Minggu, 7 Desember 2025

PEMDANYA PADA KEMANA NIH..! Ada 6 Tanggul di Jakarta Utara Bocor, Muara Gembong Makin Tenggelam

JAKARTA – Kepala Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta Ika Agustin Ningrum menyatakan, saat ini terdapat enam tanggul di Jakarta Utara yang mengalami kebocoran. Keenam tanggul tersebut menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

“Posisi (tanggul) yang masih bocor kewenangan Jakarta saat ini adalah Muara Angke, Baywalk Pluit, Sunda Kelapa, Muara Baru (Kawasan Pelabuhan Perikanan), RE Martadinata (depan stadion JIS) dan Marunda Pulo,” ujar Ika dalam keterangan tertulisnya dikutip Bergelora.com, Jumat (5/12/2025).

Selain itu, Ika menyebut ada satu titik tanggul bocor yang menjadi tanggung jawab PT Pelabuhan Indonesia (Persero) atau Pelindo, yakni di kawasan Nizam Zachman yang masuk ke dalam rencana induk pelabuhan.

“Yang viral saat ini adalah berada di kawasan Nizam Zachman kewenangan Pelindo. Kami Pemprov Jakarta akan membantu penanganan tersebut dengan kegiatan penambalan kebocoran tanggul tersebut pada 2026,” ungkap Ika.

Sementara itu, Suku Dinas SDA Jakarta Utara tengah melaksanakan penanganan darurat di lapangan yang bersifat sementara. Ika juga memaparkan perkembangan pembangunan tanggul National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) yang berada sepenuhnya di bawah kewenangan DKI Jakarta, dengan total panjang target 28,2 kilometer (km).Saat ini, tanggul NCICD yang sudah dibangun sepanjang 11,8 km, sementara yang belum terbangun mencapai 19 km.

“Pada 2025 yang dibangun adalah NCICD kawasan Ancol sepanjang 1,2 km dan tanggul mitigasi di wilayah Muara Angke 1,1 km, Baywalk Pluit 600 m (sudah selesai dikerjakan 400 m),” kata Ika.

“Tahun 2026 hingga 2027 akan dibangun NCICD di Pluit 530 meter (m), Muara Angke 350 m, Kali Lencong 750 m,” lanjutnya.

Terkait banjir rob yang terjadi di Jakarta Utara, Ika memperkirakan fenomena tersebut masih akan berlangsung hingga Sabtu (6/12/2025).

“Pasang akan terjadi dalam tiga hari pada tanggal 4, 5 dan 6 Desember 2025. Puncaknya akan terjadi pada tanggal 5 Desember 2025, pukul 09.30 WIB,” tambahnya.

Muara Gembong Kian Tenggelam

Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, hidup di kawasan pesisir Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, bukan perkara mudah bagi warga. Sebagian wilayah terus terendam banjir rob dan abrasi, sementara beberapa kampung bahkan telah tenggelam selama bertahun-tahun.

Muara Gembong memiliki enam desa, yaitu Jayasakti, Pantai Harapan Jaya, Pantai Sederhana, Pantai Bakti, Pantai Bahagia, dan Pantai Mekar. Dari jumlah itu, tiga desa—Pantai Mekar, Pantai Sederhana, dan Pantai Bahagia—menjadi kawasan yang paling sering dilanda abrasi dan banjir rob.

Kampung Beting di Desa Pantai Bahagia bahkan telah tenggelam sejak 2008. Minimnya tanggul laut dan sungai memperparah kondisi warga di kawasan itu. Ditambah lagi, adanya luapan air dari aliran Sungai Citarum yang berada persis di depan rumah warga..Sungai itu meluap ketika hujan besar tiba atau adanya kiriman air dari daerah-daerah lain.

Tanggul Tak Merata, Warga Terus Kebanjiran

Kawasan Pantai Bahagia berada di antara laut dan aliran Sungai Citarum. Tanpa perlindungan memadai, air dari dua arah itu kerap meluap masuk permukiman. Tanggul beton setinggi dua meter hanya terdapat di gerbang desa. Namun, semakin masuk ke dalam, perlindungan itu hilang.

Pada sejumlah titik, tepi Sungai Citarum hanya dijaga tanggul darurat dari karung berisi pasir. Bahkan, di Kampung Beting, tidak ada tanggul sama sekali. Sejumlah warga berharap pemerintah segera membangun tanggul yang kokoh untuk menahan abrasi dan rob. Jadi, tak heran bila kawasan ini terus tenggelam selama puluhan tahun.

“Penginnya ada dari pemerintah bikin tanggul penahan abrasi yang memang benar-benar kokoh yang tidak main-main proyeknya. Kami masih berharap sama pemerintah,” ujar Halima (38), warga Kampung Gobah, Selasa (2/11/2025).

Selain itu, Halima juga meminta agar pemerintah bisa mengajak masyarakat untuk menanggulangi abrasi yang terjadi di Muara Gembong secara bersama-sama.

Halima juga menilai, penanaman mangrove yang selama ini dilakukan masyarakat dan komunitas belum cukup signifikan menahan abrasi. Ia berharap solusi struktural seperti tanggul laut segera direalisasikan.

Ancaman Kampung Tenggelam Bertambah

Kampung Gobah, tempat Halima tinggal, berjarak sekitar tiga kilometer dari Kampung Beting. Meski lebih dekat ke Sungai Citarum dibanding laut, kawasan itu tetap terdampak abrasi yang perlahan memakan area tambak di belakang rumah warga. Tambak yang dahulu menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat kini rusak.

Halima bercerita bahwa keluarganya dulu hidup layak dari tambak udang dan ikan.

“Yang terkena abrasi adalah tambak, kalau pemukiman kita di pinggir sungai semua, tapi yang di belakang kan tambak kita, itu udah kena abrasi juga sama otomatis sangat berpengaruh terhadap perekonomian,” tutur Halima.

Ia mengaku terakhir menikmati hasil tambak keluarganya pada 2005. Padahal dulu, usaha tambak menjadi andalan warga di Muara Gembong untuk mendapatkan penghasilan.

Halima dulu bisa mendapatkan hidup yang layak dan mengenyam pendidikan karena orangtuanya adalah seorang petani tambak udang dan ikan. Tapi, karena adanya abrasi, usaha tambak orangtuanya hancur.

Dulu Disebut Kampung “Dollar”

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, menjelaskan bahwa Muara Beting dulu sangat kaya hasil laut, di antaranya ikan, udang, dan kepiting.

“Saking kayanya, kampung itu sampai dijuluki sebagai kampung ‘dollar’. Penghasilan masyarakat yang sebagian besar merupakan nelayan tambak bisa mencapai Rp 20-30 juta per bulan pada masa itu,” ujar Sudan.

Dengan melimpahnya hasil tambak, masyarakat di Muara Gembong berlomba-lomba menggantikan area mangrove dengan lahan-lahan tambak milik pribadi.

Namun sejak 2000-an, abrasi dan penurunan muka tanah merusak tambak masyarakat. Kerusakan ini diperparah oleh alih fungsi mangrove menjadi tambak yang masif dan tidak terkontrol.

Susan menilai, masifnya banjir rob, abrasi, hingga penurunan muka tanah di Muara Gembong tidak lepas dari kegagalan melindungi ekosistem esensial pesisir yaitu mangrove, kegagalan penataan ruang pesisir dan laut untuk melindungi ekosistem mangrove, serta kegagalan mengedukasi warga terhadap pentingnya menjaga ekosistem pesisir.

“Ketiga kegagalan tersebut berdampak pada masifnya alih fungsi ruang mangrove menjadi ruang pertambakan yang menciptakan kerusakan ekosistem pesisir yang sangat parah,” ujar dia.

Degradasi Mangrove Semakin Parah

Berdasarkan catatan KIARA, lebih dari 1.000 desa maupun kelurahan yang berada di lima provinsi yaitu Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah hingga Jawa Timur, yang terkena banjir rob, abrasi, dan penurunan tanah.

Namun, wilayah yang terkena dampak paling parah adalah Pesisir Utara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Bahkan intensitas banjir robnya terparah terjadi di sepanjang pesisir Pantai Utara Jawa.

“KIARA menilai bahwa hal ini bukan murni faktor alamiah, tetapi human made disaster atau bencana yang ditimbulkan oleh ulah manusia,” ungkap Susan.

Berdasarkan dokumen “Strategi Pengelolaan Sumber Daya Ekosistem Pesisir Muara Gembong, Teluk Jakarta (2019)”, Perhutani mencatat luas mangrove alami pada 2010 mencapai 10,4 hektare. Namun, 95 persen vegetasi ini berubah menjadi tambak dan lahan pertanian.

Data MapBiomas Indonesia 2025 menunjukkan luas mangrove tersisa hanya sekitar 23 hektare pada 2023. Bagi susan, degradasi luas ekosistem mangrove ini merupakan catatan buruk tata kelola mangrove yang dilakukan oleh pemerintah.

Berubahnya hutan mangrove menjadi lahan tambak warga bakal membuat air laut mudah sekali masuk ke daratan. Sebab, secara alami akar-akar tumbuhan itu berfungsi untuk menahan agar air laut tidak mudah masuk ke daratan.

Mitigasi Dinilai Terlambat

Menurut Susan, pemerintah terlambat menangani kerusakan pesisir. Ia mengkritik rencana revitalisasi tambak yang justru berpotensi memperparah kerusakan.

“Bahkan ironinya, saat ini pemerintah akan merevitalisasi tambak di wilayah Pantura, di mana kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, dan Indramayu, yang akan kembali mengorbankan areal mangrove menjadi tambak ikan air tawar,” tutur Susan.

Muara Gembong termasuk dalam rencana revitalisasi tersebut. Susan juga menilai PP Nomor 27 Tahun 2025 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove berpotensi melegalkan perubahan ekosistem mangrove.

Pasal 24 ayat 2 menyebutkan penurunan persentase tutupan tajuk mangrove di kawasan lindung tidak lebih dari 25 persen dan di kawasan budidaya tidak lebih dari 50 persen.

Potensi Seluruh Desa Terendam

Susan bilang, apabila pemerintah merevitalisasi area tambak di Muara Gembong maka kerusakan di pesisirnya akan semakin parah. Tiga desa yang masih bertahan sebagai daratan—Jayasakti, Pantai Harapan Jaya, dan Pantai Sederhana—berpotensi ikut tenggelam.

“Jika tidak ada intervensi konkret dan nyata terkait pemulihan lingkungan dengan kombinasi teknologi dan ekologi, maka tidak menutup potensi ketiga daratan yang tersisa di desa tersebut akan sepenuhnya tergenang air laut,” kata Susan.

Susan mencontohkan kondisi serupa di Jawa Tengah, seperti di Timbulsloko dan Bogorame, di mana warga membangun akses jalan secara swadaya menggunakan bambu dan kayu.

Ia menegaskan bahwa negara berkewajiban melindungi hak masyarakat untuk hidup layak dan sehat, sesuai Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

“Pemerintah harus melindungi hak mereka untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana disebutkan dalam Konstitusi tepatnya Pasal 28 H ayat 1,” tutur dia.

Untuk memberikan kehidupan yang layak terhadap warga di kampung tenggelam, pemerintah harus membangun infrastruktur ekologis di wilayah tersebut, sehingga pembangunan tidak memperparah kondisi banjir rob dan tidak menyebabkan banjir di wilayah lain. Pemerintah juga diminta untuk tidak memberikan izin usaha atau aktivitas industri ekstraktif dan eksploitatif apapun yang semakin merusak wilayah pesisir dan sekitarnya.

“Selain itu, juga menghentikan, mengevaluasi, mengaudit, serta memproses industri maupun korporasi yang terbukti berkontribusi terhadap alih fungsi mangrove dan penurunan muka tanah yang terjadi baik di pesisir Muara Gembong maupun dalam scope yang lebih besar yaitu Pesisir Pantai Utara Jawa,” kata Susan.  (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru