JAKARTA – Potensi minyak dan gas (Migas) di Maluku tidak hanya lapangan minyak Bula di Kabupaten Seram Bagian Timur yang sudah dieksploitasi sejak zaman Belanda, tetapi hampir di semua wilayah di Maluku dan Maluku Utara. Bahkan di Propinsi Maluku setidaknya ada 25 Blok Migas, termasuk Blok Masela, Blok Babar Selaru dan masih banyak lagi.
Hal ini diungkapkan Direktur Archipelago Solidarity Foundation, Dipl.- Oek. Engelina Pattiasina kepada pers di Jakarta, Sabtu (27/2).
“Kalau saja kekayaan ini dapat dimanfaatkan secara baik, maka hampir pasti Maluku akan keluar dari kemiskinan yang saat ini ada di peringkat 4 terbawah sebagai daerah termiskin,” kata Engelina.
Menurut dia, tidak hanya Maluku tapi seluruh kawasan timur Indonesia yang selama ini identik dengan daerah termiskin di Indonesia merupakan penghasil migas. Seperti halnya Blok Tangguh di Bintuni Papua yang sangat kaya dengan Migas.
“Tetapi seharusnya kekayaan alam tersebut dikelola di Papua agar memberikan dampak ekonomi yang berlipat ganda dan bisa mempengaruhi kehidupan di Papua. Jangan hanya sekadar dikirim ke luar Pulau. Ini yang saya kira tidak boleh terjadi di Maluku,” tukasnya.
Dalam konteks Maluku, kata dia, meski penghasil minyak, Seram Bagian Timur ada di urutan ke delapan termiskin di Maluku. Sama seperti Kepulauan Aru yang merupakan penghasil mutiara terbesar di dunia, tetapi tidak memberikan dampak apapun kepada masyarakat sekitar, karena kepualauan Aru merupakan daerah miskin di Maluku.
“Artinya mutiara hanya dibawa keluar kepulauan Aru, keluar dari Maluku untuk memberikan dampak ekonomi di tempat lain, bukan untuk warga sekitar. Praktek seperti begini tidak boleh dibiarkan, karena sangat merugikan Maluku,” cetusnya.
Lebih jauh Engelina mengatakan, bahwa kontribusi minyak Bula bagi masyarakat Maluku sangat minim.
“Saya berani katakan tidak ada. Jangankan untuk rakyat Maluku, terlalu luas. Kontribusi untuk rakyat di Bula saja tidak jelas. Melihat angka Produk Domestik Regional Brutto (PDRB) Maluku yang belum lama ini dirilis oleh BPS, tampak bahwa kontribusi sektor tambang dan galian sangat kecil terhadap Pertumbuhan Ekonomi Maluku,” tandasnya
Kepada Bergelora.com dilaporkan, menurut Engelina, tidak perlu melihat angka statistik, karena secara kasat mata bisa dilihat kalau Bula tidak berbeda dengan daerah lain yang tidak memiliki kekayaan minyak.
“Saya ke Bula dan masih ada pompa yang mengangguk-angguk. Itu dari dulu sampai sekarang. Mereka hanya keruk minyak dari Bula untuk dibawa ke tempat lain, rakyat Bula hanya jadi penonton,” tambah putri salah satu pendiri Pertamina, JM Pattiasina ini.
Mungkin saja, kata dia, ada kontribusi dana dan sebagainya, tetapi kenyataannya kehidupan rakyat tidak berubah jadi tidak ada gunanya. Justru masyarakat harus menanggung dampak kerusakan lingkungan.
“Yang benar seharusnya minyak Bula diolah di Bula, sehingga masyarakat sekitar bisa menikmatinya, kalau ada kelebihan dikirim ke daerah lain di Maluku. Nanti kalau ada lebih lagi baru dikirim ke luar Maluku. Jika seperti itu maka akan muncul pusat pertumbuhan ekonomi baru di Bula, Seram dan Maluku,” paparnya.
“Jadi rakyat bisa menikmati kontribusi langsung dan tidak langsung dari keberadaan minyak Bula. Kalau sekarang, minyak diambil dan dikirim ke luar Seram,” lanjut Engelina.
Menurut dia, sebenarnya kehidupan rakyat Bula dan Seram akan sangat baik, jika minyak itu dikelola dengan memperhatikan kepentingan rakyat setempat.
“Logikanya kalau tidak menguntungkan, berarti sudah lama Bula ditinggalkan, tapi ternyata eksploitasi minyak di sana masih jalan sampai saat ini,” ucapnya.
Ia menyebutkan, bahwa kesalahan yang terjadi dalam pengelolaan minyak Bula adalah karena dikelola seperti zaman kolonial yang tidak perlu peduli dengan rakyat setempat, karena semangatnya eksploitasi dan ekspansi.
“Padahal kalau Pasal 33 UUD 1945, kekayaan alam harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Yang menjadi pertanyaan rakyat yang mana, karena kekayaan alamnya ada di Bula tetapi rakyat di Bula tetap miskin,” tukasnya.
“Minyak Bula justru memakmurkan rakyat di tempat lain. Ini seperti ada pengingkaran terhadap konstitusi. Kalau praktek ini terus berlanjut, maka kita hanya akan menumpuk perasaan ketidakadilan,” tutup Engelina.(Calvin G. Eben-Haezer)