Sabtu, 24 Mei 2025

Anies-Sandi Menang, Pemeriksaan Kasus Ancaman Pemerkosaan Pada Ahokers Harus lanjut

JAKARTA- Pasca Pilkada DKI Jakarta yang telah memenagkan Anis-Sandi masih menyisakan berbagai persoalan. Salah satunya laporan polisi atas ancaman pemerkosaan terhadap para perempuan pendukung Ahok. Sejumlah organisasi dan individu memastikan akan terus mengawal dan memastikan Polri menindak lanjuti laporan polisi yang sudah disampaikan beberapa waktu lalu.

“Ancaman tersebut adalah kejahatan yang punya pengaruh politik. Walaupun Anis- Sandi, Kapolri Tito Karnavian harus menegakkan keadilan untuk melanjutkan pemeriksaan pada kasus ancaman pemerkosaan pada relawan dan pendukung Ahok yang disiarkan di media sosial. Cari dan bawa ke meja pengadilan dan hukum pelaku ancaman itu,” tegas Helga Worotitjan, aktivis perempuan kepada Bergelora.com di Jakarta, Jumat (21/4)

Karena menurutnya ada kemungkinan kejahatan tersebut akan digunakan lagi dalam peristiwa lain karena sudah terbukti efektif secara politik.

“Kalau gak dilanjut terus dihukum dapat dipastikan akan ada terus, cara ini dipakai terus untuk memenangkan kepentingan politik tertentu, ancaman ini terbukti efektif,” ujarnya.

Ia mengajak kaum perempuan Indonesia yang sadar untuk bangkit mengawal kasus ini sampai pelaku diberikan hukuman setimpal. Menurutnya percuma setiap tahun memperingati hari kartini tetapi membiarkan cara-cara politik yang menindas dan memanipulasi kesadaran kaum perempuan.

“Bila tidak, masyarakat tidak tahu kalau ada hukuman bila menyebarkan ujaran kebencian kepada kaum perempuan. Apalagi yang sampai melakukan provokasi untuk berbuat jahat dan melanggar hukum, harus ditindak tegas. Ini memastikan agar tidak terulang lagi di masa yg akan datang,” ujarnya.                       

Helga Worotitjan kaum perempuan harus tahu bahwa ada pasal dalam KUHP yang melarang melakukan ancaman pemerkosaan di media sosial.

“Pasal 156 KUHP berbunyi, “Barang siapa di muka umum menyatakan pernyataan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,” tegasnya.   

Sebelumnya dijelaskan, pengalaman sejarah kekerasan perempuan dalam perubahan politik di Indonesia, dimulai sejak tahun 1965 dan mengalami puncaknya pada Mei 1998,  dimana sejumlah perempuan etnis Tionghoa menjadi korban kekerasan seksual, termasuk perkosaan. Kekerasan terhadap perempuan, terjadi di setiap perubahan dan konflik politik yang terjadi di Indonesia. Diawali dengan ujaran-ujaran kebencian yang mendiskriminasi dan seksis terhadap perempuan serta ancaman kekerasan yang menyasar tubuh dan seksualitas perempuan.

“Kami, Perempuan Indonesia Anti Kekerasan, akhir-akhir menyaksikan dan mengamati munculnya ujaran-ujaran kebencian, utamanya di media sosial, yang bisa berdampak pada kekerasan terhadap perempuan, yang terjadi pada proses kampanye Pemilihan Kepala Daerah-Daerah Khusus Ibukota Jakarta,” tegas pernyataan yang ditandatangani kaum perempuan Indonesia.

Ancaman Pemerkosaan 

Dibawah ini Pernyataan Sikap Perempuan Indonesia Anti Kekerasan:

Pada tanggal 14 Maret 2017 kami mendapati unggahan Sdr. Dwi Ardika (yang diduga diunggah pada tanggal 12 Maret 2017) yang diantaranya berbunyi:

“Intinya yg dukung ahok tu goblok dan gk bermoral halal darahnya dibunuh dan halal jga kalau wanita diperkosa rame-rame…” (diunduh dari laman FB)

Ujaran di atas secara jelas menyatakan, wanita halal diperkosa beramai-ramai, telah merendahkan martabat perempuan sebagai ciptaan Tuhan, bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika, serta dapat berdampak pada stereotyping/pelabelan, stigma, diskriminasi, kekerasan, dan kebencian terhadap perempuan. Lebih jauh, ujaran ini dan sejenisnya, dapat berdampak pada terjadinya konflik.

Perkosaan adalah serangan seksual  yang ditujukan pada bagian tubuh dan seksualitas perempuan, yang mengakibatkan kehancuran dan integritas  tubuh perempuan. Perkosaan bertujuan untuk menimbulkan rasa takut, mempermalukan, merendahkan dan melukai masyarakat. Dalam konteks konflik, perkosaan digunakan sebagai alat untuk menaklukan, menghukum dan alat teror untuk melemahkan pihak lawan. Hal ini terjadi karena perempuan kerap diposisikan sebagai objek seksual, objek pengaturan, dan objek ekspresi kuasa oleh kekuasaan maskulin- patriarkhi.

 Oleh sebab itu, kami, Perempuan Indonesia Anti Kekerasan, menyatakan:

 Diskriminasi terhadap perempuan dan kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang bertentangan dengan hukum Indonesia, di antaranya UUD 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik; dan UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk-Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).

 Ujaran-ujaran kebencian (hate-speech) terhadap perempuan merupakan tindakan yang sangat berbahaya yang bertentangan dengan hukum Indonesia; yang merendahkan martabat perempuan sebagai ciptaan Tuhan, bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika; serta dapat berdampak pada stereotyping/pelabelan, stigma, diskriminasi, kekerasan, dan kebencian terhadap perempuan. Lebih jauh, ujaran ini dan sejenisnya, dapat berdampak pada terjadinya konflik.

Menuntut Negara, khususnya Bapak Presiden RI, Ir. Joko Widodo beserta seluruh jajarannya, untuk secara proaktif merespon serius adanya dan/atau ditemukannya ujaran-ujaran kebencian (hate-speech) terhadap perempuan; menindak tegas pelaku; dan mengantisipasi serius kemungkinan terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam konstelasi politik yang berlangsung.

Mendukung dan menuntut Kepolisian RI, untuk menindaklanjuti laporan kami dan melaksanakan Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate-Speech), tanggal 8 Oktober 2015, dalam hal ini terkait dengan aspek gender dan jenis kelamin perempuan, yang dapat berakibat pada tindak diskriminasi, kekerasan, dan/atau penghilangan nyawa.

Menyerukan kepada seluruh elemen Bangsa Indonesia, laki-laki dan perempuan, untuk bersatu padu menyelamatkan proses demokrasi dari segala bentuk teror dan kekerasan yang menggunakan tubuh dan seksualitas perempuan.

Pernyataan diatas dibuat oleh berbagai pihak seperti :

  • Institut Perempuan
  • Peace Women Across the Globe Indonesia
  • LBH APIK Jakarta
  • Indonesia untuk Kemanusiaan (IKA)
  • KAPAL PEREMPUAN
  • KePPaK Perempuan
  • Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia
  • Yayasan Kalyanamitra
  • Gerakan Pemuda Dayak (GERDAYAK)
  • Lentera Sintas
  • Single Moms Indonesia
  • Seperti Pagi Foundation
  • PBHI-Jawa Tengah, Semarang.
  • Perkumpulan Praxis ( LSM Kebudayaan, Jakarta)
  • ANBTI ( Nia Syarifudin dan Ellen Pitoi)
  • Komunitas Tanah Baru – DEPOK.
  • Ardhanary Institute ( Jakarta)
  • Amnesti International (Indonesia)
  • Org (Indonesia).
  • Kiprah Perempuan ( Yogyakarta)
  • JKLPK Indonesia
  • Suara Perempuan Peduli
  • Yayasan PULIH
  • Personal Growth
  • Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  • Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta)
  • Perkumpulan Pendidikan Pendampingan untuk Perempuan dan Masyarakat (PP3M) – DKI Jakarta
  • Habibie Centre
  • InspirasiID
  • Pergerakan Sarinah

Dukungan juga didapat dari ribuan individu dari berbagai kalangan aktivis seperti Ita Fadia Nadya, Valentina Sagala, Helga Worotitjan, Pratiwi Febry, Alissa Wahid (Psikolog & Aktivis), Alit Ambara ( Perupa, Yogyakarta),  Anung Nurachmi ( Aktivis, Jakarta), Ayu Diasti Rahmawati (Dosen UGM, Yogyakarta), Baby Jim Aditya (Psikolog & Aktivis HIV-AIDS), Bernada Rurit (Pengusaha Kuliner), Caroline J. Monteiro (Aktivis Perempuan), Damairia Pakpahan (Aktivis perempuan, Sleman-Yogyakarta), Delima Kiswanti ( Accountant, Jakarta), Dhyta Caturani ( Aktivis Perempuan, Jakarta), Dr.Phil.Arie Setyaningrum, MA ( Dosen Sosiologi UGM, Yogjakarta), Dinah Katjasungkana ( LBH APIK-Jawa Tengah), Dolorosa Sinaga ( Pematung, Jakarta), Dorita Setiawan (Columbia University), Erika Siluq (Notaris & Aktivis), Esthu Fanani (Aktivis Perempuan), Evie Permata Sari (Konselor), Faiza Mardzoeki (Penulis Drama, Yogyakarta), Herry Anggoro Djatmiko (Guru, Batang, Jawa Tengah), Irawan Karseno ( Dewan Kesenian Jakarta), Irina Dayasih ( Pekerja Kemanusiaan, Jakarta), Dr. Kartini Syahrir (Antropolog), Kasandra Putranti (Psikolog Klinis Forensik), Kencana Indrishwari (Aktivis Perempuan dan Anak), Lelyana Santoso ( Pengacara, Jakarta), Linda Theresia (Advokat), Lilik HS ( KKPK, Jakarta), Mia Olivia (Komnas Perempuan), Melly Setiawati ( Aktivis perempuan), Mimi Korwel ( Aktivis Kemanusiaan, Jakarta), Nong Darol ( Aktivis Perempuan, Jakarta), Novita Bunjamin (Survivor’s Forum), Ria Gembel (Ibu Rumah Tangga, Jakarta), Rena Herdiyani (Bekasi), Roy Tjiong ( Dokter, Jakarta), Roma Sinaga (Aktivis perempuan, Jakarta), Rosalinda Tumbelaka (Aktivis), Sabrina T. Fitranty (Aktivis), Saras Dewi (Dosen Filsafat, Universitas Indonesia),Shanti Parhusip ( Aktivis, Jakarta), Siauw Tiong Djin ( Peneliti Universitas Monash, Melbourne), Sinnal Blegur ( Aktivis Kemanusiaan, Jakarta), Sulistyowati Ohnio (Ahli Penyakit Dalam RS Omni, Alam Sutra), Syafira Hardani (Aktivis perempuan), Prof. Saparinah Sadli (Akademisi,Jakarta), Prof. Sulistyowati Irianto (Dosen Universitas Indonesia), Tini Hadad, Uchicowati ( Aktivis Kemanusiaan, Jakarta), Vitae (Srikendes & Teen Feminist), Dr.Yeri Wiryawan ( Dosen, Yogyakarta), Fr. Yohanna Tantria ( Aktivis perempuan), Zumrotin (Yayasan Kesehatan Perempuan) (Web Warouw)

 

 

 

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru