Minggu, 13 Juli 2025

Aset Negara Banyak Dianggurin, Bukan Hanya Aset Individu

Keberadaan Undang-Undang Migas No. 22/2001 menyebabkan negara kesulitan mengelola aset cadangan migas di Natuna dan Masela sehingga spai saat ini tidak membawa manfaat. Dr. Kurtubi, Alumnus CSM, IFP dan UI. Ketua Kaukus Nuklir Palemen 2014 – 2019 menyorotinya untuk pembaca Bergelora.com. (Redaksi)

Oleh: Dr. Kurtubi

APA yang disampaikan oleh Bu Menteri Keuangan Dr. Sri Mulyani Indrawati tentang banyaknya aset rakyat yang dibiarkan menganggur tidak produktif adalah BENAR adanya.

Namun, tidak hanya rakyat yang banyak membiarkan asetnya nganggur sampai berpuluh-puluh tahun, seperti lahan kosong, rumah dan bangunan kosong, dan sebagainyanya. Kalau di Amerika hampir tidak ada aset yang dibiarkan nganggur tidak produktif. Dikemukakan oleh Menteri Keuangan, bahwa hal seperti ini yang membedakan negara industri maju dengan negara berkembang.

Tapi ternyata pemerintah juga membiarkan aset milik negara yang bernilai miliaran dollar dibiarkan nganggur, tidak dimanfaatkan, tidak dikembangkan, tidak dimonetasi selama setidaknya lebih dari 25 tahun bekakangan ini.

Contoh aset harta milik negara yang dibiarkan nganggur adalah asset yang berupa Proven Reserves (cadangan terbukti) gas yang terletak di Natuna Utara dan juga yang terletak di Masela Maluku Tenggara.

Gas di Natuna Utara

Gas di Natuna Utara proven reserves nya sekitar 50 tcf. Mestinya harta ini bisa dikembangkan untuk menciptakan lapangan kerja, menaikkan penerimaan negara dan mensejahterakan rakyat. SDA Migas ini bisa segera dikembangkan menjadi Kawasan Industri Petrokimia Berbasis Gas.

Agar industrinya efisien, listriknya disiapkan dengan menggunakan listrik yang biaya produksi per/kwh nya (LCOE – Levelized Cost of Electricity) murah lebih murah dari listrik PLTU Batubara yang kotor banyak menghasilkan emisi karbon dan pollutant.

Listrik yang memenuhi kriteria ini adalah listrik dari Energi Nuklir (PLTN) Generasi ke 4. Selain PLTN canggih ini menghasilkan listrik bersih bebas emisi karbon, non intermitten bisa nyala 24 jam dan aman.

Kandungan CO2 yang besar, bisa diproses menjadi produk petrokimia seperti methanol dan lainnya dan juga berpeluang untuk dimanfaatkan dalam mendukung proses EOR (enhanced oil recovery) guna meningkatkan produksi lapangan-lapangan minyak tua di Sumatra, apabila EOR Surfaktant tidak bisa berjalan.

Sedangkan kandungan Gas C1 dan C2 diproses menjadi LNG atau produk lain, gas C3 dan C4 diproses menjadi LPG atau produk lain. Ini perlu Inovasi Teknologi !

Lha wong China saja sangat kepingin untuk menguasainya. China sengaja membuat sendiri garis batas kedaulatannya dengan “nine dash line” di Laut China Selatan dan ditumpang tindihkan dengan ZEE Natuna Utara milik RI dimana cadangan gas itu berada.

ZEE RI di wilayah Natuna Utara sudah diakui oleh PBB berdasarkan Hukum Laut Internasional (UNCLOS). Sementara klaim China di Natuna Utara tidak sesuai dengan Hukum Laut Internasional dan tidak diakui oleh PBB sampai hari ini. Tapi tetap saja China berulang-ulang mengerahkan kapal-kapalnya di wilayah yang mereka klaim dengan menggunakan dalil “nine dash line”

Cadangan Gas Masela

Cadangan gas besar di Masela hingga hari ini oleh Pemerintah masih dibiarkan nganggur. Sudah sekitar 20 tahun, Pemerintah/ESDM sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan berdasarkan UU Migas No.22/2001 menunjuk Inpex (bukan Pertamina) untuk mengembangkannya.
Meski yang telah terbukti berhasil mengembangkan cadangan gas besar dengan membangun pabrik LNG di Arun dan Badak TANPA pakai dana APBN, dan diexport dengan formula harga jual yang scientific, fair dan saling menguntungkan, adalah Pertamina.

Faktanya hingga hari ini kedua asset cadangan gas besar di Natuna dan Masela, apapun alasannya dibiarkan nganggur dan MACET.

Ditengah begitu besarnya cadangan gas nasional yang dibiarkan nganggur puluhan tahun, malah tiba-tiba ada berita yang sangat LUCU! Diberitakan bahwa PT Pertamina (Persero), karena membutuhkan LNG, telah menandatangani Kontrak IMPORT/Pembelian LNG Jangka Panjang dari Mozambik jauh-jauh dari Afrika.

Lebih lucu lagi, kemudian ternyata belakangan kontrak bisnis jual beli LNG dari Mozambik tersebut ujug-ujug dibatalkan sendiri secara sepihak oleh Pertamina.

Kedua kasus dimana Negara terbukti gagal mengembangkan dan memonetasi aset nyata yang berupa cadangan gas besar, yang sampai sekarang tetap dibiarkan nganggur.

Ditambah dengan terkuaknya Kontrak IMPORT PEMBELIAN LNG dari Mozambik oleh PT Pertamina (Persero), yang kemudian DIBATALKAN nya sendiri.

Fakta-fakta di atas adalah merupakan bagian dari bukti bahwa negara kita SALAH didalam mengelola harta aset SDA Migasnya, yang memakai payung hukum UU Migas No. 22/2001. Sudah terbukti secara empirik sudah sangat merugikan negara.

Selain dalam bentuk nganggurnya aset cadangan gas, juga undang-undang ini menjadi penyebab dari rendah dan terus turunnya produksi minyak nasional selama dua dekade, dari sekitar 1.5 juta bph menjadi habya sekutar 700 ribu

1.5 juta bph menjadi hanya sekitar 700 ribu bph yang menyebabkan terjadinya defisit neraca perdagangan migas bertahun-tahun secara permanen.

Kesalahan terbesar dari undang-undang ini adalah memindahkan Kuasa Pertambangan dari Perusahaan Negara yang dibentuk dengan undang-undang dipindahkan ke Pemerintah/ESDM yang sebenarnya TIDAK ELIGIBLE untuk memegang Kuasa Pertambangan. Ini berakibat Pemerintah/ESDM harus MENUNJUK Pihak ketiga menyebabkan sistem perminyakan nasional menjadi tidak efisien, berbelit-belit birokratik, tidak investor friendly dan MELANGGAR Konstitusi.

Sebagai catatan, Kuasa Pertambangan adalah wewenang untuk menambang, mengolah dan memenuhi kebutuhan migas masyarakat.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru