Sabtu, 5 Juli 2025

Amsal Binatang Pilpres dan Pemilu


Oleh: Victor Rembeth *

PERHELATAN politik 5 tahunan sejatinya mirip dengan insting binatang yang kalau tidak hati hati akan mencelakakan. Bak pepatah yang mengatakan “keledai saja tidak jatuh ke lubang yang sama dua kali”, kita selayaknya bisa memakai hikmat dan akal budi untuk dapat menentukan pilihan kita.

Pembelajaran dari binatang sebagai sesama ciptaan Tuhan kerap.diungkapkan oleh para bijak, seperti juga yang termuat dalam Kitab Suci, kitab Amsal oleh Raja Solaiman misalnya. Belajar dari para binatang adalah belajar kebaikan mereka sekaligus belajar dari kebodohan yang dilakukan.

Kali ini binatang, sama dengan kita, memiliki kemiripan yang mengakibatkan kehancuran bahkan kematian ketika kita dalam proses memasuki ajang memilih presiden dan anggota legislatif bodoh dan asal pilih. Amsal atau kisah bijak perihal bodohnya binatang harusnya bisa membuat manusia arif dalam menentukan pilihan.

Kisah kisah binatang berikut ini akan menolong kita, apakah kita memilih berdasar nurani yang baik dan akal sehat, atau karena pilihan pilihan jualan politik semata yang bagus diatas kertas namun merusak demokrasi yang sedang kita bangun.

  1. Memilih karena ketakutan
    Budaya menakut nakuti adalah dorongan maut bagi mahluk apapun untuk panik dan memiliih yang salah. Dengan menebar ketakutan, politisi melakukan personifikasi diri mereka sebagai “ratu adil” yang menentukan baik buruknya kehidupan rakyat. Hantu ketakutan yang diciptakan para politisi membuat kepanikan pemilih yang berakibat fatal. Kisah Babi adalah contoh ketakutan yang dijual dapat merusak masa depan

Para peternak babi, tidak akan mendorong babi masuk ke keranjang “kematian” mereka ketika babi siap dijual. Mendorong sekuat apapun hanya akan membuat babi bertahan tidak bergerak. Oleh karenanya para peternak memiliki cara jitu, yaitu menarik ekor babi yang membuat babi ketakutan dan melakukan reaksi panik masuk kedalam keranjang untuk siap dijual menuju kematiannya.

Reaksi babi ini secara instinktif adalah mencari selamat ketika ditarik ekornya yang adalah menebar ketakutan. Rasa takut akan ditangkap malah berbuah siapnya babi dijual dan disembelih. Para politisi busuk kerap menjual ketakutan, bahwa tanpa mereka kehidupan akan memburuk, namun sejatinya dengan menyebar ketakutan para pemilihnya akan masuk ke dalam perangkap kematian.

  1. Memilih karena kenyamanan
    Demokrasi selain memiliki aspek kebebasan juga memiliki dimensi pembatasan. Ketika revolusi Perancis terjadi, demokrasi yang diteriakkan dalam slogan liberte, egalite, fraternite adalah pembatasan kekuasaan Raja Loous XV yang menganggap dirinya negara

Para penikmat kenyamanan monarki dan gereja pada saat itu meninabobokan rakyat untuk korupsi besar besaran oleh kekuasaan. Dalam hal inilah kisah kodok bisa menjadi referensi kita. Membunuh kodok tidak akan berhasil bila mereka langsung dimasukkan dalam air yang mendidih. Kodok bisa diperangkap dengan meletakkannya di air yang suhu biasa dan dinaikan perlahan sampai akhirnya mendidih dan mematikannya.

Dalam kenyamanan yang dialami para kodok tidak kuasa mengambil reaksi ketakutan dan menyelamatkan diri. Kodok dibuat nyaman dengan kondisi yang dinikmatinya kendati kenyamanan itu palsu dan membunuh dirinya. Kekuasaan yang membuat rasa nyaman, akan juga membuat pemilih tergila gila pada figur hebatnya sang politikus yang memiliki rating tinggi disukai publik. Namun aspek demokrasi mengharuskan senyaman apapun tetap harus ada pembatasan. Kisah Orde Baru yang ditumbangkan rakyat adalah kisah kenyamanan 20 tahun pertama yang berakibat malapetaka 12 tahun terakhir. Opsi memilih karena kenyamanan janganlah membutakan kita, sebaik dan sehebat apapun pemimpin, demokrasi yang mensyaratkan pembatasan kekuasaan adalah pilihan terbaik.

  1. Memilih karena Rakus
    Pilihan karena rakus adalah sebuah kemauan manusia yang tidak pernah puas untuk apa yang dimilikinya. Dengan berbagai cara seorang akan berusaha mendapatkan lebih dan lebih. Prinsip mendasar dari kapitalisme akut adalah mengambil sebanyak banyaknya dan masa bodoh dengan orang lain. Para pemilih rakus memilih karena jualan para politisi memberi kesempatan untuk lebih menambah pundi pundi dirinya, keluarga dan kelompoknya.

Kisah para petani menangkap monyet yang rakus adalah prototype dari para pemilih rakus. Setelah hampir kehabisan akan menangkap monyet yang menjadi hama kebon kacang, para petani akhirnya bs menangkap monyet monyet yang rakus. Caranya adalah meletakkan kacang yang banyak dalam toples yang besar namun dengan mulut toples yang kecil. Dengan demikian monyet bisa memasukan tangannya tapi tak bisa melepaskan tangannya ketika meraup kacang yang banyak. Monyet tertangkap karena kerakusan ingin kacang yang banyak

Perihal monyet ini menyadarkan kita para pemilih agar tidak rakus. Iming iming kesejahteraan murah meriah melalui politik uang seberapa besarpun tidak bakal bertahan lama apalagi menyejahterakan. Para politikus najis kerap melakukan politik busuk dengan menggelontorkan bantuan, uang dan sembako, sehingga pemilih akan rakus mengambil keuntungan sebanyaknya. Janji manis politikus berdana besar ini pada akhirnya tidaklah dapat menjamin hadirnya kemakmuran yang berkelanjutan, sejatinya hanyalah para bohir yang akan memetik janji poltik busuk binaan mereka. Para pemilih karena kerakusan akan jadi monyet monyet malang

  1. Pilihan sembrono tidak hati hati
    Kondisi keputusasaan pemilih yang hidup dalam kemiskinan, ketiadaan pekerjaan dan perut yang lapar bisa juga menjadi obyek politik politisi. Kalau tujuannya tulus untuk menaikan taraf hidup dan memberi solusi patut dihormati. Namun yang terjadi tak jarang pemilih diberi solusi sesaat yang seakan mengobati kelaparan dan kekuatiran mereka, tapi akhirnya malah membuat keterpurukan yang lebih parah.

Kisah menangkap serigala es adalah gambaran yang tepat. Untuk menjebak serigala, orang Eskimo akan membekukan bilah pisau menggunakan es yang dicampur darah kelinci. Ketika seekor serigala mendekat dan secara agresif menjilat darah beku pada pisaunya, perlahan-lahan bilah pisau tersebut akan terbuka dan melukai lidah serigala tersebut. Karena lidahnya mati rasa karena dinginnya es, serigala tidak menyadari bahwa ia sedang dipotong, dan menjilati pisaunya dengan semakin bersemangat. Dalam waktu singkat, serigala akan pusing dan mati karena kehabisan darah.

Politikus jahat yang hanya memikirkan keterpilihan elektoralnya, sering menggunakan strategi orang Eskimo di atas. Tujuan mereka hanya mendapat kursi dengan mengorbankan para pemilih yang hidup sulit dan segera menangkap perangkap mematikan mereka. Adalah benar politkus sering lupa kalau sudah jadi, atau tepatnya memang dari awal merancang melupakan para pemilih, karena sudah direncakan demikan. Kemiskinan, kelaparan dan permasalahan sosial dijadikan jualan politik laknat yang ujungnya menguntungkan diri sendiri dan kelompoknya.

Ayo Memilih Bijak
Persoalan sosial yang dihadapi sebagai bangsa memang mekanismenya harus dicarikan solusinya oleh para politikus, baik sebagai pelaksana negara eksekutif maupun legislatif. Namun mengkapitalisasi persoalan dan tantangan sosial untuk panen suara elektoral semata adalah kejahatan kemanusiaan. Dalam demokrasi, proses elektoral najis bisa dilakukan siapa saja untuk meraih kursi dan kekuasaan. Namun demokrasi juga seharusnya dilaksanakan dengan moral dan nilai memajukan kehidupan rakyat banyak yang akuntabel dan berkeadilan.

Pilihan partisipan pemilu yang bernama rakyat harusnya dihormati dengan hadirnya pemilu dan pilpres yang memartabatkan. Adalah celaka, bila politisi siapapun menggunakan strategi perangkap binatang binatang diatas. Sebagai pemilih, kita kaji proses demokrasi ini untuk menghasilkan yang terbaik. Hal itu bisa kita bijak lakukan bila tidak dalam ketakutan, sekedar menjaga kenyamanan, bukan juga dalam kerakusan, apalagi sembrono karena berbagai persoalan yang kita hadapi.

Proses politik bersih, santun dan memartabatkan selayaknya jadi pilihan kita. Gunakan akal sehat, hati nurani yang bersih dan pilihan yang mengutamakan kepatutan dan kebaikan bersama. Indonesia akan membaik dengan pemilih cerdas dan arif, namun sebaliknya akan hancur bila dijejali oleh para politikus najis, rakus dan laknat yang menghalalkan segala cara mengatasnamakan demokrasi.

Selamat tafakur dalam bersiap menentukan pilihan. Tuhan sayang Indonesia.

*Penulis, Pdt Victor Rembeth, penggiat kemanusiaan dan penikmat demokrasi santun

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru