Minggu, 15 September 2024

Astaga! Bupati Malinau Serobot Tanah Adat, Kepala Suku Dayak Diintimidasi

JAKARTA- Kecamatan Sungai Boh adalah pecahan dari Kecamantan Kayan Hulu pada tahun 2004 di Kalimatan Timur. Saat ini menjadi bagian dari Kalimatan Utara. Kecamatan Sungai Boh sangat kaya sumberdaya alam berupa emas. Masyarakat suku Dayak Punan sebanyak 23 kepala keluarga dan Dayak Kenya sebanyak 1.000 Kepala Keluarga secara turun temurun telah melakukan penambangan emas secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini disampaikan kepada Bergelora.com di Jakarta, Minggu (9/10) oleh perwakilan masyakat adat Suku Dayak Punan dan Dayak Kenyah, John Belitaw, Mardi dan Mathius Lah didampingi oleh Andreas Lawing dari Lembaga Adat Besar Dayak Kalimantan Timur.

“Belakangan disinyalir, tambang emas rakyat ini mulai dilirik pengusaha besar. Selain itu, dengan terbukanya jalan, daerah ini dikenal dan didatangi orang luar daerah untuk melakukan penambangan tradisional,” demikian Andreas Lawing kepada Bergelora.com

Ia menjelaskan, pada tahun 2011, ribuan orang melakukan penambangan di Kiau Kaca Tengah, desa Long Top, Kecamatan Sungai Boh Kabupaten Malinau, yang saat ini menjadi bagian dari Provinsi Kalimatan Utara.

“Pemerintahan Bupati Yansen TP kemudian membentuk Tim Terpadu yang terdiri dari satuan Polri, satuan TNI dan Satpol PP. Tim terpadu kemudian menghalau tambang rakyat dengan menggunakan Brimob dan Satpol PP pada tahun 2012,” jelasnya.

John Belitaw menjelaskan, saat itu aparat Brimob membakar peralatan tradisonal milik rakyat dan menduduki lahan pertambangan. Masyarakat Suku Dayak Punan dan Dayak Kenya sempat melapor ke Komnasham atas perlakuan pemerintah Kabupaten Malinau dan aparat TNI Polri.

“Komnasham menjanjikan untuk mengurus persoalan kekerasan tersebut,” ujarnya.

John Belitaw menceritakan beberapa waktu lalu, sebagai Kepala Adat Suku Punan, yang tinggal di desa Long-Top, Kecamatan Sungai Boh, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara dirinya dipanggil sebagai saksi oleh Polres Malinau atas kasus penertiban penambang bernama Cawak dari Kalimatan Tengah dan Amat dari Kalimatan Selatan.

“Hari pertama diminta saya diminta keterangan. Hari kedua  saya sudah dituduh membacking sekaligus penambang liar. Saya diintimidasi dan dijadikan tersangka oleh penyidik Polisi bernama Rohani,” ujarnya.

Hari ketiga John Belitaw dipaksa menandatangani surat pernyataan. Dalam surat itu John Belitaw selaku kepala adat diminta untuk menghentikan penambangan rakyat di Kiau Kaca Tengah, Desa Long Top, Keamatan Sungai Boh, Kabupaten Malinau.

“Saya diminta bekerjasama dengan aparat pemerintah. Keluarga  suku Dayak Punan dan suku Dayak Kenyah dilarang menambang di daerah tersebut. Aktivitas penambangan rakyat secara keseluruhan harus dihentikan,” katanya.

Surat tersebut dibikin oleh aparat penyidik Polres Malinau dan dipaksakan agar John Belitaw menandatangani di atas materai pada tanggal 3 Oktober 2016 di Polres Malinau.

“Padahal masyarakat Suku Punan dan Suku Kenya sehari-hari mengadu nasib secara turun temurun menambang secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga,” ujarnya.

Padahal menurut Andreas Lawing, penambangan yang dilakukan oleh suku Dayak Punan dan Kenyah ini dijamin oleh Peraturan Daerah (Perda) Malinau Nomor 10/2012 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat Di Kabupaten Malinau yang ditandatangani oleh Bupati Malinau, Yansen TP pada 3 Oktober 2012.

Hal ini diperkuat juga sebelumnya oleh Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Kalimatan Timur Nomor 1/2015 Tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Di Provinsi Kalimantan Timur yang ditandatangani Gubernur Kalimantan Timur, DR. H. Awang Farouk Ishak pada 31 Agustus 2015.

Lebih tinggi lagi hak rakyat Suku Dayak Punan dan Suku Dayak Kenya ini kemudian dilindungi oleh Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No 10/2016 Tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat Dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu, yang ditandatangani oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Ferry Mursyidan Baldan pada tanggal 21 Maret 2016.

“Dengan demikian tindakan aparat kepolisian dari Polres Malinau yang mentersangkakan John Belitaw dan mengintimidasi termasuk memaksakan surat pernyataan tersebut tidak memiliki dasar hukum,” ujarnya.

Ia juga menegaskan, pelarangan dan penghentian penambangan rakyat di Kaca Tengah, Desa Long Top, Kecamatan Sungai Boh, Kabupaten Malinau, tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang dikeluarkan oleh Pemeritah Kabupaten Malinau, Pemerintahan Propinsi Kalimantan Timur dan Pemerintahan Republik Indonesia.

“Saat ini masyarakat Suku Dayak Punan dan Suku Dayak Kenya di Kecamatan Sungai Boh kecewa dengan penghentian penambangan rakyat tersebut. Karena kehilangan mata pencarian sehari-hari yang dijamin oleh Undang-Undang No 39/1999 tentang Hak Azasi Manusia,” tegasnya.

Mathius Lah menjelaskan saat ini Suku Dayak Punan dan Suku Daya Kenyah menuntut agar hak pengelolaan lahan tambang dikembalikan kepada warga suku Dayak yang sudah turun temurun hidup dari penambangan emas di Kaca Tengah, Desa Long Top, Kecamatan Sungai Boh.

“Masyarakat juga menuntut agar pemerintah dan aparat kepolisian menghentikan intimidasi pada warga Dayak Punan sebanyak 23 kepala keluarga dan Dayak Kenyah sebanyak 1.000 Kepala Keluarga yang berhak atas daerah adat,” tegasnya. (Web Warouw)

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru