JAKARTA- RUU Anti Terorisme akan sangat berbahaya dan menjadi buah simalakama. Ada yang merindukan agar dapat dipakai sebagai obat mujarab untuk memberantas terorisme, tapi pada saat bersamaam ada yang yang dapat menggunakan RUU sebagai alat untuk menggulingkan pemerintah yang sah. Hal ini ditegaskan oleh Hal ini ditegaskan oleh Laksda (Purn) Soleman B. Ponto, ST, MH, Mantan Kepala Badan Intelejen Strategis, kepada Bergelora.com di Jakarta, Jumat (18/5) di Jakarta.
“Dengan perkiraan kondisi seperti itu, saya menyarankan agar RUU Tindak Pidana jangan disahkan dulu. Kalaupun akan disahkan maka pasal 43 C dan 43 D agar dihapus,” tegasnya
Ia menegaskan sehubungan dengan akan disahkannya RUU Undang-Undang Anti Teroris, maka dirinya merasa perlu untuk menyampaikan beberapa hal penting. “Sebagai konsekuensi dari RUU yang telah disahkan menjadi Undang-undang, maka setiap pasal yang ada didalamnya akan berkaitan satu dan lainnya,” tegasnya.
Ponto menjelaskan ada 3 (tiga) pasal yang perlu mendapat perhatian, yaitu Pasal 28 dan pasal 43 C dan pasal 43 D ayat (2) huruf f.
Pasal 28 berbunyi : 1) Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup dalam waktu paling lama 14 (empat belas ) hari. 2) Dalam hal waktu penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak cukup, penyidik dapat mengajukan permohonan perpanjangan penangkapan kepada Kejaksaan Agung paling lama 7 (tujuh) hari.
“Artinya, bahwa bila penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup atas pelanggaran terhadap perbuatan yang diatur dalam pasal-pasal yang ada didalam Undang-undang ini, maka Penyidik dapat melakukan penangkapan selama 14 + 7 = 21 hari,” jelasnya
Pada Pasal 43 C berbunyi : Kontra Radikalisasi merupakan suatu proses terencana, terpadu, sistimatis dan berkesinambungan yang dilaksanakan terhadap orang atau kelompok orang yang rentan terpapar paham radikal terorisme yang dimaksudkan untuk menghentikan penyebaran paham radikal terorisme.
Menurutnya bunyi pasal ini sangat subyektif karena siapa orang yang rentan terpapar paham radikal terorisme? Bagaimana menentukan bahwa sesorang itu rentan papar atau atau apa tolok ukur menyatakan bahwa sesorang “Rentan terpapar” ?
“Apakah Janggut panjang, sorban, celana cingkrang, berjilbab, bercadar dapat dikatakan rentan terpapar paham radikal terorisme ? Apa yang disebut paham radikal terorisme?” katanya.
Sampai hari ini menurutnya, stikma paham radikal terorisme adalah radikal islam. Maka yang rentan terpapar paham radikal terorisme adalah umat Islam. Oleh karena tidak ada tolok ukur rentan terpapar, maka penyidik secara sepihak dapat menentukan bahwa seseorang itu ‘Rentan Terpapar’ atas paham radikal terorisme sehingga wajib mengikuti ‘Proses Kontra Radikal’.
“Janggut panjang, sorban, celana cingkrang, berjilbab, bercadadar dapat digunakan penyidik sebagai bukti rentan terpapar paham radikal terorisme,” ujarnya.
Atas nama pasal tersebut menurut Ponto, orang yang telah ditentukan secara sepihak itu ‘wajib’ mengikuti Proses Kontra Radikalisasi. Bila orang itu menolak, maka orang itu telah melanggar pasal 43 C Undang-undang Terorisme, sehingga Penyidik dapat Melakukan Penangkapan selama 21 hari sebagaimana yang diatur pada pasal 28 Undang-undang Terorisme.
“Jadi terlihat jelas, dengan menggunakan pasal 43 C ini, Penyidik menjadi sangat berkuasa. Penyidik dapat menentukan seenaknya sendiri orang-orang yang rentan terpapar paham radikal terorisme. Dan orang yang telah ditentukan itu walaupun merasa tidak rentan terpapar paham radikal terorisme, namun wajib mengikuti Proses Kontra Radikalisasi itu,” jelasnya.
Bila orang itu menolak maka menurutnya atas nama pasal tersebut, maka penolakan itu dapat digunakan penyidik sebagai bukti untuk menangkap orang itu berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pasal 28.
Pasal 43 D ayat (2) huruf f berbunyi: Deradikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan kepada : f. Orang atau sekelompok orang yang sudah terpapar paham radikal terorisme.
Ponto menjelaskan, kalau pada pasal 43 C, proses Kontra radikal untuk orang-orang yang rentan terpapar, maka pada pasal 43 D ini ditujukan kepada orang-orang yang sudah terpapar paham radikal terorisme.
“Jadi, penyidik dapat secara sepihak menentukan bahwa orang yang berjanggut panjang, bersorban, bercelana cingkrang, berjilbab, bercadar dapat dikatakan telah terpapar paham radikal terorisme,” katanya.
Ia menegaskan, jelas sekali bahwa gabungan dari pasal 28, 43 C dan 43 D huruf f telah membuat penyidik menjadi superman. Penyidik dapat seenak sendiri menentukan orang-orang yang wajib mengikuti program Kontra Radikalisasi dan Deradikalisasi.
“Orang-orang yang merasa tidak bersalah itu tidak bisa melawan, karena bila mereka membangkang, maka Penyidik dapat menangkap mereka berdasarkan pasal 28,” jelasnya.
Reaksi Oposisi
Soleman Ponto mengingatkan tahun ini adalah tahun politik, maka ketika RUU ini disahkan, lawan politik pemerintah pasti akan bereaksi. Mereka akan menuduh bahwa RUU ini ditujukan untuk melumpuhkan mereka. Hal itu disebabkan karena Keleluasan dan kekuasan penyidik begitu besar.
“Tuduhan dari pihak-pihak tertentu bahwa Pemerintah saat ini anti Islam akan terkonfirmasi lewat pasal-pasal di atas. Karena orang yang rentan maupun yang telah terpapar paham radikal terorisme saat ini yang terbayak adalah orang yang beragama islam,” ujarnya.
Dengan kondisi yang demikian ini, maka menurutnya pengesahan RUU akan menjadi Bumerang bagi pemerintah. Pemerintah akan dicap sebagai pemerintah yang otoriter.
“Seruan agar umat islam bersatu untuk melawan pemerintah pasti akan dikumandangkan. Undang-Undang ini akan dinyatakan sebagai alat pemerintah untuk menghancurkan aktivis islam. Kegaduhan politik tidak akan terhindarkan,” ujarnya,” ujarnya. (Web Warouw)