Minggu, 7 Desember 2025

JANGAN ADA LAGI..! Eks Ketua PN Jaksel dan Panitera Jualan Keadilan di Kasus CPO

JAKARTA – Eks Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta dan Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara nonaktif Wahyu Gunawan dinilai telah menjadi makelar kasus dan memperdagangkan perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor kepada tiga korporasi crude palm oil (CPO).

Hal ini disinggung dalam pertimbangan vonis Arif dan Wahyu yang terbukti bersalah menerima suap dan mengarahkan majelis hakim untuk memberikan vonis lepas atau ontslag kepada Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.

“Perbuatan yang dilakukan Terdakwa Muhammad Arif Nuryanta sebagaimana diuraikan di atas juga lazim disebut sebagai makelar perkara atau makelar kasus,” ujar Hakim Adhoc Andi Saputra saat sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (3/12/2025).

Dalam konstruksi kasus ini, Wahyu merupakan pihak yang menghubungkan pihak korporasi dengan pihak pengadilan.

Ia diketahui sudah mengenal Ariyanto atau Ary Bakri yang kemudian menjadi pengacara korporasi CPO. Pada tahun 2024, kasus korupsi CPO ini bergulir di PN Jakpus.

Atas permintaan Ariyanto, Wahyu pun memperkenalkannya dengan Arif Nuryanta yang saat itu menjabat Wakil Ketua PN Jakpus.

“Dalam persidangan terungkap fakta hukum Terdakwa Muhammad Arif Nuryanta malah memperdagangkan keadilan, yaitu dengan berkali-kali bertemu pihak berperkara, yaitu saksi Ariyanto didampingi saksi Wahyu Gunawan,” lanjut Andi.

Setelah berkenalan, mereka bertiga diketahui melakukan beberapa kali pertemuan. Pada pertemuan ini terjadi negosiasi besaran uang suap hingga diskusi bagaimana kasus akan diadili.

Ariyanto pernah meminta agar kasus kliennya dibantu maksimal. Ia pun menyerahkan uang suap dengan total nilai mencapai 2,5 juta dollar Amerika Serikat atau setara Rp 39-40 miliar.

Ariyanto lebih dahulu menyerahkan uang ini ke Wahyu. Lihat Foto Kemudian, setelah mengambil bagiannya, Wahyu menyerahkan uang suap dari Ariyanto kepada Arif.

Adapun, uang suap ini dibagikannya untuk Arif serta tiga hakim yang mengadili perkara CPO, Djuyamto, Agam Syarif Baharudin, dan Ali Muhtarom.

“Muhammad Arif Nuryanta menggunakan pengaruhnya sebagai pimpinan pengadilan berkali-kali bertemu saksi Djuyamto dan saksi Agam Syarif Baharudin, meminta agar putusan kasus korporasi minyak goreng dibantu maksimal sesuai permintaan saksi Ariyanto agar menguntungkan terdakwa perusahaan korporasi,” imbuh Andi.

Setelah uang suap disalurkan, Djuyamto dkk menjadi lebih giat mempelajari perkara CPO hingga akhirnya menjatuhkan vonis lepas kepada tiga korporasi CPO, sesuai permintaan Ariyanto.

Perbuatan Arif Nuryanta dan Wahyu Gunawan melanggar kode etik hakim dan pegawai pengadilan, sekaligus mencoreng citra peradilan di Indonesia mengingat salah satu korporasi CPO memiliki induk perusahaan di Singapura.

Pasal yang dikenakan Para terdakwa diyakini bersama-sama menerima suap dan melanggar Pasal 6 Ayat 2 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Para hakim, Djuyamto, Agam, dan Ali divonis 11 tahun penjara dengan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara. Djuyamto terbukti menerima suap dari pihak korporasi kurang lebih senilai Rp 9,2 miliar.

Sementara, dua hakim anggotanya, Agam Syarif Baharudin dan Ali Muhtarom masing-masing dinyatakan terbukti menerima suap senilai Rp 6,4 miliar.

Lalu, Arif Nuryanta juga divonis 12,5 tahun penjara dengan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara. Arif terbukti menerima suap senilai Rp 14,7 miliar.

Kemudian, Wahyu Gunawan divonis 11,5 tahun penjara dengan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara. Wahyu terbukti menerima suap setara Rp 2,3 miliar.

Untuk itu, ia juga dijatuhkan hukuman tambahan untuk membayar uang pengganti setara jumlah suap yang diterima. Jika uang pengganti tidak bisa dibayarkan dan harta bendanya tidak mencukupi untuk melunasi, Wahyu bakal dihukum tambahan 4 tahun penjara.

Seluruh terdakwa dihukum membayar uang pengganti. Tapi, selain Wahyu, terdakwa lain sudah membayar sebagian uang suap ini sebelum vonis dibacakan. Alhasil, besaran denda uang pengganti dan hukuman pidana penjara tambahannya akan menyesuaikan jumlah uang yang belum atau tidak bisa dibayarkan.

Atas putusan ini, seluruh terdakwa menyatakan akan pikir-pikir lebih dahulu sebelum mengambil sikap atas putusan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga menyatakan pikir-pikir atas vonis dari hakim. (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru