JAKARTA – Tak dipungkiri industri sawit Indonesia dikuasai oleh sejumlah konglomerasi yang memiliki areal perkebunan sangat luas, bahkan skalanya bisa dibandingkan dengan luas satu provinsi kecil. Siapa saja mereka?
PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) berada di posisi teratas dengan total lahan sekitar 284.831 hektare. Jika dikonversi, angka itu setara kurang lebih 2.848 km², atau sekitar 4-5 kali luas DKI Jakarta yang hanya sekitar 661 km².
Lahan AALI tersebar di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi, mencakup kebun inti hingga kebun plasma yang bekerja sama dengan petani binaan.
Skala sebesar ini memberikan kapasitas produksi TBS (tandan buah segar) yang besar, namun juga menuntut manajemen operasional yang kompleks, mulai dari peremajaan tanaman, manajemen pupuk, hingga logistik pengangkutan.
Posisi ke-dua ditempati, PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) yang mencatatkan luas lahan sekitar 241.208 hektar (ha), dengan perkebunan tersebar di Sumatra dan Kalimantan. Perusahaan ini dikenal sebagai salah satu pemain terintegrasi yang mengelola kebun, pabrik kelapa sawit, hingga fasilitas hilir.
Sementara itu, di posisi ke-tiga ada PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (SMAR), bagian dari grup Golden Agri-Resources, mengelola sekitar 137.000 ha. Jika digabung dengan entitas lain dalam grup, aset lahan Sinar Mas sebenarnya jauh lebih besar,tetapi angka tersebut adalah luas lahan yang berada dalam lingkup SMAR sebagai emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Posisi selanjut-nya, ditempati PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) yang memiliki lahan seluas 111.367 ha, sebagian besar terletak di Sumatra Utara, Kalimantan Timur, dan Sulawesi. LSIP dikenal sebagai perusahaan yang agresif melakukan peremajaan tanaman (replanting) untuk menjaga produktivitas jangka panjang.
Kemudian, PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG) tercatat mengelola sekitar 110.700 ha, mayoritas berada di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. DSNG juga termasuk pemain yang terus meningkatkan area Tanaman Menghasilkan (TM), sehingga kapasitas produksinya terus naik stabil dari tahun ke tahun.
Selanjutnya, lahan sawit PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO) tersebar di beberapa provinsi utama di Sumatra dan Kalimantan. Dengan luas total sekitar 167.700 ha sebagai luas lahan sawit yang tertanam.
Dan PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS) memiliki landbank sekitar 115.500 ha. Dari total tersebut, sebagian besar perkebunan (inti dan plasma) berada di Central Kalimantan (Kalteng).
Secara rinci berikut daftar tujuh raja sawit dengan area lahan terluas di Indonesia yang telah melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) :

Luas areal yang masif ini tidak hanya menggambarkan kemampuan produksi, tetapi juga tantangan besar dalam aspek keberlanjutan, efisiensi, dan tata kelola.
Dengan meningkatnya perhatian global terhadap isu lingkungan dan traceability, perusahaan-perusahaan sawit besar dituntut terus meningkatkan standar keberlanjutan, menjaga produktivitas, serta memastikan rantai pasokan yang transparan.
Secara keseluruhan, daftar “raja sawit” ini menunjukkan bahwa Indonesia masih memegang dominasi penuh dalam industri minyak sawit dunia, baik dari sisi luas lahan, kapasitas produksi, maupun skala pemain yang beroperasi di dalamnya.
Dari melihat skala itu, tampak jelas di Indoneisa bagaimana industri sawit berperan besar dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data terbaru Kementerian Pertanian (hingga 2024), Indonesia memiliki total kurang lebih 16,38 juta ha lahan sawit, sekitar 53% dikelola swasta, 6% BUMN, dan 41% oleh petani swadaya.
Apakah Pohon Sawit Bisa Menyerap Air?

Bencana banjir yang melanda Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat mendapat atensi penuh masyarakat Indonesia. Narasi-narasi seputar penyebabnya beredar luas di media sosial.
Dilansir laman resmi Universitas Gadjah Mada, penataan dan pengendalian kawasan yang lemah menjadi salah satu sebab banjir terjadi. Contohnya saja, pengalihfungsian lahan hutan menjadi perkebunan sawit.
Menurut Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS UGM, Dr Ir Hatma Suryatmojo SHut MSi IPU, cuaca ekstrem yang ditengarai menjadi penyebab, sejatinya hanyalah pemicu. Akar masalah tetaplah hilangnya tutupan hutan di ketiga provinsi pulau Sumatera itu.
“Tragedi banjir bandang yang melanda Sumatera pada November 2025 sejatinya merupakan akumulasi “dosa ekologis” di hulu DAS (Daerah Aliran Sungai). Cuaca ekstrem saat itu hanya pemicu, daya rusak yang terjadi tak lepas dari parahnya kerusakan lingkungan di wilayah hulu hingga hilir DAS,” jelasnya.
Sebagaimana sudah dipaparkan sekilas di atas, kawasan hutan yang bertugas layaknya spons raksasa penyerap air justru menghilang. Gantinya, muncul perkebunan-perkebunan sawit. Pertanyaannya, apakah pohon sawit bisa menyerap air?
Jika pertanyaannya berfokus pada ‘pohon kelapa sawit’, maka jawabannya adalah iya. Benar, kelapa sawit bisa menyerap air, sama seperti tanaman lain. Bahkan jumlah air yang diserapnya dari tanah lebih besar.
Dilihat dari dokumen unggahan Tim Agroklimatologi Pusat Penelitian Kelapa Sawit, setiap hari, pohon kelapa sawit membutuhkan 4,10 sampai 4,65 mm air. Jumlah ini lebih besar ketimbang tanaman lain, seperti kakao (2,22-3,33 mm/hari) atau alpukat (1,80-2,77 mm/hari).
Setelah diserap, air dalam kelapa sawit akan hilang melalui proses transpirasi dan evaporasi. Transpirasi adalah keluarnya uap air dari tubuh tumbuhan. Sederhananya, mirip keringat yang dikeluarkan manusia. Sementara itu, evaporasi adalah penguapan air dari permukaan benda yang mengandung air. Dalam hal ini, bidang tanah di sekitar pohon kelapa sawit.
Lebih lanjut, berdasar keterangan dari Pusat Pengawasan Proses Belajar Mengajar & Sarana (P3BMS) Universitas Medan Area, penyerapan air yang banyak oleh kelapa sawit menyebabkan ketersediaan air tanah berkurang. Alhasil, hadirnya perkebunan sawit bisa memperburuk kekeringan, terutama di wilayah yang memang sedari awal defisit air.
Dampak Perkebunan Kelapa Sawit terhadap Lingkungan
Pohon kelapa sawit sudah lama dikaitkan dengan sederet dampak buruk bagi lingkungan. Contohnya adalah dampak terhadap tanah sebagaimana dilaporkan M Raynaldo Sandita Powa dalam jurnal Teknologi Perkebunan dan Pengelolaan Sumberdaya Lahan bertajuk ‘Dampak Ekspansi Perkebunan Sawit Terhadap Kualitas dan Kuantitas Air Tanah: Tinjauan Kritis pada Sifat Fisika Tanah’.
Raynaldo menyoroti kualitas tanah yang ditanami sawit dari berbagai sudut pandang. Misalnya, agregasi alias kemampuan memegang air. Agregat tanah akan semakin baik jika mengandung bahan organik tinggi.
Dibandingkan perkebunan lain, kebun sawit punya kandungan organik tanah paling rendah, yakni 2,18%. Hutan lebih besar di angka 4,09%, begitu pula kebun karet sebesar 3,27%. Stabilitas agregat kebun sawit juga paling rendah, yakni 51,1, dibandingkan hutan (67,3) dan kebun karet (55,3).
Kebun sawit juga berdampak terhadap bobot isi tanah, yakni perbandingan bobot dan volume tanah. Bobot isi tanah kebun sawit adalah 1,34 g/cm³ di kedalaman 0-30 cm dan 1,42 g/cm³ di kedalaman 30-60 cm.
Angka ini lebih tinggi ketimbang nilai umum bobot isi tanah liat/lempung di angka 0,95-1,2 g/cm³. Buruknya, semakin tinggi nilai bobot isi, tanah makin padat sehingga menyulitkan air masuk. Penyerapan air yang terganggu ini berpotensi menghambat peredaran air dalam tanah.
Berdasarkan uraian di laman Green Match, perkebunan kelapa sawit juga berkontribusi terhadap polusi air, salah satunya akibat deforestasi. Kelapa sawit tidak bisa menggantikan peran hutan seutuhnya. Alhasil, limpasan (air yang mengalir di permukaan tanah) akibat hujan meningkat jumlahnya. Bersama limpasan itu, deretan polutan macam pestisida turut terbawa.
“Meskipun hutan-hutan ini digantikan oleh kelapa sawit, pohon-pohon ini tidak seefektif pohon-pohon hutan lokal dalam menahan air. Hal ini semakin meningkatkan banjir ekstrem, menghancurkan masyarakat setempat, dan memperparah polusi nutrisi di perairan,” tulis laman itu, dikutip pada Selasa (2/12/2025).
Hadirnya perkebunan kelapa sawit menyebabkan limpasan bertambah sebesar 21%. Hal ini menyebabkan efek domino berupa peningkatan nitrogen sebesar 78% dan fosfor 44%. Pada gilirannya, nitrogen berlebih berdampak buruk, seperti menyebabkan pertumbuhan signifikan alga di air. Hasilnya, kadar oksigen dalam air berkurang, membuat makhluk-makhluk air terganggu.
Tidak berhenti di sana, Muhammad Riyan Hidayah dalam jurnal Globe berjudul ‘Dampak Perkebunan Kelapa Sawit terhadap Lingkungan: Menyeimbangkan Risiko Ekologis dengan Keuntungan Ekonomi’ menyebut dampak buruk lain berupa peningkatan emisi gas rumah kaca.
Bagaimana tidak, lahan gambut mesti dikeringkan agar cocok dijadikan kebun kelapa sawit sehingga potensi kebakaran meningkat. Pun, ada penelitian yang menyebut pengubahan lahan hutan menjadi kebun kelapa sawit menghasilkan emisi karbon sebesar 174 ton.
Dampak negatif lainnya adalah ancaman terhadap keberlangsungan makhluk hidup. IUCN menyebut, lahan-lahan yang cocok dipakai untuk produksi minyak sawit adalah rumah bagi separuh mamalia terancam punah di dunia. Dan juga, kediaman ā burung terancam punah.
Fungsi Pohon Kelapa Sawit bagi Lingkungan
Tidak bisa dipungkiri, kelapa sawit juga memberikan banyak manfaat. Misalnya saja, dari segi ekonomi, kelapa sawit menyumbang pendapatan ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dirujuk dari laman Media Keuangan dari Kementerian Keuangan, tahun 2023 lalu, industri sawit berkontribusi sebesar 88 triliun untuk APBN. Angka ini tersusun atas 50,2 triliun sektor perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar 32,4 triliun, dan bea keluar sebesar 6,1 triliun.
Lebih lanjut, situs Kementerian Pertanian menyoroti kegunaan perkebunan kelapa sawit untuk menyerap karbon dioksida alias CO2. Dijelaskan bahwa kemampuan penyerapan ini sangat berguna di tengah meningkatnya efek gas rumah kaca.
“Selain itu juga perkebunan kelapa sawit mempunyai kemampuan penyerapan CO2 yang tinggi ( 251,9 ton/ha/th) ini sangat berguna dalam mengurangi konsentrasi CO2 di udara akibat meningkatnya gas rumah kaca yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim di bumi,” bunyi penjelasannya.
Limbah sawit, baik berupa pohon, pelepah, tandan, hingga cangkangnya juga memiliki manfaat sebagai sumber bahan bakar nabati. Alhasil, penggunaan bahan bakar fosil yang jumlahnya terus menipis dapat direduksi.
Dalam Palm Oil Journal berjudul ‘Manfaat Lingkungan dari Kebun Sawit’ dijelaskan manfaat kebun kelapa sawit sebagai ‘pemanen’ energi Matahari. Pasalnya, tumbuhan menyedot energi surya melalui proses fotosintesis dan mengubahnya menjadi energi kimia berbentuk makanan, kayu, dan biomassa lain.
Demikian pembahasan lengkap bisa tidaknya pohon sawit menyerap air beserta dampak dan fungsinya untuk lingkungan. (Web Warouw)

