JAKARTA- Sikap lunak Pemerintah RI melawan PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT) sangatlah mengherankan. Sebagaimana diketahui, selepas larangan mengekspor konsentrat sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 103 ayat (1) dan Pasal 170 Undang-undang Minerba, PT. NNT masih mendapat privilege melalui Moemorandum of Understanding (MoU) yang diteken oleh Dirjen Minerba. MoU tersebut diduga mengandung unsur tindak pidana. Demikian Ahmad Suryono, SH., MH. dari LBH Solidaritas Indonesia kepada Bergelora.com di Jakarta, Jumat (17/4).
“Kemudian dilanjutkan dengan pemberian Surat Persetujuan Ekspor (SPE). Dengan “jembatan” dua regulasi tersebut, Newmont sampai detik ini masih bebas mengeruk kekayaan alam kita,” ujarnya.
Menurutnya, penandatanganan MoU yang dilakukan oleh Dirjen Minerba, R. Sukhyar, berpotensi dapat dikategorikan sebagai sebuah tindak pidana korupsi. Karena terjadi seorang pejabat melakukan perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan kewenangan yang menguntungkan suatu korporasi, sebagaimana diatur di Pasal 2 dan 3 Undang-undang Tipikor.
Perbuatan Dirjen Minerba juga patut diduga menyalahi ketentuan Pasal 421 KUHP yang berbunyi “Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan”.
“Dokumen MoU juga sangat sulit ditemukan, baik di laman website Ditjen Minerba, Kemen ESDM atau PT. NNT. Sulitnya kami menemukan dokumen ini patut dipertanyakan motifnya,” ujarnya.
Perbuatan ini menurut Ahmad Suryono patut dikualifikasi sebagai upaya menyembunyikan informasi penting sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 52 UU Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik.
“Jadi, masih patutkah kiranya Newmont mengeruk kekayaan alam kita dengan serampangan? Bertingkah seperti penjajah menindas kita?” katanya.
Menurutnya, sejalan dengan perintah Pasal 103 ayat (1) jo. Pasal 170 UU Minerba, maka semenjak Maret 2014 tidak ada lagi alasan bagi Newmont untuk melakukan ekspor langsung konsentrat.
“Oleh karena itu, semenjak Maret 2014 sampai detik ini, tidak terhitung berapa banyak kandungan emas, tembaga dan mungkin uranium yg sudah terkirim ke luar negeri tanpa kontrol yang ketat dari masyarakat dan pemerintah. Untuk periode akhir 2014 hingga awal 2015, pengiriman konsentrat itu cenderung bermasalah secara hukum karena melanggar Undang-undang Minerba,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa, Provinsi NTB sebagai provinsi penghasil dan juga memiliki saham di PT. Newmont Nusa Tenggara harus mendesak agar Newmont membangun smelter di NTB. Hal ini dimaksudkan agar Newmont dapat memberikan efek secara ekonomis bagi warga NTB.
“Rentetan keuntungan secara ekonomis tersebut dapat berupa pembukaan lapangan kerja baru, peningkatan taraf ekonomi warga sekitar, dan kesempatan untuk berusaha. Selain itu, yang terpenting adalah adanya jaminan NTB akan dialiri pasokan listrik yang memadai,” jelasnya.
Bagi Newmont menurutnya, jika hanya membangun smelter tentu tidak sebanding dengan keuntungan yang sudah diperoleh dari menambang emas, tembaga dan mungkin uranium di Batu Hijau sejak 1986.
“Pembangunan smelter seharusnya adalah bentuk komitmen Newmont bagi warga NTB, dan kepada Indonesia secara umum. Jika tidak, sangat patut rasanya jika Newmont harus angkat kaki dari bumi pertiwi,” tegasnya. (Enrico N. Abdielli)