JAKARTA – Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengungkapkan, pihaknya akan membatalkan seluruh sertifikat yang ada di wilayah pagar laut sepanjang 30 km di Kabupaten Tangerang, jika sudah yakin bahwa lahannya adalah laut.
Nusron mengatakan, sebelum membatalkan sertifikat di kawasan pagar laut tersebut, Kementerian ATR/BPN harus berhati-hati dan meyakini bahwa tindakan mereka benar.
“Kan bisa jadi mereka (yang memasang sertifikat) merasa benar. Karena itu, kita juga sangat hati-hati, sangat prudent tapi juga prosedur. Juga kita yakini mana yang betul-betul kuat banget, yang sudah kita yakin kuat memang itu betul-betul laut, itu semua kita batalkan,” ujar Nusron saat ditemui di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (1/2/2025).
“Tapi, kalau masih ada wilayah abu-abu, kita pikir ulang dulu. Gitu loh. Kenapa? Ya karena memang ini proses prudent yang proses kita lakukan,” katanya lagi.
Apalagi, Nusron mengingatkan bahwa sertifikat yang dibuat di masa lalu itu telah melalui prosedur dokumen yang lengkap.
Terkait apakah dalam perjalanan pelengkapan dokumen itu ada pemalsuan, Nusron menyebut bahwa tindakan itu bukan urusan Kementerian ATR/BPN.
“Tahunya kita dokumennya itu output-nya itu lengkap. Nah, karena itu kan kami perlu hati-hati, perlu kita cross check satu per satu. Tidak gampang serta-merta membatalkan,” ujar Nusron.
Kemudian, Nusron berterima kasih kepada masyarakat yang telah melaporkan kasus pagar laut kepada aparat penegak hukum.
Dia menegaskan bahwa Kementerian ATR/BPN menghormati proses yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang didasari oleh laporan masyarakat.
“Kami sebagai Menteri ATR/BPN merasa terima kasih dan senang hati karena ada kepedulian masyarakat terhadap masalah ini. Karena itu kami serahkan sepenuhnya masalah ini kepada proses hukum, dan kepada aparatur hukum,” kata Nusron.
“Kami akan kooperatif, akan terbuka manakala diajak kolaborasi untuk sama-sama misal dimintai data, akan kami kasihkan apa adanya tidak ada yang kami tutup-tutupi,” ujarnya lagi.
Sebelumnya, Nusron mengungkapkan pihaknya telah membatalkan 50 dari 280 sertifikat yang tersebar di kawasan pagar laut sepanjang 30 km di Kabupaten Tangerang.
Nusron menyebut, untuk sisanya, masih dalam proses Kementerian ATR/BPN. Sebab, mereka sedang mencocokkan, mana sertifikat yang ada di dalam garis pantai, dan mana yang berada di luar garis pantai.
Hal tersebut Nusron sampaikan dalam rapat antara Kementerian ATR/BPN dan Komisi II DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (30/1/2025).
“Pembatalan hak atas tanah. Sementara ini yang kita batalkan 50 bidang. Sementara ini. Dari 263 (HGB) dan 17 (SHM), yang kita batalkan 50. Sisanya, Pak? Sedang berjalan, masih kita on progress, kita cocokkan. Mana yang di dalam garis pantai, mana yang di dalam luar garis pantai,” kata Nusron.
Nusron mengatakan, angka 50 itu masih berpotensi bertambah. Sebab, pencabutan 50 sertifikat itu merupakan hasil kerja dari Kementerian ATR/BPN selama empat hari saja, mengingat terpotong libur panjang.
Kenapa Menteri Nusron Tak Usut Dugaan Pidana Pagar Laut meski Ada Pejabat ATR Dicopot?
Sebelumnya kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, sebanyak enam pejabat di lingkungan Kementerian ATR/BPN telah dicopot dari jabatannya buntut kasus pagar laut sepanjang 30 km di Kabupaten Tangerang, sedangkan dua lainnya disanksi berat. Tidak dijelaskan secara rinci mana pejabat yang dicopot dan mana yang dikenakan sanksi berat. Namun, yang pasti, berdasarkan keterangan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid dalam rapat kerja bersama Komisi II DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, pada Kamis (30/1/2025).
Salah satu yang terkena imbas dari kasus pagar laut adalah mantan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang berinisial JS.
“Kemudian SH, eks Kepala Seksi Penetapan Hak dan Pendaftaran. Kemudian ET, eks Kepala Seksi Survei dan Pemetaan. Kemudian WS, Ketua Panitia A. Kemudian YS, Ketua Panitia A. Kemudian NS, Panitia A. Kemudian LM, eks Kepala Survei dan Pemetaan setelah ET. Kemudian KA, eks PLT Kepala Seksi Penetapan Hak dan Pendaftaran,” papar Nusron.
Menurut Nusron, delapan orang tersebut sudah diperiksa dan disanksi inspektorat Kementerian ATR/BPN. Kini, mereka tinggal menunggu surat keputusan terkait penjatuhan sanksi itu.
“Tinggal proses peng-SK-an saksinya dan penarikan mereka dari jabatannya tersebut,” imbuh Nusron.
Tak Dibawa Ke Ranah Pidana?
Meski para pegawai itu telah disanksi, Nusron mengaku tidak tahu apakah mereka menerima suap atau tidak. Menurut dia, pembuktian mengenai dugaan tindak pidana bukan menjadi ranah atau wewenang kementeriannya.
“Enggak tahu aku. Kalau itu saya enggak tahu. Sepanjang pemeriksaan kita, ya memang belum menemukan itu kalau di internal. Tapi kalau masalah suap, dan tindak pidana yang lain itu kan bukan lagi kewenangan kementerian. Itu kewenangan APH, bisa di polisi, bisa di jaksa. Dan mereka, APH ini sudah on going jalan, sudah berjalan,” ujar Nusron.
Ia menambahkan, sanksi yang dijatuhkan kepada para pegawai ini dilakukan karena mereka dinilai tidak berhati-hati dalam menerbitkan sertifikat tersebut.
“Kenapa sangat tidak hati-hati? Karena kalau kita lihat dari aspek dokumen juridisnya, itu memang lengkap. Dari aspek prosedurnya itu memang terpenuhi,” tuturnya.
“Tapi ketika kita cek kepada fakta materiilnya, itu enggak sesuai. Karena sudah tidak ada bidang tanahnya,” sambung Nusron.
Nusron mengatakan, para pegawai Kementerian ATR/BPN ini disanksi administrasi negara, mengingat produknya adalah tata usaha negara. Dengan demikian, mereka dijatuhi sanksi berupa sanksi berat hingga penghentian dari jabatan.
“Kecuali kalau di situ ada unsur-unsur mens rea. Misal dia terima suap. Terima sogokan atau apa. Itu baru masuk ranah pidana. Tapi tidak menutup kemungkinan dokumen-dokumen yang disajikan oleh pihak-pihak pemohon, itu adalah dokumen-dokumen yang tidak benar. Misal dokumen palsu, atau dokumen apa. Nah, itu mungkin bisa masuk ranah pidana di ranah pidananya adalah pemalsuan dokumen,” imbuhnya.
Tekanan Politik Sangat Berat
Di sisi lain, Nusron mengakui bahwa tekanan politik di dalam penerbitan HGB sangat berat. Tak perlu berhektar-hektar, tekanan berat bahkan sudah dirasakan meski hanya untuk tanah seluas setengah hektar, terutama jika HGB itu diterbitkan di kota-kota besar yang punya nilai ekonomi tinggi.
“Karena memang sangat berat sekali. Tekanan politiknya HGB itu sangat berat. Apalagi kalau daerah-daerah, kota-kota besar yang punya tingkat nilai ekonomi tinggi. Pemberian HGB jangankan setengah hektar, jangankan 1-2 hektar, setengah hektar saja, kalau itu di Jakarta, kawasan-kawasan yang tadi disebut oleh Pak Ketua, itu tekanan politiknya tinggi. Karena apa? Nilai ekonominya juga tinggi,” jelas Nusron.
Nusron mengatakan, terkadang ada kepala kantor pertanahan (kakantah) yang tidak kuat menghadapi tekanan.
“Karena tadi kalau kita bicara soal kasus Tangerang, memang secara prosedur, secara legal, secara juridisnya lengkap-lengkap secara administrasi. Jadi ada juga mereka membayar PBB juga, ada PBB-nya. Saya enggak tahu juga kenapa laut ada PBB-nya,” paparnya.
“Jadi ini kalau memang melibatkan banyak pihak, ya memang betul melibatkan banyak pihak. Ada, saya pikir giriknya ada, dokumen keterangan ada lengkap. Secara prosedur maupun secara juridis tidak ada yang dilalui. Kami sudah periksa satu per satu. Karena sebelum membatalkan itu kami memeriksa satu per satu. Hanya ketika kita cek fakta materialnya saja, kenanya di fakta materialnya itu,” imbuh Nusron.
Desakan Usut Pidana
Sementara itu, sejumlah kepala desa (kades) yang diduga terlibat dalam polemik pagar laut di Tangerang, Banten, dilaporkan ke Kejaksaan Agung. Mereka diduga ikut berkongkalikong dengan pejabat yang berwenang, untuk memuluskan perizinan lahan pagar laut.
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan, beberapa oknum kepala desa yang dilaporkan terutama yang berada di Kecamatan Tronjo, Tanjungkait, dan Pulau Cangkir. Mereka diduga terlibat dalam penyalahgunaan wewenang sejak 2012.
“Kalau terlapor itu kan oknum kepala desa di beberapa desa, bukan Kohod saja loh ya, ada di Pakuaji, di beberapa yang lain itu ada,” ujar Boyamin saat ditemui di Kejaksaan Agung, Kamis (30/1/2025).
Tak hanya kades, penyalahgunaan wewenang ini diduga juga melibatkan oknum di tingkat kecamatan, kabupaten, hingga pejabat pertanahan di Kabupaten Tangerang.
“Terus yang terakhir otomatis oknum di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Tangerang karena terbitnya HGB dan SHM ini pada posisi di BPN. Nampaknya ada akal-akalan,” kata Boyamin.
Boyamin menduga, sejumlah oknum mengakali surat-surat yang terbit dengan keterangan luas lahan maksimal dua hektar.
Ketentuan ini sengaja diatur secara khusus agar pejabat daerah tidak perlu meminta persetujuan ke pusat. Kendati demikian,
Boyamin menduga, pihak pusat juga terlibat dalam pembuatan surat-surat ini. Berdasarkan kesaksian sejumlah warga yang mengadu kepada Boyamin, pembuatan surat ini mulai terjadi pada tahun 2012. Saat itu, isu reklamasi mencuat sehingga warga berbondong-bondong membeli segel pernyataan keluaran tahun 1980-an.
“Jadi, urutannya begini, 2012 itu kemudian ada isu mau ada reklamasi dan sebagainya. Maka kemudian, warga banyak yang membeli segel tahun 1980-an ke Kantor Pos Teluk Naga dan ke Jakarta,” lanjut Boyamin.
Segel ini dipergunakan untuk menerbitkan surat keterangan lahan garapan. Surat ini kemudian dijual kembali dengan harga miring, kisaran Rp 2 juta hingga Rp 7 juta.
“Setelah punya surat keterangan garapan itu, diketahui kepala desa, dan sebagainya, terus (surat) dijual lagi kepada (pihak) A, kepada B,” jelas dia.
Melalui proses jual beli yang ada, surat ini kemudian sampai ke tangan sejumlah perusahaan yang namanya disebutkan sebagai pemilik izin lahan pagar laut.
Kemudian, perusahaan-perusahaan ini membuat surat hak guna bangunan (HGB) pada tahun 2023. (Web Warouw)