Langsung ke kontenOleh: Paweł Wargan dan Jason Hickel *
Oleh: Paweł Wargan and Jason Hickel
Pendahuluan
Di Desa Minzhu, sebuah komunitas kecil di Distrik Jiulongpo, kota metropolitan Chongqing yang luas, sebuah transformasi luar biasa telah terjadi. Dahulu merupakan labirin bangunan-bangunan runtuh dan jalan-jalan sempit berlumpur, Desa Minzhu kini menjadi komunitas modern dengan dinding bata merah yang cemerlang, jalan setapak yang tertata rapi, dan layanan publik yang berkembang pesat. Desa ini memiliki pasar petani berkelanjutan yang dibangun dengan bahan daur ulang, kantin umum yang menyediakan makanan gratis untuk lansia, taman kebugaran, panggung untuk pertunjukan publik, kafe-kafe modern dan terjangkau, serta bar bir craft yang dikemas dalam kontainer pengiriman yang ditumpuk.
Di alun-alun utama, di seberang kantin tiga lantai, Partai Komunis Tiongkok (PKT) mengoperasikan sebuah kantor publik yang elegan, tempat warga dapat meminta dukungan kader Partai untuk berbagai hal, mulai dari mengecat ulang rumah mereka hingga menyelesaikan perselisihan antar tetangga.
Hanya beberapa tahun yang lalu, limbah mengalir melalui sebuah kanal di sepanjang jalan raya utama. Anak-anak dan lansia kini mencelupkan kaki mereka di sungai yang telah menggantikannya.
Desa Minzhu pernah menjadi rumah bagi salah satu perusahaan terpenting Tiongkok: Pabrik Perkakas Mesin Konstruksi Chongqing (国营建设机床厂) milik negara. Pabrik ini berawal dari Hanyang Arsenal (汉阳兵工厂), produsen senjata utama pada masa Dinasti Qing. Selama Perang Tiongkok-Jepang Kedua, Hanyang Arsenal dipindahkan ke Distrik Jiulongpo dan, pada tahun 1957, secara resmi berganti nama menjadi Pabrik Perkakas Mesin. Pabrik ini menjadi salah satu perusahaan militer terbesar di Tiongkok, memproduksi senapan semi-otomatis dan senapan mesin ringan. Pada puncak kejayaannya, pabrik ini mempekerjakan lebih dari 20.000 pekerja, dan Desa Minzhu dibangun untuk menampung mereka. Dibangun dengan gaya blok apartemen Soviet dan menggunakan batu bata merah-oranye, Desa ini menjadi simbol periode industrialisasi dan perubahan pesat yang melanda Tiongkok.

Pada tahun 2009, Pabrik Perkakas Mesin dipindahkan ke Kawasan Industri Huaxi di Distrik Banan sebagai bagian dari kebijakan baru pembangunan kembali perkotaan. Desa Minzhu yang telah lapuk dan usang mulai mengalami kemunduran. Infrastrukturnya memburuk dan populasinya menua serta menyusut. Para pejabat mempertimbangkan untuk merobohkan desa dan merelokasi penduduknya. Namun, masyarakat setempat memiliki ikatan generasi dengan daerah tersebut, yang memiliki makna sejarah bagi negara. Alih-alih dirobohkan, desa tersebut menjalani program regenerasi yang komprehensif. Desa ini menjadi model bagi seluruh negeri — dan memberikan contoh nyata proses partisipatif dalam pembangunan Tiongkok.
Setelah peluncuran program percontohan pembangunan kembali perkotaan pada tahun 2021, PKT menyelenggarakan ratusan “pertemuan halaman” di Desa Minzhu,– pertemuan masyarakat yang diadakan di alun-alun, tempat warga menyampaikan keluhan, menyuarakan pendapat, dan berbagi ide untuk pembangunan kembali lingkungan tersebut.
Kotak Surat No. 1, kotak surat yang awalnya didirikan pada tahun 1953 sebagai saluran komunikasi bagi para pekerja Pabrik Perkakas Mesin, didigitalkan dan diperluas menjadi program formal yang mengumpulkan ribuan saran dari warga.
Sebuah stasiun pun didirikan untuk memfasilitasi survei publik di semua tingkatan masyarakat — yang semakin memperluas peran kotak surat.
Kini, sebagian Desa Minzhu mengingatkan kita pada sudut-sudut trendi London atau Berlin. Namun, transformasi lingkungan ini mengikuti jalur yang berbeda dengan apa yang sering terjadi di kota-kota metropolitan di Barat. Meskipun prosesnya menyiratkan perubahan kualitatif yang sama seperti yang terjadi pada gentrifikasi di banyak kota besar, hal itu tidak menggusur penduduk lokal yang bekerja di Desa Minzhu. Sebaliknya, proses ini meningkatkan taraf hidup mereka, semakin menarik mereka ke standar hidup kelas menengah perkotaan — keluar dari kemiskinan, dan menuju apa yang disebut PKT sebagai “kemakmuran moderat”, sebuah tahap pembangunan di mana kebutuhan dasar terpenuhi dan standar hidup yang nyaman tersedia bagi semua orang. Hal ini didasarkan pada kebutuhan yang diartikulasikan sebelum, selama, dan setelah proses pembangunan kembali oleh anggota masyarakat.
Pasar petani dimodernisasi, sungai dibersihkan, kantin dibangun, dan lembaga serta infrastruktur baru untuk rekreasi, waktu luang, dan pengembangan masyarakat dibangun di sekitar Desa .
Proses ini,– konsultasi rakyat yang luas dan mengubah kehidupan kaum pekerja,– merupakan landasan gagasan Tiongkok tentang “demokrasi rakyat yang menyeluruh”. Proses ini mencerminkan metodologi revolusioner yang berupaya mengembangkan “garis massa” dengan terus-menerus menafsirkan, mensistematisasikan, dan mewujudkan gagasan rakyat.
Proses ini bisa jadi sulit. Xiong Jie dan Tings Chak telah menjelaskan secara rinci bagaimana proses ini berjalan selama restorasi Danau Erhai, yang melibatkan perdebatan panjang antara pejabat partai dan penduduk setempat untuk mengatasi konflik, mencapai kompromi, dan meraih dukungan rakyat untuk solusi praktis. 2
Dominasi Kelas Kapitalis di Barat
Ini adalah cita-cita yang bagus, tetapi mengaburkan peran kekuatan kelas. Dalam sistem seperti itu, sangat mudah bagi kelas dominan,–kelas dengan kekuatan finansial dan organisasi terbesar,– untuk menentukan hasil politik demi kepentingannya sendiri, menguasai negara, dan mencegah segala tantangan demokratis terhadap kekuasaannya. Memang, inilah yang terjadi di bawah kapitalisme. Akibatnya, negara berfungsi sebagai instrumen kekuasaan kelas kapitalis. Tatanan kelembagaan dan adat istiadat politiknya berfungsi untuk memajukan dan mengamankan dominasi satu kelas atas kelas lainnya. “Ketertiban” dan “stabilitas” memoderasi konflik kelas demi mempertahankan kekuasaan kapital dan mencegah munculnya sistem politik yang melayani kaum pekerja. 3 Akibatnya, demokrasi liberal memfasilitasi konsolidasi dan operasi kediktatoran borjuis.
Sebuah studi tahun 2014 yang diterbitkan oleh CambridgeUniversity Press menemukan bahwa implementasi kebijakan AS umumnya mengikuti preferensi elit dan lobi bisnis terorganisir, bahkan ketika bertentangan dengan preferensi mayoritas. Dengan kata lain, AS lebih menyerupai oligarki daripada demokrasi. Realitas ini tercermin dalam survei opini. Data dari Indeks Persepsi Demokrasi menunjukkan bahwa hanya 54% warga Amerika Serikat yang percaya bahwa negara mereka benar – benar demokratis, dan hanya 42% yang mengatakan bahwa pemerintah melayani mayoritas rakyat. 5 Iniadalah angka yang mencolok di negara yang mempromosikan dirinya sebagai benteng “demokrasi”.

Bagi kapitalis, demokrasi berbahaya dan harus dicegah sebisa mungkin. Konsesi yang secara historis diberikan kapitalisme kepada kelas pekerja memang hanya terjadi dalam kondisi perjuangan sosial yang militan dan transformasi global yang tektonik. Ekspansi partai-partai politik demokratis di Eropa awal abad ke-20 terjadi setelah periode militansi buruh yang berkepanjangan, yang mendapatkan konsesi dari kelas kapitalis yang ingin menghambat momentum revolusioner. Kebijakan-kebijakan awal yang berorientasi sosial di Barat juga dapat ditelusuri kembali ke persepsi risiko revolusi komunis yang dipicu oleh Oktober 1917, dan oleh integrasi partai-partai komunis Eropa Barat ke dalam Komunis Internasional .
Partai politik,– seperti negara,– tidak dapat dipahami di luar pertanyaan kelas. Partai muncul, menarik dukungan, dan berfungsi sebagai perwakilan dari kepentingan kelas tertentu dan mencerminkan keseimbangan kekuasaan yang dinamis di antara kelas-kelas. Tanpa partai yang diciptakan menurut citra mereka, kelas pekerja dipaksa untuk bersekutu secara politis dengan subjektivitas asing: subjektivitas kelas penindas. Keberadaan banyak partai kapitalis yang bersaing memotong cakrawala politik kaum pekerja dengan memecah belah mereka di sepanjang isu-isu sekunder yang menyembunyikan kontradiksi kelas fundamental yang menyusun masyarakat dan kehidupan mereka. Ini mengubah kontradiksi non-antagonis dalam kelas pekerja menjadi kontradiksi yang antagonis, 7 misalnya dengan memecah belah kaum pekerja pada pertanyaan-pertanyaan imigrasi, alih-alih menyatukan mereka dalam pelayanan pembebasan.
Representasi massa rakyat dalam proses politik dan ekonomi membuka pintu bagi serangkaian tuntutan yang jauh lebih luas yang dapat diajukan terhadap negara. Jika demokrasi Barat membatasi diri pada hak dan kebebasan politik formal,– yang dengan sendirinya sangat dibatasi ketika mengancam dominasi kelas kapitalis dalam negara,– demokrasi sosialis juga berupaya mewujudkan hak-hak ekonomi dan sosial tersebut beserta hak-hak massa. Hal ini karena pembebasan substantif tidak dapat dicapai dalam kondisi kekurangan ekonomi. Dapatkah seseorang dikatakan bebas jika ia lapar, haus, atau tunawisma? Kebebasan bukan sekadar komitmen retoris. Kebebasan harus muncul bersamaan dengan terwujudnya kondisi material dan historis tertentu. Kebebasan membutuhkan pembangunan yang stabil dan negara yang mampu menyalurkan pembangunan tersebut untuk melayani kebutuhan sosial.
Sebagaimana ditulis Karl Marx dan Friedrich Engels dalam The German Ideology:
“Secara umum, manusia tidak dapat terbebaskan selama mereka tidak mampu memperoleh makanan dan minuman, perumahan dan sandang dalam kualitas dan kuantitas yang memadai. ‘Pembebasan’ adalah tindakan historis, bukan tindakan mental, dan hal ini disebabkan oleh kondisi historis.” 8
Merenungkan pengorganisasian kader-kader Partai, Mao Zedong menekankan, “Tidak seorang pun dalam posisi kepemimpinan kompeten untuk memberikan arahan umum kepada semua unit kecuali ia memperoleh pengalaman konkret dari individu dan peristiwa tertentu…”9 Dengan kata lain, perlu ada ikatan organik antara mekanisme Partai dan pengalaman konkret rakyat. Dalam mewakili kepentingan mayoritas, Partai Komunis harus menciptakan kondisi bagi partisipasi massa dalam pemerintahan negara. Tanpa ini, benang merah yang mengikat rakyat pada proses pembangunan sosialis akan hilang dan arah pergerakan negara akan terdistorsi oleh kelambanan birokrasi atau kepentingan sempit lainnya.
Demokrasi Rakyat Menyeluruh
Konsep “demokrasi rakyat yang menyeluruh” pertama kali diartikulasikan oleh Presiden Xi Jinping dalam pidatonya pada bulan September 2014 di sebuah konferensi yang memperingati 65 tahun berdirinya Chinese People’s Political Consultative Conference (CPPCC),– Konferensi Konsultatif Politik Rakyat Tiongkok.
10Xi menekankan unsur “konsultatif” yang telah lama tertanam dalam demokrasi sosialis Tiongkok. “Menerapkan demokrasi rakyat dan memastikan posisi rakyat sebagai penguasa negara,” ujarnya, “menuntut kita untuk memulai diskusi yang ekstensif di seluruh lapisan masyarakat sambil memerintah negara.”11
Untuk memahami peran konsultasi dalam proses revolusioner Tiongkok, perlu dikaji ulang secara singkat sejarah perkembangan PKT. Sejak awal tahun 1930-an, masa Republik Soviet Jiangxi, Partai bereksperimen dengan strategi untuk melibatkan massa—yang selama berabad-abad tertindas dan tak pernah cukup terorganisir untuk menggulingkan struktur penindasan yang menindas mereka—ke dalam kehidupan politik yang aktif. Hal ini, sebagaimana dipahami secara luas, merupakan satu-satunya cara untuk membangun revolusi. Mustahil mengatasi “tiga gunung” imperialisme, feodalisme, dan kapitalisme tanpa mengorganisir mayoritas masyarakat melawan para penindas mereka. Dari premis ini muncul konsep “garis massa” dan sebuah proses mempelajari pandangan massa, mengoordinasikan dan mensistematisasikannya, lalu membawanya kembali kepada massa di mana pandangan tersebut dapat diadopsi sebagai analisis populer dan kebenarannya dapat diuji melalui aksi kolektif. Latihan ini berulang, terus-menerus, dalam proses berkelanjutan untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan kontradiksi yang dihadapi masyarakat.
“Dalam semua kerja praktis Partai kita,” kata Mao Zedong, “semua kepemimpinan yang benar haruslah ‘dari massa, untuk massa’.”12
Dalam studi etnografinya tentang transformasi revolusioner Desa Long Bow di Tiongkok antara tahun 1945 dan 1948, William Hinton mengamati bagaimana proses ini diterapkan untuk secara radikal menjungkirbalikkan struktur dan tradisi feodalisme yang telah berusia berabad-abad.
Melalui konsultasi, tanah didistribusikan kembali dan perempuan mendapatkan hak-hak mereka.
Melalui konsultasi, properti yang dirampas dari tuan tanah feodal didistribusikan kembali kepada keluarga-keluarga yang seringkali hanya memiliki satu pot dan satu set pakaian.
Melalui konsultasi, pengelolaan bidang-bidang tanah yang baru dikolektifkan diatur.
Pada setiap tahap, proses ilmiah untuk secara kolektif merumuskan tantangan, mengembangkan solusi, dan menguji solusi-solusi ini terhadap realitas material membantu mengembangkan kapasitas massa untuk memerintah.
“Dengan demikian, para petani, di bawah bimbingan Partai Komunis, telah bergerak selangkah demi selangkah dari pengetahuan parsial menuju pengetahuan umum, dari tindakan spontan menuju tindakan terarah, dari kesuksesan terbatas menuju kesuksesan menyeluruh,” tulis Hinton.
“Dan melalui proses ini mereka telah mengubah diri mereka dari korban pasif kekuatan alam dan sosial menjadi pembangun aktif dunia baru.” 13
Kebangkitan PKT melalui mobilisasi revolusioner massa, yang secara eksplisit berorientasi pada perbaikan kondisi bagi petani dan buruh, membangun hubungan fundamental antara massa dan negara yang terus menopang kontrak sosial Tiongkok. Proses tersebut berkembang,– dengan kemajuan, kemunduran, keberhasilan, dan kegagalan—dalam dekade-dekade setelah revolusi.
Kini, PKT telah berkembang hingga mencakup lebih dari 100 juta anggota dan lebih dari 75 juta anggota liga pemuda. Bahkan, setiap keluarga memiliki setidaknya satu orang di dalam Partai, yang memastikan tidak hanya bahwa beragam posisi sosial dan pandangan politik terwakili di dalam partai, tetapi juga bahwa PKT memiliki saluran langsung untuk memahami apa yang diinginkan atau dibutuhkan setiap segmen masyarakat Tiongkok.
Secara internal, PKT beroperasi di bawah model sentralisme demokratis, yang merupakan prinsip organisasi fundamental dan sistem kepemimpinan Partai. Di bawah model ini, debat yang sengit didorong secara internal di semua tingkatan untuk menyatukan kebijaksanaan kolektif anggota Partai. Kemudian, anggota PKT berkomitmen untuk menegakkan keputusan yang telah disepakati, memastikan bahwa upaya Partai menyatu di balik tujuan bersama.
Perlu ditegaskan di sini bahwa PKT tidak dapat dipandang sama dengan partai politik dalam demokrasi liberal. PKT bukanlah instrumen persaingan politik. Sebaliknya, PKT merupakan wahana bagi partisipasi massa dalam pemerintahan dan penjamin sistem politik secara keseluruhan.
Faktanya, Tiongkok bukanlah negara satu partai. Tiongkok memiliki sembilan partai resmi: PKT dan delapan partai demokrasi. Sistem ini merupakan warisan sejarah. Pada awal abad ke-20, Tiongkok bereksperimen dengan demokrasi liberal multi-partai. Hasilnya hampir demokratis. Lebih dari 300 partai terbentuk di seluruh negeri dan, antara tahun 1912 dan 1928, sistem tersebut menghasilkan 10 kepala negara yang berbeda, 45 kabinet, dan 59 perdana menteri — enam belas tahun kekacauan politik.
Periode kediktatoran satu partai di bawah Kuomintang Chiang Kai-shek juga gagal, menghasilkan krisis ekonomi dan kekalahan militer. Selama itu, partai-partai baru muncul untuk memperebutkan kekuasaan.
Sistem politik baru dibutuhkan dan mandat untuk membangunnya jatuh pada PKT. Sistem yang muncul berfokus pada pengembangan hubungan kooperatif, bukan kompetitif, di antara partai-partai politik yang ada, yang akan berfungsi sebagai saluran bagi berbagai segmen masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan — misalnya dengan melakukan penelitian atau konsultasi mengenai undang-undang. 14
Lintasan sejarah ini mencerminkan sumber legitimasi demokrasi yang bukan berasal dari tatanan kelembagaan abstrak, melainkan dari perbaikan nyata kondisi material bagi mayoritas penduduk Tiongkok.
Lin Shangli berargumen untuk memajukan kebijakan yang “mendapat dukungan sepenuh hati dari rakyat” dan menghasilkan “pembangunan nasional yang berkelanjutan, stabil, dan sehat” — pencapaian yang mustahil dicapai tanpa proses konsultatif yang kuat yang mampu mengidentifikasi dan menyelesaikan permasalahan konkret yang dihadapi oleh penduduk.
15 Xi Jinping,– yang telah berupaya meningkatkan mekanisme demokrasi akar rumput,– telah menekankan hal ini dalam pidato dan tulisannya:
“Proses musyawarah yang ekstensif di antara rakyat adalah proses memajukan demokrasi dan memanfaatkan kebijaksanaan kolektif, proses menyatukan pemikiran rakyat dan membangun konsensus, proses pengambilan keputusan yang ilmiah dan demokratis, serta proses memastikan posisi rakyat sebagai penguasa negara. Hanya dengan cara inilah kita dapat memiliki fondasi yang kokoh bagi pemerintahan negara kita dan bagi pemerintahan sosial; hanya dengan cara inilah kita dapat menggalang kekuatan.” 16
Aliran Sesat Demokrasi Liberal Versus Demokrasi Rakyat
Tiga kontras utama dapat ditarik dari model-model demokrasi liberal di Barat. Pertama, di Barat, konsep demokrasi masih terbelenggu idealisme. Demokrasi dianggap lengkap, sebuah sistem politik yang telah mencapai tujuan akhirnya, sebuah pernyataan yang memungkinkan demokrasi liberal dijadikan senjata melawan mereka yang ingin memajukan hak-hak yang tidak diakomodasinya.
Di Barat, hanya sedikit pembicaraan tentang pendalaman, perluasan, atau peningkatan demokrasi liberal. Karena kurangnya dasar ilmiah yang jelas, para cendekiawan Tiongkok menyebut sistem Barat sebagai “takhayul” atau “seperti aliran sesat”.
17 Sebaliknya, “demokrasi rakyat yang berproses secara menyeluruh” dipahami dalam kerangka materialisme historis dan dialektis.
Demokrasi adalah proses yang terus berkembang, yang niscaya semakin dalam, meluas, dan meningkat seiring dengan semakin banyaknya penduduk yang tertarik ke dalam sistem pemerintahan, dan dampaknya diukur dari perbaikan material dan immaterial yang dihasilkannya bagi kehidupan masyarakat. “Eksplorasi dan praktik demokrasi manusia tidak ada habisnya,” tulis Cheng Enfu dan Chen Jian. 18
Sebagai bagian dari proses ini, Tiongkok belajar dari kesalahan dan kekurangannya sendiri. Sebagaimana di negara mana pun, terdapat momen-momen di mana mekanisme umpan balik dan akuntabilitas yang tidak memadai dalam proses pembuatan kebijakan telah menimbulkan konsekuensi yang merugikan, terkadang serius, bagi negara dan rakyatnya. Namun, sistem Tiongkok saat ini mencerminkan tekad untuk menyerap pelajaran dari sejarah dan—melalui refleksi dan umpan balik yang berkelanjutan—mengkalibrasi ulang kebijakan untuk mengatasi keterbatasan di masa lalu.
Kedua, demokrasi liberal Barat memastikan bahwa hanya sedikit orang yang aktif dalam proses politik di luar bilik suara — sebuah praktik terbatas dan berkala yang hasilnya dipelintir dan dirusak oleh disparitas kekuatan ekonomi.
Sebaliknya, model demokrasi Tiongkok bertujuan untuk mempertahankan partisipasi massa yang luas dalam proses politik setiap saat dan di semua tingkatan — inilah yang dimaksud dengan “proses menyeluruh”. Hal ini berlaku di bilik suara. Pada tahun 2016 dan 2017, lebih dari 900 juta pemilih mengikuti pemilihan kongres rakyat di tingkat kotapraja dan kabupaten — dua tingkat pertama dari sistem pemilihan lima tingkat Tiongkok yang mewakili 90% partisipasi masyarakat.
Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah pemilih telah mencapai lebih dari satu miliar, melampaui jumlah pemilih di India dan menjadikan pemilihan umum Tiongkok sebagai pemilihan demokratis terbesar yang diselenggarakan di seluruh dunia. Namun, partisipasi massa juga harus berlaku di luar bilik suara, sebuah poin yang ditegaskan Xi Jinping dalam pidatonya pada Oktober 2021:
“Jika rakyat hanya terbangun saat pemungutan suara dan terlena setelahnya; jika rakyat mendengar slogan-slogan besar saat pemilu tetapi tidak memiliki suara setelahnya; jika rakyat diunggulkan saat berkampanye tetapi terabaikan setelah pemilu, ini bukanlah demokrasi sejati.”
Janji kesetaraan politik yang terkandung dalam konsep “satu orang, satu suara” tidak serta-merta mencakup hak-hak sosial dan ekonomi yang lebih luas yang terkandung dalam konsepsi sosialis tentang pembangunan dan demokrasi. Selain pemilihan umum, “demokrasi rakyat yang menyeluruh” menjamin partisipasi massa melalui konsultasi, seminar, rapat, debat, simposium, dengar pendapat, dewan, kritik, dan bentuk-bentuk umpan balik populer lainnya yang membantu membentuk hasil legislatif dan kebijakan.
Dengan demikian, ketika Tiongkok mengembangkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Tiongkok mengadakan 10 putaran konsultasi publik, menerima lebih dari satu juta komentar dari 425.000 orang. 19
Dalam konsultasi yang sedang berlangsung untuk Rencana Lima Tahun ke-15 Tiongkok, yang akan dilaksanakan dari tahun 2026 hingga 2030, pemerintah Tiongkok menerima lebih dari tiga juta saran dari publik — atau tiga kali lipat lebih banyak daripada yang diterimanya selama periode yang sama untuk Rencana Lima Tahun ke-14 pada tahun 2020. 20
Angka-angka ini saja tidak mencerminkan luas dan dalamnya proses tersebut, yang melibatkan rangkaian saluran yang kompleks untuk konsultasi dan umpan balik publik.
Seperti kotak surat di Desa Minzhu, negara mengoperasikan apa yang disebut “hotline layanan 12345” di seluruh negeri. Hotline ini, yang menjamin “tanggapan segera setelah menerima pengaduan”, bertujuan untuk mengatasi masalah publik dan merupakan bagian dari perangkat saluran komunikasi yang lebih luas yang mencakup pusat panggilan, kotak surat wali kota, aplikasi seluler, dan grup di WeChat, “aplikasi segalanya” Tiongkok.
Dengan cara ini, pemerintah di semua tingkatan menanggapi tuntutan publik dan mengatasi isu serta masalah yang secara langsung menjadi perhatian publik.
Di tingkat legislatif, pengembangan kebijakan cenderung mengikuti proses yang ekstensif dan berlangsung selama beberapa tahun di mana partai politik, lembaga penelitian, gerakan massa, dan organisasi lain di seluruh negeri dilibatkan untuk melakukan penelitian dan menyelenggarakan debat serta konferensi tentang pertanyaan kebijakan konkret, yang kemudian memberikan umpan balik ke dalam proses pembentukan kebijakan.
Menjelang Kongres Nasional PKT ke-20, misalnya, 54 lembaga penelitian berpartisipasi dalam melakukan studi yang menjadi masukan bagi laporan resmi, menghasilkan 80 makalah. Dalam proses tersebut, 64 tim peneliti melakukan 179 kunjungan lapangan ke provinsi, daerah otonom, dan kotamadya; 25 tim peneliti melakukan survei tertulis terhadap 465 organisasi; dan 10 tim peneliti menugaskan 252 organisasi untuk melakukan studi khusus.
Tim peneliti tersebut melibatkan 19.022 peserta, dan melakukan konsultasi serta wawancara dengan 1.847 individu. Konsultasi opini publik daring untuk Laporan Kongres ke-20 menerima lebih dari delapan juta tanggapan .
Ketiga, demokrasi liberal dijalankan terutama oleh dan untuk kepentingan kelas penguasa kapitalis. Akibatnya, upaya keras dilakukan untuk membatasi politisasi masyarakat di luar parameter sempit yang mempertahankan dominasi kapital atas buruh — dan hanya ada sedikit mekanisme untuk meminta pertanggungjawaban kekuasaan di luar pemilu.
Ketika aktivasi politik terjadi di luar periode pemilu, hal itu niscaya muncul sebagai oposisi terhadap pemerintah dan kebijakan negara, dan seringkali diekspresikan sebagai reaksi terhadap janji-janji pemilu yang diingkari. Hal ini karena kendali negara oleh kapitalis niscaya menghasilkan hubungan kelas yang antagonistik, dengan kelas kapitalis berusaha memaksimalkan keuntungannya melalui penindasan, sementara kelas pekerja berusaha menghapuskan penindasan tersebut.
Sebaliknya, dalam masyarakat revolusioner, massa telah merebut kekuasaan negara dan oleh karena itu membentuk negara dan mewakili sumber utama legitimasi dan kekuasaannya.
Sebagaimana diamati Mao Zedong, hal ini menghasilkan kontradiksi yang secara fundamental berbeda dari kontradiksi yang ada dalam kapitalisme:
“Dalam masyarakat kapitalis, kontradiksi menemukan ekspresinya dalam antagonisme dan konflik yang tajam, dalam perjuangan kelas yang tajam; kontradiksi tersebut tidak dapat diselesaikan oleh sistem kapitalis itu sendiri dan hanya dapat diselesaikan oleh revolusi sosialis.
Berbeda halnya dengan kontradiksi dalam masyarakat sosialis; sebaliknya, kontradiksi tersebut tidak bersifat antagonistik dan dapat diselesaikan tanpa henti oleh sistem sosialis itu sendiri…” 22
Oleh karena itu, keharusannya adalah menciptakan struktur pemerintahan dan budaya akuntabilitas politik yang bekerja berdampingan dengan sistem negara untuk memajukan tujuan bersama. Inilah yang dimaksud dengan “demokrasi rakyat”, sebuah konsep yang muncul sebagai kontras dengan “demokrasi borjuis”. Ini adalah sistem di mana kebijakan berusaha untuk “benar-benar mencerminkan keprihatinan rakyat, mewujudkan aspirasi mereka, mempromosikan kesejahteraan mereka, dan memenuhi keinginan mereka untuk kehidupan yang lebih baik.” 23
Victor Gao — seorang pengacara dan akademisi Tiongkok yang merupakan anggota Komite Revolusi Kuomintang Tiongkok, salah satu dari delapan partai demokrasi di Tiongkok — membandingkan model demokrasi Tiongkok dan Barat dengan sebuah mobil.
Dalam sistem Tiongkok, katanya, semua roda mobil bergerak dalam satu arah. Dalam sistem lain, roda-roda mobil yang sama bergerak dalam arah yang saling bertentangan, “menghasilkan bukan sinergi atau koordinasi dan hasil yang lebih besar, tetapi inefisiensi, inkompetensi, kurangnya pencapaian, dan tidak ada manfaat mendasar bagi rakyat.” 24
Kebutuhan untuk bergerak ke arah yang sama memiliki konsekuensi terhadap akuntabilitas para pejabat: pemilih tidak hanya dapat memilih pejabat untuk menduduki jabatan, tetapi juga dapat menyingkirkan mereka dari kekuasaan jika mereka tidak mencerminkan kepentingan rakyat secara memadai.
25 Masyarakat juga didorong untuk melaporkan pejabat yang melakukan korupsi atau pelanggaran, dan laporan tersebut memiliki konsekuensi nyata. Antara tahun 2012 dan 2022, 4,7 juta orang menghadapi berbagai bentuk hukuman hanya karena korupsi. 26
Model demokrasi rakyat proses-utuh Tiongkok dengan demikian mengintegrasikan dua model demokrasi utama: demokrasi elektoral dan demokrasi konsultatif. Model ini dimulai di tingkat kotapraja (乡镇级), di mana Kongres Rakyat Kotapraja dipilih langsung oleh masyarakat. Pada tingkat ini, partisipasi juga dijamin oleh komite desa yang memiliki pemerintahan sendiri melalui pemilihan langsung dan pertemuan serta forum konsultasi lokal.
Pemilihan di tingkat akar rumput merupakan bentuk demokrasi yang paling luas dan dinamis di Tiongkok, yang mencakup pemilihan komite desa, komite warga kota, dan kongres karyawan di perusahaan dan lembaga publik. Hal ini penting karena Tiongkok masih sangat terdesentralisasi. Pemerintah daerah,— termasuk tingkat provinsi, prefektur, kabupaten, kotapraja, dan desa,— menyumbang 50 persen pendapatan pemerintah dan hampir 85 persen pengeluaran. Pemerintah pusat Tiongkok hanya bertanggung jawab atas 15 persen dari total pengeluaran pemerintah—rata-rata global adalah 66 persen. 27
Di tingkat kabupaten (县级), terdapat Kongres Rakyat Kabupaten yang didukung oleh komite-komite CPPCC kabupaten; komite-komite khusus di bidang pertanian, industri, pendidikan, dan bidang-bidang lainnya; serta dengar pendapat publik mengenai isu-isu penting.
Di tingkat prefektur/kota (地市级), terdapat Kongres Rakyat Kota dan komite-komite tetapnya, komite-komite CPPCC kota, mekanisme konsultasi sektoral, dan partisipasi publik yang luas dalam perencanaan dan pembangunan perkotaan.
Di tingkat provinsi (省级), terdapat Kongres Rakyat Provinsi dan komite-komite tetapnya, komite-komite CPPCC provinsi, mekanisme koordinasi antarwilayah, dan proses konsultasi kebijakan dengan lembaga-lembaga akademik dan lembaga-lembaga pemikir.
Setelah rakyat memilih wakil rakyat di tingkat kota dan kabupaten, para wakil rakyat tersebut kemudian memilih wakil rakyat di tingkat pemerintahan yang lebih tinggi (lihat Gambar 1).

Pemerintahan mandiri tingkat komunitas Tiongkok beroperasi melalui lima dimensi demokrasi yang saling terkait yang menciptakan sistem partisipasi dan kontrol lokal yang komprehensif.
Pemilihan demokratis membentuk fondasi melalui pemilihan akar rumput untuk komite desa, komite warga perkotaan, dan kongres karyawan di perusahaan dan lembaga publik, dengan para pemimpin dan anggota komite dipilih secara serentak dengan posisi tingkat kota dan kabupaten.
Konsultasi demokratis mencakup beragam saluran termasuk proposal, konferensi, diskusi, seminar, dengar pendapat, penilaian, platform internet, dan jajak pendapat, yang memungkinkan masyarakat untuk membahas hal-hal yang memengaruhi kepentingan vital masyarakat, terutama yang menyangkut hak-hak kelompok tertentu.
Pengambilan keputusan demokratis terjadi melalui berbagai format pertemuan antara penduduk desa, warga perkotaan, dan perwakilan mereka, yang mencakup isu-isu ekonomi dan sosial, infrastruktur, manajemen sosial, layanan budaya, konservasi lingkungan, peraturan pemerintahan mandiri, dan masalah lokal utama lainnya, dengan warga berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan implementasi.
Manajemen demokratis memberdayakan masyarakat perkotaan dan pedesaan untuk menetapkan aturan dan konvensi mereka sendiri yang mengatur hak dan kewajiban warga, prosedur organisasi, prinsip ekonomi kolektif, keamanan lingkungan, keselamatan publik, sanitasi, adat perkawinan, keluarga berencana, dan kegiatan budaya, sementara masyarakat mengelola urusan dan layanan publik mereka sendiri di bawah kerangka konstitusional dan hukum.
Terakhir, pengawasan demokratis memungkinkan warga negara, badan hukum, dan organisasi untuk mengawasi kinerja badan dan staf negara melalui permintaan tinjauan administratif, litigasi, dan pengaduan kepada badan pengawas terkait pelanggaran, pengabaian tugas, penyalahgunaan kekuasaan, atau pelanggaran etika profesional, sehingga menciptakan mekanisme akuntabilitas yang melengkapi siklus tata kelola demokratis akar rumput. 28
Setiap tingkatan ini tercermin dalam proses konsultasi komprehensif yang mentransformasi Desa Minzhu di Chongqing.
Di tingkat nasional, proses-proses ini bertemu di Kongres Rakyat Nasional (NPC) dan Komite Nasional CPPCC, bersama mekanisme konsultasi Dewan Negara dan proses konsultasi kebijakan pemerintah pusat.
NPC berfungsi sebagai organ kekuasaan negara tertinggi Tiongkok, dengan delegasi dipilih melalui sistem pemilihan tidak langsung bertingkat yang dimulai dengan pemilihan langsung pejabat di tingkat kotapraja.
Pada tahun 2023, NPC memiliki 2.977 anggota, termasuk perwakilan dari semua 56 kelompok etnis, dengan minoritas menyumbang 14,85% dari total (dalam hal ini, minoritas — yang mencakup sekitar 10% dari populasi Tiongkok — memiliki representasi yang lebih tinggi dari rata-rata dalam pemerintahan).
16,69% anggota NPC mewakili pekerja garis depan dan petani, termasuk 56 perwakilan pekerja migran.
Kader partai dan pemerintah mewakili 32,55% dari total, angka yang perlahan-lahan menurun karena lebih banyak pekerja, petani, dan pakar bergabung dengan Kongres.
29 NPC bertemu setiap tahun dan memiliki Komite Tetap yang menjalankan kekuasaan di antara sesi. CPPCC beroperasi secara paralel dengan sistem NPC, dari tingkat nasional hingga lokal.
CPPCC beranggotakan perwakilan dari delapan partai demokrasi Tiongkok, etnis minoritas, kelompok agama, perwakilan dari Hong Kong, Makau, wilayah Taiwan, dan warga negara Tiongkok yang tinggal di luar negeri, serta tokoh-tokoh terkemuka dari berbagai sektor.
CPPCC berfungsi sebagai badan konsultatif untuk dialog politik dan pembangunan konsensus.
Masing-masing tingkatan pengambilan keputusan kelembagaan ini mencerminkan evolusi proses “jalur massa”, di mana gagasan, kebijakan, dan laporan disaring dari tingkat masyarakat ke tingkat nasional, kemudian diterapkan ke tingkat bawah dalam proses implementasi kebijakan — dalam proses penyempurnaan dan penajaman alat-alat yang telah menghasilkan perbaikan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam kehidupan masyarakat.
Persepsi Demokrasi di Tiongkok
Tinjauan umum sistem “demokrasi rakyat yang menyeluruh” di Tiongkok menantang wacana yang berlaku di kalangan akademisi Barat, yang menafsirkan sistem politik Tiongkok melalui kerangka kerja ketidakabsahan otoriter dan memposisikan negara Tiongkok sebagai negara yang secara fundamental bergantung pada mekanisme koersif untuk eksistensinya. Sebaliknya, proses demokrasi Tiongkok mengandung beragam lembaga dan praktik yang, jika digabungkan, memungkinkan partisipasi rakyat yang semakin luas dalam pemerintahan negara.
Yang tak kalah pentingnya adalah pertanyaan tentang bagaimana rakyat Tiongkok sendiri memandang model demokrasi mereka. Di sini, data survei komprehensif tentang persepsi rakyat Tiongkok terhadap demokrasi, termasuk dari lembaga-lembaga liberal Barat yang mapan, mengungkapkan tidak hanya bahwa rakyat Tiongkok sangat puas dengan kinerja pemerintah pusat dan provinsi mereka, tetapi juga bahwa sebagian besar rakyat Tiongkok memandang pemerintah mereka demokratis dan bekerja untuk melayani rakyat.
Di sini kami melaporkan data dari beberapa studi utama. Pertama, Harvard University Ash Center for Democratic Governance telah melakukan penilaian independen terlengkap mengenai kepuasan warga Tiongkok terhadap kinerja pemerintah, melacak sikap publik sejak tahun 2003.
Laporan mereka tahun 2020, “Understanding CCP [sic] Resilience: Surveying Chinese Public Opinion Through Time,” — “Memahami Ketahanan PKT: Mensurvei Opini Publik Tiongkok dari Masa ke Masa,– mengungkapkan dukungan publik yang luas terhadap pemerintah Tiongkok di semua tingkatan. Para penulis studi, yang beroperasi dalam kerangka analitis yang awalnya berasumsi bahwa karakter otoriter Tiongkok akan menimbulkan krisis legitimasi, justru mendokumentasikan peningkatan kepuasan warga yang konsisten.
Tingkat persetujuan pemerintah pusat mencapai 93% pada tahun 2016, sementara pemerintah provinsi mempertahankan tingkat dukungan sebesar 82%,— dengan peningkatan yang konsisten dari waktu ke waktu (lihat Gambar 2).
Yang penting, penelitian ini mengidentifikasi bahwa populasi yang terpinggirkan di wilayah pedalaman yang kurang beruntung secara ekonomi menunjukkan peningkatan kepuasan yang relatif lebih tinggi, yang menunjukkan, sejalan dengan pemikiran Tiongkok tentang fungsi “demokrasi rakyat yang menyeluruh”, bahwa respons negara terhadap kondisi material merupakan mekanisme kunci legitimasinya. 30

Para penulis merangkum hasil mereka sebagai berikut.
“Kami menemukan bahwa, sejak survei dimulai pada tahun 2003, kepuasan warga Tiongkok terhadap pemerintah telah meningkat hampir di semua aspek. Dari dampak kebijakan nasional yang luas hingga perilaku pejabat kota setempat, warga Tiongkok menilai pemerintah lebih cakap dan efektif daripada sebelumnya. Menariknya, kelompok yang lebih terpinggirkan di wilayah pedalaman yang lebih miskin justru relatif lebih mungkin melaporkan peningkatan kepuasan.
Kedua, sikap warga Tiongkok tampaknya merespons (baik secara positif maupun negatif) terhadap perubahan nyata dalam kesejahteraan materi mereka.”31
Hasil ini konsisten dengan data Asian Barometer Survey (Survei Barometer Asia), yang pada tahun 2015 menemukan bahwa 87% responden di Tiongkok memiliki tingkat kepercayaan yang “sangat tinggi” atau “cukup tinggi” terhadap pemerintah nasional.
Begitu pula dengan Survei Nilai-Nilai Dunia, yang secara konsisten menunjukkan bahwa lebih dari 90% penduduk Tiongkok melaporkan tingkat kepercayaan yang “sangat tinggi” atau “cukup tinggi” terhadap pemerintah nasional. Pada tahun 2018, gelombang terbaru, tingkat kepercayaan berada di angka 95%, salah satu tingkat tertinggi di dunia.
Melengkapi temuan-temuan ini, Alliance of Democracies (AoD),– Aliansi Demokrasi, yang dibentuk oleh mantan pemimpin NATO dan pejabat pemerintah Denmark, telah menghasilkan laporan tahunan Indeks Persepsi Demokrasi sejak 2019.
Melalui kemitraan dengan firma riset pasar Jerman, Latana, AoD menggunakan pendekatan metodologis yang dirancang khusus untuk mengurangi bias respons dan kekhawatiran akan sensor diri (self censorship). Temuan tahun 2024 ini mengungkapkan bahwa 92% responden Tiongkok menganggap demokrasi penting, 79% menggolongkan negara mereka sebagai negara demokratis, dan 91% memandang pemerintah mereka melayani kepentingan rakyat luas alih-alih konstituen elit,— masing-masing angka ini lebih tinggi daripada di hampir semua negara lain di dunia, dan jauh lebih unggul dalam masing-masing metrik ini daripada responden di AS, Prancis, dan Inggris, negara-negara demokrasi liberal klasik (lihat Gambar 3). 32

Studi AoD juga menilai persepsi masyarakat terhadap kebebasan berekspresi dan pemilu yang bebas dan adil. Dalam hal ini, Tiongkok juga mengungguli AS dan sebagian besar negara Eropa.
Ketika ditanya, “Setiap orang di negara saya dapat bebas mengungkapkan pendapat mereka tentang topik politik dan sosial”, hanya 18% responden di Tiongkok yang tidak setuju (dibandingkan dengan 27% di AS).
Dan ketika ditanya, “Para pemimpin politik di negara saya dipilih dalam pemilu yang bebas dan adil”, hanya 5% responden di Tiongkok yang tidak setuju (dibandingkan dengan 27% di AS).
Akhirnya, sebuah studi baru-baru ini yang diterbitkan dalam jurnal Political Psychology bertanya kepada orang-orang di 42 negara apakah mereka menganggap sistem mereka adil dan benar. 33 Mereka menggunakan pertanyaan-pertanyaan berikut: “Secara umum, saya menemukan masyarakat adil”, “Secara umum sistem politik negara saya beroperasi sebagaimana mestinya”, “Setiap orang di negara saya memiliki kesempatan yang adil untuk mendapatkan kekayaan dan kebahagiaan”, dan “Masyarakat negara saya diatur sedemikian rupa sehingga orang biasanya mendapatkan apa yang pantas mereka dapatkan”. Hasilnya menunjukkan bahwa di sebagian besar negara, respons rata-rata adalah “agak tidak setuju” atau “netral”. Hanya ada satu negara di mana respons rata-rata berada dalam kisaran “agak setuju”, dan itu adalah Tiongkok. Dengan kata lain, orang-orang di Tiongkok lebih cenderung setuju bahwa sistem mereka adil dan benar daripada negara lain mana pun dalam kelompok tersebut.
Semua ini merupakan hasil yang luar biasa. Beberapa skeptis mempertanyakan data tersebut, dengan mengatakan bahwa responden mungkin melebih-lebihkan dukungan mereka terhadap pemerintah jika mereka hidup dalam sistem yang cenderung membuat mereka takut akan penindasan karena mengekspresikan perbedaan pendapat politik. Hal ini dikenal sebagai “misreporting strategis”. Namun, fakta bahwa semua studi ini menemukan skor rendah di negara-negara yang dikenal dengan represi politiknya menunjukkan bahwa hal ini bukanlah masalah yang nyata.
Bagaimanapun, pertanyaan ini telah dieksplorasi secara mendalam dalam literatur ilmiah tentang Tiongkok. Para peneliti telah melakukan beberapa studi menggunakan metode yang dirancang khusus untuk mengecualikan misreportingstrategis,— seperti eksperimen daftar dan uji asosiasi implisit. Berkali-kali, studi-studi ini menegaskan bahwa masyarakat di Tiongkok memang memiliki tingkat dukungan yang tinggi terhadap pemerintah dan sistem politik-ekonomi mereka. 34
Kesejahteraan Rakyat Tiongkok
Pertimbangkan fakta bahwa, selama dua dekade terakhir, upah di sektor manufaktur di Tiongkok telah meningkat delapan kali lipat. Upah di Tiongkok telah berubah dari salah satu yang terendah di Asia menjadi lebih tinggi daripada di negara berkembang lainnya di kawasan ini.
Tiongkok kini memiliki salah satu angka harapan hidup tertinggi di negara berkembang. Bahkan, angka harapan hidup sehat di Tiongkok kini lebih dari empat tahun lebih lama daripada di AS, menurut data GBDS.
35 Ini merupakan perkembangan historis yang penting dan signifikansinya tidak luput dari perhatian masyarakat Tiongkok.
Telah kami catat sebelumnya bahwa tujuan demokrasi sosialis mencakup perluasan prinsip demokrasi ke ranah produksi.
Fokus kami dalam tulisan ini adalah pada proses politik, dan di luar cakupan kami untuk mengeksplorasi apakah dan sejauh mana demokrasi ekonomi telah tercapai di Tiongkok. Hal ini menjadi subjek perdebatan yang cukup panjang di kalangan sosialis, termasuk di Tiongkok sendiri.
Di satu sisi, kendali publik atas sektor keuangan dan kendali yang tinggi (perusahaan milik negara menyumbang hampir sepertiga PDB Tiongkok) memungkinkan Tiongkok untuk mengarahkan investasi dan produksi sejalan dengan rencana pembangunan nasional yang telah diratifikasi secara demokratis.
Di sisi lain, kritikus sayap kiri menunjukkan bahwa pengalaman langsung banyak pekerja Tiongkok dalam proses perburuhan masih berupa eksploitasi di dalam perusahaan kapitalis.
Dalam beberapa tahun terakhir, tampaknya PKT sedang mendorong demokrasi pekerja yang lebih besar di dalam perusahaan. Misalnya, arahan terbaru mewajibkan perusahaan dengan lebih dari tiga karyawan yang merupakan anggota PKT untuk memberikan perwakilan kepada pekerja tersebut dalam tata kelola perusahaan.
Dekade-dekade mendatang akan mengungkap lebih banyak tentang arah yang diambil PKT dalam isu demokrasi ekonomi, tetapi dari percakapan kami dengan orang-orang di Tiongkok, tampak jelas bahwa sejak 2012, dan khususnya sejak Kongres Nasional ke-19 pada tahun 2017, pemerintah telah mempercepat dorongan menuju sosialisme; sekarang menjadi tujuan resmi Tiongkok untuk membangun “negara sosialis modern yang makmur, kuat, demokratis, beradab, dan harmonis” pada tahun 2049. Ini bukan sekadar slogan, tetapi refleksi dari berbagai bidang kebijakan konkret dengan kriteria keberhasilan yang jelas.
Program pengentasan kemiskinan yang ditargetkan, misalnya, memiliki salah satu pilar utamanya adalah pengembangan ekonomi koperasi di seluruh pedesaan Tiongkok.
Singkatnya, kasus Tiongkok menunjukkan bagaimana formasi demokrasi alternatif—yang di Tiongkok dicirikan sebagai “demokrasi rakyat yang menyeluruh”—dapat menghasilkan legitimasi melalui jalur yang berbeda dari jalur yang dijunjung tinggi dalam demokrasi liberal. Prinsip sentralisme demokratis, dipadukan dengan partisipasi rakyat yang terlembaga dalam proses perumusan kebijakan, menciptakan mekanisme responsivitas pemerintah yang melampaui siklus elektoral periodik yang menjadi batas keterlibatan politik dalam masyarakat kapitalis.
Kesimpulan
Transformasi Desa Minzhu — salah satu dari ribuan kasus di seluruh Tiongkok,— memberikan gambaran konkret tentang bagaimana “demokrasi rakyat yang menyeluruh” beroperasi sebagai realitas bagi 1,4 miliar penduduk Tiongkok.
Ratusan pertemuan di halaman, kotak surat digital yang mengumpulkan saran warga, dan proses konsultasi komprehensif yang memandu regenerasi desa merupakan gambaran kecil dari mekanisme yang lebih luas yang melaluinya demokrasi sosialis Tiongkok menerjemahkan partisipasi rakyat menjadi perbaikan nyata dalam kehidupan masyarakat. Proses ini, yang berakar pada lebih dari satu abad pengalaman dan metodologi revolusioner, menantang asumsi fundamental tentang hubungan antara demokrasi, pembangunan, dan legitimasi politik yang telah lama mendominasi wacana Barat,— dan mengungkapkan keunggulan demokrasi sosialis, dengan fokusnya tidak hanya pada hak-hak politik, tetapi juga pada hak-hak sosial dan ekonomi.
Model Tiongkok menunjukkan bahwa demokrasi tidak perlu dibatasi pada pelaksanaan pemilu berkala atau hak prosedural formal yang terpisah dari kondisi material. “Demokrasi rakyat yang menyeluruh” mengintegrasikan mekanisme elektoral dan konsultatif di berbagai tingkat pemerintahan, mulai dari komite desa hingga
Dewan Perwakilan Rakyat (NPK), menciptakan saluran berkelanjutan bagi partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan. Lebih penting lagi, model ini mendasarkan legitimasi demokrasi pada perbaikan nyata terhadap kondisi material dan sosial rakyat,— penghapusan kemiskinan absolut, pembangunan infrastruktur besar-besaran, kemajuan teknologi, dan peningkatan standar hidup yang dicapai melalui proses yang secara sistematis memasukkan masukan dan pengawasan rakyat ke dalam pembuatan kebijakan.
Pemahaman demokrasi sebagai proses historis yang berkembang, alih-alih tatanan kelembagaan yang tetap, mencerminkan perbedaan metodologis yang lebih luas antara pendekatan materialis historis dan liberal terhadap analisis politik. Demokrasi liberal memperlakukan bentuk-bentuk kelembagaan Barat yang ada sebagai titik akhir perkembangan demokrasi, sementara demokrasi sosialis memandang praktik demokrasi sebagai sesuatu yang terus berkembang sebagai respons terhadap perubahan kondisi material dan kebutuhan rakyat.
Sebagaimana dikemukakan Lin Shangli, terdapat hubungan erat antara demokrasi dan pembangunan: “Demokrasi merupakan prasyarat modernisasi sekaligus salah satu misi esensialnya; demokrasi berfungsi sebagai instrumen kemajuan sekaligus tujuan dalam upaya modernisasi.”36
Pengalaman Tiongkok menunjukkan bahwa pendekatan dialektis ini—yang mengutamakan substansi daripada bentuk dan hasil daripada prosedur,— dapat menawarkan fondasi yang lebih kokoh bagi kedaulatan rakyat yang sejati daripada sistem yang memformalkan kesetaraan politik sekaligus menoleransi disparitas ekonomi yang besar yang melemahkan partisipasi demokrasi yang bermakna.
Lebih mendasar lagi, pengalaman Tiongkok menunjukkan betapa takterpisahkannya konstruksi sosialis dan demokrasi. Sebagaimana diamati Victor Gao:
“Jika ada yang percaya bahwa Tiongkok mampu mencapai transformasi ekonomi yang menyeluruh dan mendalam selama empat dekade terakhir, menghapuskan kemiskinan yang parah, dan menciptakan jumlah pengguna internet dan ponsel pintar terbesar di dunia, dengan lebih dari 150 juta penduduk Tiongkok bepergian ke seluruh dunia setiap tahunnya, tanpa demokrasi, tanpa partisipasi aktif rakyat Tiongkok dalam proses pengambilan keputusan,– pasti ada yang salah dengan analisis dan kesimpulan Anda.” 37
Implikasinya melampaui batas-batas Tiongkok. Di era ketika demokrasi liberal Barat menghadapi krisis legitimasi yang semakin besar—menurunnya partisipasi pemilih, meningkatnya ketimpangan, disfungsi kelembagaan, meningkatnya keterasingan rakyat dari proses politik, dan pengabaian norma-norma demokrasi liberal oleh negara-negara yang semakin terlibat dalam perang ekspansi imperialis,— model Tiongkok menawarkan cara alternatif untuk mengonseptualisasikan hubungan antara kedaulatan rakyat dan pemerintahan yang efektif. Model ini menunjukkan bahwa ujian akhir demokrasi bukanlah terletak pada kesesuaian dengan tatanan kelembagaan tertentu yang dikembangkan dalam konteks sejarah tertentu, melainkan pada kapasitasnya untuk menggerakkan rakyat dalam membentuk kondisi kehidupan dan masyarakat mereka.
Oleh karena itu, memahami “demokrasi rakyat yang menyeluruh” membutuhkan upaya untuk melampaui batasan-batasan yang dipaksakan oleh ideologi liberal guna terlibat secara serius dengan pendekatan sosialis terhadap organisasi politik, yang menawarkan wawasan kritis bagi semua masyarakat yang bergulat dengan persoalan pembangunan dan kedaulatan rakyat di abad ke-21.
Referensi
01 Informasi di sini dikumpulkan selama kunjungan lapangan ke Desa Minzhu pada bulan September 2024 di sela-sela Lokakarya Internasional tentang Modernisasi dan Tanggung Jawab Partai Politik yang diselenggarakan bersama oleh Institut Sejarah dan Sastra Partai Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok dan kantor Yayasan Rosa Luxemburg di Beijing. Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada kedua lembaga tersebut, serta kepada Jan Turowski dan Wang Junyan atas dukungan mereka dalam pengumpulan dan verifikasi materi untuk tulisan ini.
02 Jie, Xiong dan Tings Chak, “Menghidupkan Kembali Danau Erhai: Pendekatan Sosialis untuk Menyeimbangkan Pembangunan Manusia dan Ekologis,” Wenhua Zongheng: Jurnal Pemikiran Tiongkok Kontemporer 2, no. 2 (Desember 2024).
03 Lenin, Vladimir I. Negara dan Revolusi. Moskow: Progress Publishers, 1917.
04 Gilens, Martin dan Benjamin I. Page. “Menguji Teori Politik Amerika: Elit, Kelompok Kepentingan, dan Warga Negara Biasa.” Perspektif Politik 12, no. 3 (2014): 564-581.
05 Yayasan Aliansi Demokrasi. “Indeks Persepsi Demokrasi 2024.” Kopenhagen: Yayasan Aliansi Demokrasi, 2024.
06 Rasmussen, Magnus dan Knutsen, Carl. “Reformasi untuk Bertahan: Asal-usul Kebijakan Sosial Bolshevik.” Elemen dalam Ekonomi Politik 2021.
07 Mao Zedong membedakan antara kontradiksi antara Partai dan musuh-musuhnya, dan kontradiksi di antara rakyat. Kontradiksi yang pertama tentu saja bersifat antagonistik, dan mungkin memerlukan tindakan koersif. Kontradiksi yang kedua bersifat non-kontradiktif dan memerlukan pendekatan demokratis yang didasarkan pada dialog dan konsultasi. Hal ini mencerminkan prinsip bahwa, di bawah kediktatoran proletariat, negara menerapkan “demokrasi untuk rakyat dan kediktatoran atas kaum reaksioner”. Lihat Mao Zedong, “Tentang Penanganan Kontradiksi yang Tepat di Antara Rakyat”.
08 Marx, Karl dan Engels, Friedrich. Ideologi Jerman. 1845.
09 Mao Zedong, “Beberapa Pertanyaan Mengenai Metode Kepemimpinan”.
10 Kajian Tiongkok cenderung sangat bergantung pada kutipan dari Xi Jinping dan para pemimpin PKT sebelumnya. Penting untuk dicatat bahwa hal ini tidak mencerminkan, seperti yang diasumsikan di Barat, ketundukan buta terhadap kepemimpinan. Pidato dan tulisan para pemimpin partai di Tiongkok bersifat otoritatif karena mencerminkan proses konsultasi dan dialog ekstensif yang diuraikan dalam esai ini. Dengan kata lain, pidato dan tulisan tersebut mewakili tingkat konsensus tertinggi dalam masyarakat Tiongkok dan oleh karena itu memiliki bobot teoretis dan empiris yang tidak dimiliki oleh pidato para pemimpin Barat.
11 Xi Jinping, “Demokrasi Konsultatif yang Luas, Bertingkat, dan Terlembagakan”, Tata Kelola Tiongkok II.
12 Mao Zedong, “Beberapa Pertanyaan Mengenai Metode Kepemimpinan”
13 William Hinton, Fanshen: Sebuah Dokumenter Revolusi di Desa Tionghoa, New York: Vintage Books, 1966, hlm. 609.
14 Ju Li, “Sistem Partai Politik Tipe Baru yang Tumbuh di Tanah Tiongkok”, Jurnal Qiushi
15 Lin Shangli, “Mengembangkan Demokrasi Rakyat Proses Utuh untuk Memajukan Modernisasi Tiongkok”, Jurnal Qiushi.
16 Xi Jinping, “Demokrasi Konsultatif yang Luas, Bertingkat, dan Terlembagakan”, Tata Kelola Tiongkok II.
17 Cheng Enfu dan Chen Jian, “Pentingnya Pemenuhan Tujuan Seratus Tahun Kedua Tiongkok pada Tahun 2049”, People’s China at 75 — The Flag Stays Red, London: Praxis Press, 2024. hlm. 45.
18 Ibid.
19 Kantor Pers, Departemen Internasional Komite Sentral PKT, Edisi Khusus Tentang Demokrasi Rakyat Proses Menyeluruh, hlm. 3.
20 Ramos, Mauro. “Masyarakat Tiongkok mengajukan lebih dari 3 juta saran untuk Rencana Lima Tahun ke-15 pemerintah”, Peoples Dispatch, 7 Agustus 2025.
21 tahun yang lalu
22 Mao Zedong, “Tentang Penanganan Kontradiksi yang Tepat di Antara Rakyat”.
23 Lin Shangli, “Mengembangkan Demokrasi Rakyat Proses Utuh untuk Memajukan Modernisasi Tiongkok”, Jurnal Qiushi.
24 “Bagaimana demokrasi rakyat yang menyeluruh berjalan?” CGTN, 7 November 2022.
25 Bab IX: Pengawasan, Penarikan Kembali dan Pemilihan Sela yang Diadakan untuk Mengisi Kekosongan, Undang-Undang Pemilu Kongres Rakyat Nasional dan Kongres Rakyat Lokal Republik Rakyat Tiongkok.
26 Zhang Hui, “Tiongkok menghukum 4,7 juta orang dalam kampanye antikorupsi selama satu dekade”, Global Times.
27 Arthur Kroeber, Ekonomi Tiongkok: Apa yang Perlu Diketahui Semua Orang (New York: Oxford University Press, 2020), 147
28 “Tiongkok: Demokrasi yang Berhasil”, Kantor Informasi Dewan Negara, 4 Desember 2021.
29 【两会知识贴④】全国人大代表都是谁?Guangming Daily, 4 Maret 2023.
30 Cunningham, Edward, Saich, Tony dan Turiel, Jesse. “Memahami Ketahanan PKT: Meninjau Opini Publik Tiongkok dari Masa ke Masa.” Ash Center for Democratic Governance and Innovation, Harvard Kennedy School, 2020.
31 Ibid.
32 Yayasan Aliansi Demokrasi. “Indeks Persepsi Demokrasi 2024.”
33 Evan A. Valdes, James H. Liu, Matt Williams, Stuart C. Carr, “Uji coba lintas budaya terhadap hipotesis yang saling bersaing mengenai pembenaran sistem menggunakan data dari 42 negara”, Psikologi Politik, Volume 46, Edisi 4: 822-846.
34 Untuk tinjauan singkat literatur ini, lihat: Jason Hickel, “Dukungan untuk pemerintah di Tiongkok: apakah datanya akurat?”
35 Studi Beban Penyakit Global
36 Lin Shangli, “Mengembangkan Demokrasi Rakyat Proses Utuh untuk Memajukan Modernisasi Tiongkok”, Jurnal Qiushi.
37 “Bagaimana demokrasi rakyat yang menyeluruh berjalan?” CGTN, 7 November 2022.
—-
*Penulis Paweł Wargan dan Jason Hickel menggunakan regenerasi Desa Minzhu di Chongqing sebagai studi kasus nyata tentang sistem demokrasi rakyat proses menyeluruh di Tiongkok .
Artikel ini diterjemahkan Bergelora.com dari artikel yang berjudul “Building whole-process people’s democracy in China” Yang dimuat di Friend of Socialist China, yang awalnya diterbitkan di Progressive International.

