JAKARTA- 100 tokoh, akademisi dan aktivis turut serta dalam Seruan Moral Kebhinekaan. Mereka mempertanyakan banyak tokoh agama dan aktivitas keagamaan di serang? Kenapa tiba-tiba banyak orang yang diduga mengalami gangguan jiwa melakukan penyerangan?
“Situasi kemajemukan kita terus memburuk sejak awal 2018 ini. Kami berpikir kita perlu memberikan seruan moral agar negara: Presiden, Kapolri, dan aparat terkait bekerja nyata, tidak melulu berujung pada pernyataan, karena tugas aparat negara adalah bekerja melindungi warga negara,” demikian Hendardi Ketua Setara Institute kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (20/2).
Menurutnya, sebagian tokoh ada yang mengaitkan dengan Pilkada atau jelang Pilpres 2019. Tapi apapun motivasinya, faktanya kemajemukan terganggu.
Dibawah ini Seruan Moral Kebhinekaan oleh 100 tokoh Indonesia:
Hari-hari ini kebangsaan kita sedang diuji. Kita saksikan rajutan kebhinekaan Indonesia berada dalam gangguan serius. Berbagai kasus kekerasan bernuansa agama yang marak pada awal tahun ini di berbagai daerah dalam bentuk serangan fisik terhadap tokoh-tokoh berbagai agama dan persekusi terhadap minoritas keagamaan, dan banyak dimensi lain dari kekerasan yang terjadi, menunjukkan adanya ancaman serius terhadap kebhinekaan. Ikatan kebangsaan yang dibangun oleh para pendiri Negara-bangsa sedang dalam pertaruhan.
Republik Indonesia sejak kelahirannya dirancang oleh para pendirinya, para pendahulu kita, untuk menjadi negara pluralis, negara bhinneka yang inklusif lagi toleran, negara “satu untuk semua, semua untuk satu”, negara “Bhinneka Tunggal Ika”. Oleh karena itu menjaga dan memperjuangkan kebhinekaan agar tetap menjadi warna dan nuansa Republik, merupakan kewajiban dan tanggung jawab kita semua sebagai pewaris Indonesia merdeka. Membiarkan intoleransi, diskriminasi, persekusi, dan segala ancaman atas kebebasan beragama/berkeyakinan sebagai salah satu ruh kebhinekaan nyata-nyata merupakan pengkhianatan atas amanat kebangsaan yang dimandatkan kepada kita sebagai penerus dan pengisi kemerdekaan Indonesia.
Perkembangan terkini di tengah-tengah Republik mestinya menggugah kita semua untuk mencurahkan perhatian lebih bagi upaya menjaga dan memperjuangkan kebhinekaan sebagai jati diri kebangsaan Indonesia. Berkaitan dengan itu, kami menyampaikan 6 seruan moral sebagai berikut.
1. Merawat, menjaga dan memperjuangkan kebhinekaan Indonesia pada dasarnya merupakan kewajiban seluruh elemen bangsa dari berbagai latar belakang primordial berbasis suku/etnis, agama, ras, golongan dan daerah. Maka kita semua harus mengeluarkan segenap upaya yang efektif untuk mencegah dan menangani setiap ancaman atas kebhinekaan tersebut.
2. Pemerintahan Negara sebagai pengelola berbagai sumber daya politik hukum dan keamanan harus mengambil tindakan yang tepat lagi professional dalam merespons setiap upaya untuk mengancam kebhinekaan dan memecah belah antar elemen bangsa yang bhineka.
3. Presiden Joko Widodo berulangkali menegaskan bahwa “tidak ada tempat bagi intoleransi di Indonesia” dan “kebebasan beragama merupakan hak setiap warga negara yang dijamin konstitusi”. Maka, standing position Presiden tersebut harus memberikan energi tambahan bagi setiap aparat pemerintahan di bawah kendali Presiden untuk menindak setiap ancaman atas kebhinekaan.
4. Kompetisi di setiap perhelatan politik, termasuk Pemilihan Kepala Daerah secara serentak di 171 daerah pada tahun ini, juga Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden/Wakil Presiden tahun depan, tidak boleh menggunakan cara-cara Machiavelis melalui politisasi agama, kampanye hitam, dan syiar kebencian berbasis sentimen SARA yang dapat mengancam kohesi sosial, kebhinekaan, dan integrasi nasional.
5. Setiap elemen masyarakat, khususnya yang memiliki peran di bidang pendidikan, baik di institusi-institusi pendidikan resmi maupun pendidikan kemasyarakatan juga pendidikan di tingkat keluarga, perlu mengambil peran lebih untuk menanamkan bahwa kebhinekaan merupakan ruh kebangsaan kita, sehingga setiap orang harus memiliki ‘cipta, rasa, dan karsa’ untuk berinteraksi secara damai dalam perbedaan dan keberagaman.
6. Para tokoh dan pemuka agama, sebagai simpul utama spiritualitas-keagamaan dalam dimensi transendental maupun sosial, memiliki peran sentral dalam merawat, menjaga, dan memperjuangkan kebhinekaan dalam kehidupan kebangsaan Indonesia. Oleh karena itu mereka harus memastikan bahwa pendidikan dan pengajaran keagamaan efektif membentuk kepribadian bangsa dan mencegah segala upaya yang dapat memecah-belah antar elemen bangsa dengan menggunakan sentimen-sentimen keagamaan.
Jakarta, 20 Februari 2018
Atas Nama Warga Negara Indonesia
Nampak hadir Seruan Moral Kebhinekaan hari ini diantaranya, Azyumardi Azra, Saparinah, Sadli Musdah Mulia, Sulistyowati Irianto, Haryadi, Mochtar Pabotinggi, Pdt. Wienata Sairin, Robikin Emhas, Abdul Munir Mulkan, Abdul Mu’ti, Franz Magnis-Suseno, HS Dillon Aktivis, Marzuki Darusman, Benny Soesetyo, Pdt. Gomar Gultom, Jeirry Sumampow, Renaldy Damanik,Bikshu Jayamedo, Nurmala Kartini Pandjaitan Sjahrir,Balwath Sigh, Hendardi, Zumrotin, Henny Supolo, Syamsiah Ahmad, J Kristiadi, Muradi, Bivitri Susanti, Ismail Hasani, Halili, Ade Armando, Dian Noerswantari, Titiek Kartika, Pieter George Manoppo, Herlambang P. Wiratraman, Sugeng Teguh Santoso, Luhut MP Pangaribuan, Hendri Saragih, Pinky Saptandari Endang Pratiwi, MaylingOey-Gardiner, Maria Ulfa, Saor Siagian, Khaidir Ali, Donny Gahral Adian, Majda El Muhtaj, Arikhah, Agustina Dewi, Bonar T Naipospos Setara, Andreas Harsono, Syamsul Alam Agus, Yati Andriyani, Sudarto, Sumarsih, John Muhammad Aktivis 98, Erasmus Napitupulu, Emerson Juntho, Ahmad Junaedi, Damar Juniarto Al Araf, Wahyudi Djafar, Nawawi Baharuddin, Usman Hamid, Mufty Maakarim, Haris Azhar, Kaka Suminta, Pipit Rochiyat Kartawijaya, Nia Syarifudin, Rumadi Ahmad Zuhairi Misrawi, Aldrin Situmeang, Sabastian Salang, Neng Dara Affiah, Dolorosa Sinaga, Sekar Pireno, Emmy Hafid, Abdullah Darraz Ma’arif, Titi Anggraini, Totok Yulianto, Muhammad Hafidz, Wawan Gunawan, Palti Panjaitan, Dwi Rubiyanti Kholifah, Rafendi Djamin, Nong Darol Mahmada, Wahyu Susilo, Moegiyanto, Bambang Joedopramono, Abdullah Alamudi, Aboeprijadi Santoso, Despen Ompusunggu, Gun Gun Heryanto, Connie Rahakundini Bakrie, Effendi Gazali, Ray Rangkuti, Bonnie Hargens, Riza Primahendra, Tarlis L, M. Arsyad, Hafidz Prayogi, Harry Pontoh, Rambun Tjahyo, Dwiyanto Prihartono, Robert Keytimu, Petrus Salestinus, Hardi Danuwijoyo, Muna Panggabean, Niluh Djelantik, Hendri Sandra Amelia Moeis, Kencana Indrishwari, Sri Gustini, Caroline J. Monteiro, Valentina Sagala, Damianus Taufan, Witaryono Reksoprojo, Abdurrahman Wahid, Soleh Marzuki, Mike Verawati, Damaria Pakpahan, Dewi Tjakrawinata, Misiyah Institute, Salma Safitri, Listyowati, Maulani A Rotinsulu, Sri Nurhayati, Redy Saputro, Muhammad Saiful Haq, Yudha Irlang, Dete Aliah, Milastri Muzakkar, Suraiya Kamaruzzaman, Farha Ciciek Tanoker, Hikmah Bafaqih, M. Syauqillah, Dian Kartika Sari, Sylvana Apituley, Ratna Batara Munti, Max Ohandi, Erna Suryadi, Mardiah, Dedy Setiarumawan, Rumiyati, Henricus MWP, SoetjahjoReksoprojo, Yuni Sri Rejeki, Ellyah Wijaya, Maya Aprilia, Linda Hamid, Badriyah Fayumi, Trisno S. Sutanto, Adhi Ayoe Yanthy,Ekasari, Syahna Rahmah, Amilia Renita Az, Mardiana, Ernawaty, Sisca Rumondor, Peni Agustini, Wilman Dahlan Mansoer, Lukman S Sriamin, Irina Pendjol, Budiarti, Erasmus Napitupulu, Susianah Affandy, M. Kanang, Helena Liswardi, R. Dhia Prakesha Yoedha, Pujiwati, Rini Harsari, Ermelina Singereta, Johannes Rumeser, Ningsih, Wien Damona, Livia Iskandar, Helga Worotitjan, Sulistyani, Djoko Kusumowidagdo,Yus Mashfiyah, Lucia Wenehen, Inawati, Kanisius Rarih, FR. M. Widyarsono, Bagus M, Wahyudi Suhartono, Melly Setyawati, Andy Lestanto, Wiwid Setya Adi dan Zahra (Web Warouw)