ungkapnya.
Dosen yang juga lulusan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tersebut menjelaskan bahwa terjadi pergeseran sistem sosial di kalangan masyarakat yang menjadi over-religius usai reformasi.
“Kenyataan bahwa ada sejumlah orang yang menganggap Indonesia pascareformasi telah menjadi over-religius ikut mendorong kembalinya otoritarianisme,” tuturnya.
Dari sekian banyak tokoh di Indonesia, Pradipto mengatakan, Munir menjadi salah satu yang layak menyandang gelar Pahlawan Nasional atas jasanya memperjuangkan kasus HAM.
“Munir saya kira lebih pas, salah satunya,” pungkasnya. (Web Warouw)

