Kamis, 3 Juli 2025

Membangun Politik Beradab, Bukan Menabur Kebencian

Oleh: Airlangga Pribadi Kusman

Kemenangan, politik identitas dan sebaran kebencian mewarnai pertarungan Pilkada di DKI  Jakarta di Indonesia. Hal yang sama terjadi dalam Pilpres Amerika Serikat,– sebuah negara yang mengklaim dirinya paling beradab. Bergelora.com menurunkan opini dari  Airlangga Pribadi Kusman, Pengajar Departemen Politik FISIP, Universitas Airlangga.

Pertarungan Pilpres Amerika Serikat sekitar satu windu yang lalu (2008) menorehkan satu catatan politik penting yang patut dikenang. Kala itu tengah terjadi pertarungan besar para bintang, atau star wars antara Barrack Hussain Obama dengan John McCain. Konon bahkan beberapa kalangan menyebutkan inilah pertarungan antara figure politisi berkarakter dewa-dewa Yunani. Obama politisi muda, berlatar belakang akademik yang mumpuni dan memiliki jejak langkah panjang sebagai pejuang hak-hak kewargaan adalah representasi dari suara perubahan bagi kaum demokrat dan suara-suara kaum marjinal di Amerika Serikat. Kemunculan Obama kali itu ibarat Hercules yang menantang kaum mapan para dewa di Istana Gedung Putih. Sementara John McCain, politisi senior, veteran Perang Vietnam yang dalam tugasnya pernah ditangkap oleh gerilyawan Vietcong, dan muncul sebagai politisi yang menegakkan nilai-nilai konservatisme Amerika Serikat. Dalam epos para dewa Yunani mungkin adalah tepat apabila digambarkan bahwa McCain kala itu adalah sosok Zeus dikalangan Partai Republik.

Bukan soal adu strategi kampanye yang menarik untuk diperbincangkan disini. Saru pelajaran politik penting dari Pilpres itu adalah ketika John McCain menyadari bahwa pertarungan politik dalam pilpres yang berlangsung sudah berjalan tidak sehat dan melibatkan sentimen kebencian berbalut ras dan agama (Arab dan Muslim ) karena provokasi dan kampanye agresif dari pasangannya sendiri yakni Sarah Palin (kandidat Wakil Presiden), McCain sejenak mengambil jarak dan memikirkan ulang strategi yang telah ia lakukan. Apakah McCain melanjutkan langgam kampanye yang menebarkan kebencian untuk meraih kemenangan? Tidak, McCain memutuskan untuk menghentikan kampanye bernuansa kebencian dengan menegur konstituennya ketika pendukungnya itu mengutarakan bahwa ia membenci Obama karena Obama sebenarnya adalah orang Arab, karena dia Arab, maka dia Islam, dank arena dia Islam maka ia mendukung terorisme (demikianlah persepsi para konstituen kelompok ultra kanan di Amerika Serikat mendefinisikan kalangan Arab dan Islam). Tanpa diduga-duga mendengar response pendukungnya seorang ibu tua berkulit putih, McCain menjawab,”Tidak ibu, Obama bukan Arab, bukan pula teroris, kita tidak perlu menebarkan kebencian seperti itu. Dia adalah warganegara Amerika Serikat yang baik dan memiliki perbedaan konsepsi dengan saya, dan itulah mengapa kami berkompetisi dalam Pilpres kali ini”.

Banyak kemungkinan motif dari mengapa John McCain mengambil langkah politik yang tidak lazim seperti itu. Dari sudut pandang realism politik bisa jadi langkah itu dilakukan untuk mengambil hati para pemilih moderat Amerika Serikat yang menolak stigmatisasi ras dan agama. Demikian pula tidak tertutup kemungkinan bahwa pilihan itu diambil untuk menjaga keadaban politik Amerika Serikat dari ancaman semakin meruncingnya benturan antar identitas. Apapun motif politiknya dengan menegur konstituennya untuk tidak terjebak dalam arus benturan politik kebencian berbalut sentimen ras maupun agama, McCain saat itu telah menyelamatkan negerinya dari pendalaman sentimen rasisme maupun kebencian terhadap kaum imigran sebagai buah dari langkah politik yang ia jalankan.

Pada tahun 2008, figure Obama memiliki daya tarik yang luar biasa, ditengah krisis Amerika Serikat yang menerpa masyarakat dan kebutuhan mengembalikan wibawa negara ketika pemerintah tidak mampu menyelesaikan persoalan sosial yang ada Obama sebagai orator ulung hadir membawa jargon change and hope, perubahan dan harapan. Dalam kondisi demikian, maka dalam pertarungan kampanye politik sedikit alternatif yang dapat diambil untuk menggerus suara rival politik yang memiliki wibawa dan kapasitas yang bersinar adalah mencari kelemahannya atau memainkan sentimen-sentimen kultural. Kebetulan banyak hal dalam diri Obama yang berpeluang untuk diserang. Masa kecil Obama yang tinggal di negara Muslim Indonesia, memiliki kedekatan dengan aktivis dan mewarisi politik kaum progresif seperti Saul Alinsky yang rentan dengan stigma komunis, dan memiliki nama kearab-araban Husein, yang mirip dengan nama musuh politik negara Amerika Serikat yakni Saddam Hussein. Apabila McCain memainkan kartu sentimen kebencian kultural secara piawai mungkin sejarah Amerika Serikat akan menorehkan kisah yang berbeda.  

Politik Kebencian      

Lain John McCain lain Donald Trump. Sebagai saudagar kaya yang maju dalam Pilpres Amerika pada tahun 2016 dengan tantangan terhadap kaum elite mapan, Trump menjanjikan kembalinya kejayaan Amerika Serikat. Berbeda dengan tagline Hope and Change dari Obama, Trump membangun narasi kejayaan Amerika dengan menggeret kaum imigran Muslim, Arab dan Timur-Tengah serta kalangan Amerika Latin sebagai kambing hitam kedalam altar pengorbanan untuk menyatukan kaum kulit putih Amerika Serikat dibawah retorika politiknya. Dalam keadaan ketika Amerika Serikat masih dihantui oleh krisis global, Donald Trump mengeksploitasi hoax (khabar bohong) dan memanfaatkan koalisi besar pengusung kebencian dari kelompok anti-Muslim seperti Stop Islamization of America (SIOA), kaum neo-fasis yang mengusung nasionalisme kulit putih seperti Alt-Right dan kelompok populisme sayap kanan Tea Party untuk melawan Hillary Clinton yang menjadi lambang kemapanan. Hasilnya ia sukses terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat dengan efek sosial yang besar, modal sosial Amerika Serikat hancur, dan beragam kelompok minoritas hidup dibawah ancaman keberfihakan negara terhadap kaum rasis dan intoleran.

Apa yang baru saja terjadi di Amerika Serikat tahun lalu, semestinya menjadi pelajaran berharga bagi bangsa kita. Bahwa politisasi rumah ibadah dengan penebaran sentimen kebencian dan pembelahan muslim dan kafir, pribumi dan non-pribumi bukanlah semata-mata manifestasi politik agama. Apa yang terjadi dan tengah kita saksikan saat ini adalah penyebaran politik kebencian dengan menggunakan sentimen agama dan rasialisme sebagai senjatanya. Marilah kita menengok pada turbulensi politik yang dihadapi dibanyak negara di dunia. Bahwa penebaran kebencian dengan peluru agama, ras, maupun perseteruan golongan telah menghancurkan jangkar sosial dimana-mana, tidak saja di negeri seperti Irak dan Syria, namun juga di negeri dengan sejarah demokrasi yang panjang seperti Amerika Serikat maupun negara-negara Eropa.

Diatas semua itu sesungguhnya bukan kepentingan rakyat beserta atribut identitas-identitas kultural itulah yang tengah diperjuangkan dalam sirkuit politik yang penuh kebencian ini. Adalah kaum elite predator oligarki yang memanipulasi kebencian kultural inilah yang tengah merenggut iman dan keyakinan dari kaum miskin dan papa untuk kemakmuran dan kekuasaan mereka sendiri. Lalu dari manakah jalan untuk membangun politik beradab ditengah bangkitnya politik kebencian? Jalan itu bukan terletak pada kehendak para elite politik maupun kelas dominan. Jalan itu terletak pada hikmah kebijaksanaan dari kita seluruh rakyat untuk mempertimbangkan setiap pilihan dan langkah politik bagi keutuhan negara dan tatanan politik kita.        

              

                

 

           

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru