JAKARTA- Presiden Jokowi mempersilahkan masyarakat menggugat Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang MD3, pada 15 Maret 2018 ini ke Mahkamah Konstitusi (MK)
Meskipun tidak ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), Undang-Undang ini telah diundangkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Beberapa poin penting dari Undang-Undang ini di antaranya adalah, pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 7 (tujuh) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MPR, yang dipilih secara musyawarah untuk mufakat.
Dalam hal musyawarah mufakat tidak tercapai, menurut Undang-Undang ini, pimpinan MPR dipilih dengan pemungutan suara.
Undang-Undang ini juga menyebutkan, DPR dalam melaksanakan hak dan wewenang dan tugasnya dapat memanggil setiap orang secara tertulis untuk hadir dalam rapat DPR.
“Setiap orang wajib memenuhi panggilan DPR sebagaimana dimaksud,” bunyi Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang ini.
Dalam hal setiap orang sebagaimana dimaksud tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, menurut Undang-Undang ini, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam hal menjalankan panggilan paksa sebagaimana dimaksud, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menyandera setiap orang untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari,” bunyi Pasal 73 ayat (5) Undang-Undang ini.
Menurut Undang-Undang ini, pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 5 (lima) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR, dalam satu paket yang bersifat tetap, dan dipilih dengan pemungutan suara.
Badan Akuntabilitas Keuangan Negara
Dalam Undang-Undang ini disebutkan, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara yang selanjutnya disingkat BAKN, dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. Susunan dan keanggotaan BAKN ditetapkan oleh DPR pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
“Anggota BAKN berjumlah paling sedikit 7 (tujuh) orang dan paling banyak sesuai dengan jumlah fraksi yang ada di DPR atas usul fraksi yang ditetapkan dalam rapat paripurna pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang,” bunyi Pasal 112B ayat (2) Undang-Undang ini.
Adapun pimpinan BAKN, menurut Undang-Undang ini, merupakan satu kesatuan yang bersifat kolektif dan kolegial, terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua yang ditetapkan dari dan oleh anggota BAKN.
“Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, wewenang, dan mekanisme kerja BAKN diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib,” bunyi Pasal 112G Undang-Undang No. 2/2018 ini.
Mahkamah Kehormatan Dewan
Undang-Undang ini menyebutkan, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) melaksanakan fungsi: a. pencegahan dan pengawasan; dan b. penindakan.
Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud, MKD bertugas antara lain: mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Pasal 224 Undang-Undang ini menyebutkan, anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR atau di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
Selain itu, anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan, kegiatan di dalam rapat DPR atau di luar rapat DPR yang semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau anggota DPR.
Anggota DPR, menurut Undang-Undang ini, juga tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
“Pemanggilan dan permintaan keterangan anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden serta setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan,” bunyi Pasal 245 Undang-Undang No. 2 Tahun 2018 itu.
Menurut Undang-Undang ini, persetujuan tertulis tidak berlaku apabila anggota DPR: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau c. disangka melakukan tindak pidana khusus.
Pasal 424 Undang-Undang ini menyebutkan, peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Selain itu, menurut Undang-Undang ini, pada saat undang-undang ini berlaku, pimpinan MPR dan DPR yang berasal dari fraksi yang sedang menjabat tetap melaksanakan tugasnya sampai berakhirnya periode keanggotaan MPR dan DPR hasil pemilihan umum Tahun 2014.
Penambahan wakil ketua MPR sebagaimana dimaksud diberikan kepada partai yang memperoleh suara terbanyak di DPR dalam pemilihan umum tahun 2014 urutan ke-1 (satu), urutan ke-3 (tiga), serta urutan ke-6 (enam), dan penambahan wakil ketua DPR diberikan kepada partai yang memperoleh suara terbanyak di DPR dalam pemilihan umum Tahun 2014 urutan ke-1 (satu).
“Ketentuan mengenai jumlah dan mekanisme penetapan pimpinan MPR dan DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 15, Pasal 84, Pasal 427A berlaku sampai berakhirnya masa keanggotaan MPR dan DPR hasil pemilihan umum Tahun 2014,” bunyi Pasal 427B ayat (1) Undang-Undang ini.
Adapun susunan dan mekanisme pemilihan pimpinan MPR masa keanggotaan MPR setelah hasil pemilihan umum tahun 2019 adalah: pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MPR, dalam satu paket yang bersifat tetap, dipilih secara musyawarah dan mufakat. Dalam hal musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, menurut UU ini, pimpinan MPR dipilih dengan pemungutan suara.
Kepada Bergelora.com dilaporkan, sementara susunan dan mekanisme pemilihan pimpinan DPR masa keanggotaan DPR setelah hasil pemilihan umum tahun 2019 adalah: pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPR, dengan ketua DPR adalah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR.
“Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal II Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada 15 Maret 2018 itu. (Calvin G. Eben-Haezer)