JAKARTA — Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terus menyerukan pemerintah di seluruh dunia agar menekan angka konsumsi rokok di negara masing-masing, salah satunya dengan menaikkan cukai rokok. Langkah ini dinilai penting karena kasus penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) yang sebagian besar dipicu kebiasaan merokok semakin meningkat.
Utusan Khusus Direktur Jenderal WHO untuk Penyakit Pernapasan Kronis (CRDs), Jose Luis Castro, mengatakan, pedoman WHO menyarankan 75 persen harga rokok adalah cukai. Pedoman WHO ini dijalankan di sejumlah negara. Namun, cukai rokok di Indonesia baru 58,2 persen dari harga jualnya.

Padahal, kata Jose, dampak kenaikan cukai rokok di berbagai negara tidak hanya pada penurunan konsumsi rokok. Kenaikan rokok juga membuat pemerintah mendapatkan pemasukan tambahan karena tanggungan biaya kesehatan semakin berkurang.
”Jadi sangat mendesak bagi semua negara, termasuk Indonesia, mempertimbangkan penerapan pedoman kami untuk menaikkan pajak atas produk tembakau dan produk tidak sehat lain yang merugikan kesehatan masyarakat,” kata Jose di Kuala Lumpur, Malaysia.
Jose Luis Castro, menjelaskan kondisi terkini penyakit paru obstruktif kronis di dunia saat lokakarya media di Kuala Lumpur, Malaysia, Rabu (12/11/2025).
Menurut Jose, tantangan ini juga terjadi di seluruh dunia. Setiap kali membahas kenaikan pajak, politisi jarang setuju dan tak sedikit masyarakat yang tidak suka mendengarnya.
Namun, pemerintah yang baik pasti bisa menjelaskan bahwa cukai dikenakan pada produk yang membunuh dan membuat orang sakit, serta menimbulkan biaya ekonomi dan penderitaan besar bagi keluarga, seperti rokok.
”Dengan komunikasi yang jelas, opini publik bisa berubah,” ucapnya.
Banyak negara, termasuk di kawasan ini, memiliki kebijakan yang bagus di atas kertas, tetapi tidak terlaksana.
Ia menegaskan bahwa siapa pun yang bernapas berisiko terkena PPOK, bukan hanya perokok, melainkan juga mereka yang terpapar polusi udara, bahan bakar biomassa, dan paparan zat berbahaya di tempat kerja. WHO menyoroti faktor polusi udara yang memperburuk kondisi paru.
Penelitian dari Energy Policy Institute at the University of Chicago (EPIC) mengklaim bahwa negara yang menerapkan kebijakan udara bersih sesuai pedoman WHO mengalami peningkatan harapan hidup hingga 1,9 tahun. Kebijakan pengendalian tembakau, perbaikan kualitas udara, dan penguatan layanan kesehatan primer harus terintegrasi.
Kondisi ini menunjukkan bahwa kesehatan seseorang sangat bergantung pada lingkungan tempat tinggal. ”Jadi ini bukan hanya masalah kesehatan, melainkan juga masalah ekonomi dan sosial yang lebih luas,” tuturnya.

Jose menyerukan hal ini karena penyakit paru obstruktif kronis atau PPOK semakin darurat secara global. Penyakit ini telah menyerang lebih dari 400 juta orang dan merenggut 3,5 juta jiwa setiap tahun yang menjadikannya penyebab kematian ketiga terbesar di dunia.
WHO menilai PPOK telah lama terabaikan dalam kebijakan kesehatan global sehingga kurang menjadi perhatian masyarakat. Gejala awal PPOK, yakni batuk dan sesak napas, sering kali dianggap sebagai penyakit biasa.
Ini mengakibatkan banyak orang yang terkena PPOK terlambat terdeteksi. Biasanya, pasien baru menyadari gangguan yang dialami ketika kondisi yang dialami bertambah buruk. Dia mendorong penguatan layanan kesehatan primer agar dapat melakukan pemeriksaan dini.
”Penting bagi pasien untuk tahu bahwa mereka tidak sendirian. Ini penyakit, bukan aib. Mereka tidak perlu malu ketika batuk atau sesak napas, mereka perlu ke dokter untuk diagnosis dan mendapatkan pengobatan,” ujar Jose.
Thiagaraja Munusamy, penyintas penyakit paru obstruktif kronis menceritakan pengalamannya mengidap penyakit paru obstruktif kronis saat lokakarya media di Kuala Lumpur, Malaysia, Rabu (12/11/2025).
Thiagaraja Munusamy, penyintas PPOK, mengingatkan bahwa berhenti merokok memang sulit. Namun, ia menyatakan bahwa jauh lebih baik segera berhenti daripada menanggung biaya dan penderitaan akibat PPOK. Setelah 50 tahun kecanduan, dia baru berhenti merokok setelah didiagnosis mengidap PPOK tahun lalu.
”Biaya perawatan saya di rumah sakit sekitar 10.000 ringgit (sekitar Rp 40 juta), saya bayar sendiri. Tidak murah, tetapi jauh lebih baik dibanding kalau sudah jadi kanker itu akan jauh lebih mahal,” kata Thiagaraja.
Presiden terpilih Aliansi Penyakit Tidak Menular atau Non-Communicable Diseases Alliance (NCD Alliance), Saunthari Somasundaram, menambahkan, pemasalahan ini bukan karena minimnya pengetahuan tentang penyakit PPOK, melainkan kurangnya kemauan politik dari para pemimpin negara yang berdampak pada minimnya anggaran.
Dia menegaskan, semua masyarakat berperan penting agar kebijakan dan komitmen tidak hanya menjadi dokumen yang berdebu di rak. Setiap orang perlu memastikan bahwa kebijakan dan komitmen tersebut benar-benar diterapkan, dibiayai, dan memberikan layanan kesehatan yang adil, berkualitas, dan terjangkau.
”Banyak negara, termasuk di kawasan ini, memiliki kebijakan yang bagus di atas kertas, tetapi tidak terlaksana karena tidak ada pembiayaan yang jelas,” kata Saunthari.

Sementara itu, Direktur Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan Malaysia Norayan Hassan menyatakan bahwa perlu kolaborasi hingga ke tingkat kawasan untuk mengendalikan penyakit pada paru-paru yang salah satunya disebabkan adiksi merokok. Malaysia akan memimpin inisiatif kesehatan paru-paru ke tingkat global, termasuk di tingkat ASEAN.
”Kami ingin menjadikan isu ini sebagai bagian dari program pendidikan keluarga di tingkat ASEAN. Pendekatannya akan komprehensif dan mencakup advokasi kepada keluarga, sekolah, dan anak-anak,” kata Norayan.
Langkah Malaysia mengangkat isu kesehatan paru-paru ke tingkat ASEAN menjadi sinyal positif bagi upaya kolaborasi regional. Inisiatif ini diharapkan mampu memperkuat kesadaran masyarakat, mempercepat deteksi dini, serta mengurangi ketergantungan terhadap rokok yang telah lama membebani sistem kesehatan dan ekonomi.
Dengan dukungan kebijakan yang konsisten dan partisipasi aktif masyarakat, target menurunkan beban PPOK dan menciptakan udara lebih sehat di kawasan dapat lebih cepat terwujud.

Purbaya Pastikan Tarif Pajak dan Cukai tak Naik Sebelum Ekonomi Stabil
Kepada Bergelora.com.di Jakarta dilaporkan sementara itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan tidak akan menambah beban fiskal masyarakat melalui kenaikan pajak atau bea masuk selama kondisi ekonomi belum stabil. Ia menyatakan seluruh rencana mengeluarkan pungutan baru, termasuk bea cukai dan tisu basah, masih dipertahankan hingga momentum pemulihan ekonomi benar-benar kuat.
Purbaya menyampaikan rencana pengenaan bea cukai atas produk popok dan tisu basah memang tercantum dalam PMK Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kemenkeu 2025–2029. Namun ia memastikan implementasinya belum dilakukan.
“Sepertinya sekarang belum kita akan terapkan dalam waktu dekat. Jadi, saya acuannya sama dengan sebelumnya, sebelum ekonomi stabil, saya enggak akan nambah pajak (cukai) tambahan dulu,” ujarnya dalam Konferensi Pers Lapor Pak Menkeu di Jakarta, Jumat (14/11/2025).
Menurut Purbaya, pembuatan kerajinan baru hanya layak dilakukan bila perekonomian tumbuh sedikitnya 6 persen agar tidak memberi tekanan tambahan kepada masyarakat.
“Ketika ekonomi sudah tumbuh 6 persen atau lebih baru kita berikan pajak-pajak (cukai) tambahan. Jadi variasi seperti itu, enggak berubah,” katanya.
Ia juga mengadakan berbagai rencana keuangan negara lain, termasuk kenaikan tarif cukai rokok pada tahun 2026 yang sebelumnya disiapkan di era Menteri Keuangan Sri Mulyani. Purbaya memilih fokus menekan peredaran rokok ilegal dan memperluas Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT) sebagai bentuk pembinaan industri. (Web Warouw)

