Sabtu, 5 Oktober 2024

Agama Sipil dan Nasionalisme

Oleh: Muhamad Ikbal A. Ibrahim*

Dalam sebuah negara yang heterogen seperti Indonesia persoalan membangun persatuan tak semudah menemukan perbedaannya. Indonesia bak sebuah kumpulan ratusan etnis masyarakat yang beragam namun hendak diikat dengan slogan nasionalisme. Nasionalisme dalam konsepsi tidak perlu dipertanyakan lagi, yang menjadi persoalan adalah praktek nasionalisme dalam memahami perikehidupan sosial dan tujuan masyarakat indonesia itu sendiri.

Tulisan kali ini hendak memaparkan suatu diskursus penting dalam nasionalisme, kenapa menjadi urgen karena satu persoalan pelik dalam menyusun konsepsi persatuan dalam nasion terkhusus di Indonesia adalah soal keyakinan (religion). Indonesia dengan latar belakang historis dan perkembangan masyarakatnya yang beragam melahirkan berbagai ajaran keyakinan yang beragam pula, dalam hal ini perlu perumusan yang tepat agar tak mendiskriminasikan suatu golongan.

 

Konsepsi Agama Sipil
Topik “agama sipil” memang bukan hal baru dalam sejarah ilmu pengetahuan masyarakat. Agama sipil berasal dari suatu pandangan bahwa antara struktur politik disatu sisi dan keyakinan disisi yang lain harus dipisahkan, hal ini tentunya bercermin dari pengalaman sejarah dominasi agama dan aparatus keagamaanya telah menyebabkan peperangan dan kehancuran di Eropa diabad-abad yang lalu.

Jika mengacu pada dokumen dimana konsepsi agama sipil pertama kali ditemukan adalah fikiran Jean-Jacques Rousseau di Bab 8, Jilid 4, dari bukunya Kontrak Sosial. Rousseau menyajikan garis-besar dogma-dogma sederhana agama sipil: keberadaan tuhan, kehidupan sesudah kematian, pahala bagi kebajikan dan hukuman atas kejahatan, serta sikap toleransi beragama.

Pandangan agama sipil adalah anti sektarianisme agama. Dalam masyarakat yang keyakinanya beragam tentunya dalam kacamata politis negara tidak bisa berdiri pada satu agama saja. Negara sebagai suprastruktur politik harus mengayomi masyarakat yang beragam keyakinanya tersebut. Kepentingan agama harus diletakan dibawah kepentingan tuhan. Kenapa tuhan menjadi sarana penyatuan agama yang beragam karena setiap agama mengakui tuhan. Agama sipil adalah semacam agama persatuan yang menempatkan kepentingan bangsa diatas kepentingan ego keyakinan.

Robert N. Bella dalam esainya Agama Sipil di Amerika memaparkan sedikit pengalaman sejarah bahwa Amerika serikat dalam setiap pelantikan Presidenya sejak Washington, Thomas Jeferson, John F Kenedy, Dwight Eisenhower selalu mengucapkan kata tuhan bukan agama yang dianutnya. Bahkan Kennedy seorang katolik tidak mengagungkan agamanya, karena kepercayaan katolik adalah kepercayaan seseorang, hubunganya dengan gereja tertentu juga bersifat pribadi. Tentunya pengalaman perang saudara di Amerika juga menjadi dasar berfikir setiap pemimpin di Amerika untuk tidak tendensius pada satu keyakinan agama tertentu. Semisal Kennedy yang merupakan seorang Katolik sedangkan mayoritas warga Amerika Serikat adalah Protestan. Tentunya dalam kacamata politik Kennedy tidak bisa mengutamakan agama yang dianutnya.

Konsepsi Agama Sipil memang adalah suatu sikap yang bijaksana terlebih bagi pemimpin Negara. Agama sipil adalah sikap yang tidak mencampuradukan agama sebagai sebuah keyakinan dan Negara sebagai aparatus yang menaungi rakyat. Negara dan Pemimpin harus mengambil posisi akomodatif terhadap seluruh keyakinan agama dalam Negara, hal ini adalah suatu praktek yang hendak mewujudkan negara yang nondiskminatif dan tentunya mewadahi rakyatnya.

Relevansinya Di Indonesia
Konflik berbau SARA dan kekerasan-kekerasan atas nama agama yang terjadi di Indonesia beberapa waktu belakangan ini menjadi keprihatinan tersendiri bagi seluruh rakyat. Konflik ini jika dibiarkan terus akan menyebabkan destabilisasi nasional, dan berujung pada kekecauan-kekacauan yang menimbulkan konflik horizontal dikalangan masyarakat Indonesia. Tentunya situasi ini memerlukan solusi yang tepat untuk menghindari akibat-akibat yang tidak kita inginkan.

Konsep Agama Sipil mungkin dapat menjadi jawaban atas berbagai persoalan tadi. Ancaman-ancaman yang hendak mencampuradukan Agama dan Negara harus penting dianalisis kembali. Kita meyakini bahwa agama memang bersifat sosial namun seharusnya agama adalah “Habluminallah” hubungan antara manusia dengan Tuhan. Jika berbicara “Habluminannas” agama dapat menjadi pegangan tetapi pada hukum-hukum yang sifatnya sosial seperti jujur, keadilan, sama-rata, menujung tinggi kemanusiaan. Kesalahan terbesar adalah hubungan antara manusia yang termanifestasi dalam “Negara” katalisatornya adalah keyakinan agama seseorang. Paham Agama Sipil mengakui bahwa diatas manusia ada tuhan sang penguasa alam, yang mengatur segala kehidupan alam dan manusia, tuhan ini diakui semua dalam keyakinan, dan seharusnya dasar ini menjadi pijakan kita menjunjung tinggi kemanusiaan.

Kita tak bisa menutup mata dengan sejarah bangsa kita ketika hendak dimerdekakan. Tepat pada Tanggal 1 Juni 1945 dimana saat itu sedang berlangsung sidang BPUPKI tema bahasan pada saat itu adalah merumuskan apa dasar negara Indonesia. Saat itu Sukarno maju berpidato tentang dasar negara yang kelas peristiwa ini diperingati sebagai Hari Lahir Pancasia. Perlu diketahui, bahwa majunya Sukarno setelah diawali oleh berbagai silang pendapat terkait dasar negara. Yang paling mengemuka dalam perdebatan adalah apakah dasar negara harus berlandaskan Islam sebagai Agama Mayoritas atau tidak. Dalam Pidato ini Sukarno mengemukakan lima sila yakni Kebangsaan, Kemanusiaan (Internasionalisme), Musyawarh Mufakat, Keadilan Sosial, dan Ketuhanan. Sukarno menambahkan jika diperas menjadi tiga (Trisila) maka hasilnya adalah Sosio-Nasionalisme, Sosio- Demokrasi, Dan Ketuhanan, Jika hendak Diperas menjadi Satu Sila (Ekasila) maka hasilnya adalah Gotong Royong.

Rumusan dasar negara yang dipaparkan Sukarno ini mendinginkan susana perdebatan yang sejak awalnya memanas. Dalam perkembangnya Dasar Negara ini sedikit berubah baik redaksional maupun substansinya dalam Jakarta Carter (Piagam Jakarta) yakni pada Sila Ketuhanan dirumuskan Ketuhanan Berdasarkan Syariat Islam. Setelah kemerdekaan belum seminggu dasar negara ini berhasil disusun dimana sila Ketuhanan yang tadinya berdasarkan Syariat Islam menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Peristiwa sejarah ini memberikan sedikit pelajaran bahwa dalam membangun bangsa harus mengesampingkan ego keyakinan. Sukarno sebagai seorang peminpin bangsa dan juga penemu dasar negara Pancasila sadar bahwa negara harus dilepas dari sektarianisme agama. Namun bukan berarti disini negara berdiri tanpa harus memperhatikan nilai-nilai agama. Karena negara mewadahi setiap manusia yang berbeda keyakinan agamanya, maka kemanusiaan harus lebih dikedepankan.

Indonesia dalam konsepsi Pancasila tetap mengamalkan nilai-nilai moral dan kebaikan dalam setiap agama namun agama tidak boleh dikedepankan dan menciderai nilai-nilai kemanusiaan seperti fundamentalisme atas nama agama yang marak belakangan ini.

Sekalipun tidak kita temukan Kata “Agama Sipil” dalam Perisitiwa sejarah kemerdekaan kita, tetapi Pancasila sudah memberikan gambaran tentang apa itu agama sipil sebenarnya. Artinya Indonesia sudah menerapkan agama sipil terlepas dari apakah fikiran tersebut mengacu pada gagasan Rousseau. Pemimpin bangsa kita sudah menyadari dan mengantisipasi ancaman-ancaman fundamentalisme berbasis agama yang akan menyulut konflik di Bangsa Indonesia. Nasionalisme yang dianut oleh pemimpin Bangsa Indonesia adalah Nasionalisme yang dasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan atau apa yang dikatakan Sukarno dalam Pidato hari Lahir Pancasila sebagai Sosio-Nasionalisme.

Indonesia sebagai sebuah bangsa yang terdiri dari ribuan pulau, ragam suku dan etnis, ragam keyakinan dan agama, ragam budaya, harus diletakan dalam dasar Nasionalisme. Dasar dalam perikehidupan Bangsa Indonesia sebenarnya sudah tercermin dalam Pancasila yang dirumuskan oleh Founding Father kita Sukarno. Untuk merajut indonesia tanpa diskriminasi, Indonesia yang berkeadilan, Indonesia yang berperi-kemanusiaan, tentunya harus mengacu pada nilai-nilai pancasila dan soal keyakinan harus menjungjung tinggi Agama Sipil atau mengakui bahwa setiap warga indonesia memiliki dan mempercayai Tuhan Yang Maha Esa seperti isi Pancasila.

*Penulis adalah Wakil Sekretaris Komite Pimpinan Wilayah Partai Rakyat Demokratik (KPW-PRD) Sulawesi Tengah.

 

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru