Sabtu, 5 Juli 2025

BABAK BARU PERLAWANAN..! Perang Saudara di Myanmar, Pemimpin Junta dan 2 Jenderal ‘Menghilang’

JAKARTA — Sejumlah jenderal militer Myanmar, termasuk pemimpin junta Min Aung Hlaing, dikabarkan ‘menghilang’.
Media Myanmar, The Irrawaddy, melaporkan wakil kepala junta Soe Win tak terlihat di publik selama lebih dari dua pekan terakhir. Dia menghilang di tengah rumor bahwa ia terluka parah akibat serangan drone pada 9 April lalu.

Rumor itu mengemuka setelah pangkalan militer Komando Tenggara di Mawlamyine, negara bagian Mon, diserang dengan drone, 9 April. Orang nomor dua militer Myanmar tersebut saat itu sedang berada di sana untuk mengawasi operasi militer di Kota Myawaddy, negara bagian Karen.

Ketidakhadiran Soe Win dari perayaan Tahun Baru tradisional Myanmar di ibu kota Naypyitaw pun semakin meningkatkan spekulasi mengenai kondisinya. Pasalnya, wakil jenderal senior ini tak pernah melewatkan perayaan tahunan tersebut.

Bukan cuma Soe Win, Min Aung Hlaing bahkan turut abstain dalam perayaan Festival Thingyan di paviliun militer Pyin Oo Lwin, Mandalay. Ia beralasan kakinya sakit dan mengirim istrinya, Kyu Kyu Hia, sebagai pengganti.

Dalam perayaan di Naypyitaw, istri Soe Win, Than Than, juga tidak terlihat. Muncul kecurigaan bahwa ia tak ikut karena sibuk merawat suaminya, seperti dikutip dari The Irrawaddy.

Terhitung, sosok Soe Win tak tampak sejak ia mengunjungi Kota Ba Htoo di negara bagian Shan selatan pada 3 April lalu.

Juru bicara Shar Htoo Waw Technical Force mengatakan seorang komandan taktis, wakil direktur artileri, dan seorang kolonel dan Komando Tenggara tewas seketika imbas serangan.

Dia juga mengatakan Soe Win terluka parah karena tertimpa balok yang jatuh.

Meski ada rumor mengenai kesehatannya, juru bicara junta Mayor Jenderal Zaw Min Tun mengatakan kepada BBC pada 10 April bahwa Soe Win melakukan tugas-tugasnya seperti biasa.

Dia juga mengatakan kepada Voice of America pada 17 April bahwa Soe Win mendapatkan perawatan untuk cedera yang dialami.

Selain masalah kesehatan, Soe Win juga diduga menghilang karena Min Aung Hlaing memecatnya.

Selama lima bulan terakhir, junta mengalami kekalahan berat dan penghinaan sehingga popularitas Min Aung Hlaing merosot. Para pendukungnya pun menyatakan dukungan mereka terhadap Soe Win untuk mengambil alih militer, demikian menurut sumber militer.

Dugaan ini diperkuat dengan kemunculan kabar bahwa pasukan junta menangkap mantan Letnan Jenderal Myint Hlaing di rumahnya akibat dugaan korupsi.

Myint Hlaing adalah rekan dekat wakil kepala junta Maung Aye dan menjabat sebagai menteri pertanian di bawah pemerintahan Thein dan Sein dari 2011-2016.

Dia terkenal karena pernah meminta petani untuk melewatkan satu kali waktu makannya sehari demi menghemat uang untuk membayar kembali pinjaman pertanian kepada mereka.

Myint Hlaing juga dikenal karena menuntut agar anggota USDP dipersenjatai untuk melindungi diri mereka sendiri. Ia meminta demikian saat anggota USDP menjadi sasaran pasukan perlawanan saat awal pemberontakan 2021 lalu.

Kendati begitu, Myint Hlaing juga sering mengkritik Min Aung Hlaing karena terlalu lunak terhadap perlawanan. Para analis menduga hal ini yang menyebabkan Soe Win kini menghilang.

Lebih lanjut, muncul pula spekulasi bahwa dua jenderal lainya ditangkap bersama dengan Myint Hlaing. Mereka diduga merencanakan penggulingan Min Aung Hlaing, sebuah klaim yang tak bisa diverifikasi The Irrawaddy.

Pada saat yang sama, Letnan Jenderal Kyaw Swar Lin disebut akan dipromosikan menjadi wakil kepala militer.

Babak Baru Perlawanan

Kepada Bergelora.com di Jakarta diilaporkan, militer Myanmar kehabisan tenaga dan menghadapi banyak kekalahan di seluruh negeri, tandas para analis kepada DW (Deutsche Welle) setelah sebuah kota penting di dekat perbatasan Thailand jatuh ke tangan pasukan pro-demokrasi.

Kota Myawaddy direbut oleh Tentara Pembebasan Nasional Karen, sayap bersenjata dari Persatuan Nasional Karen KNU, yang merupakan bagian dari aliansi besar antijunta militer Myanmar.

Jatuhnya Myawaddy ke tangan pemberontak dianggap sebagai simbol kekalahan dan runtuhnya ekonomi junta militer. Dalam pertempuran tersebut KNU dan sekutunya memaksa lebih dari 600 tentara pemerintah dan anggota keluarga mereka menyerah.

Myawaddy sangatlah penting dalam perdagangan antara Thailand dan Myanmar. Barang bernilai miliaran dolar AS melintasi perbatasan ini setiap tahunnya.

Pemberontak juga mendesak pasukan yang dikendalikan oleh pemerintahan militer Dewan Administrasi Negara SAC di wilayah-wilayah lain Myanmar.

“Di lapangan, SAC mengalami kemunduran di beberapa lokasi, di Kachin, Arakan, dan Karenni dan Shan,” ujar analis independen Myanmar David Scott Mathieson kepada DW.

Pemberontak Melancarkan ‘Operasi 1027’

Aksi protes terhadap kudeta militer pada Februari 2021 meningkat menjadi pemberontakan bersenjata dan kemudian menjadi perang saudara besar-besaran, ketika berbagai kelompok politik dan etnis di Myanmar bersatu dalam perlawanan bersenjata melawan junta militer.

Pada bulan Oktober 2023, aliansi kekuatan oposisi melancarkan serangan besar-besaran di Negara Bagian Shan di utara Myanmar. Dijuluki “Operasi 1027”, sesuai dengan tanggal peluncurannya, serangan balik tersebut berhasil merebut puluhan kota kecil dan ratusan pos yang dikuasai junta. Serangan tersebut telah memberikan momentum kepada kelompok oposisi lainnya, dan pertempuran meningkat ke tingkat nasional.

Militer ‘tidak dapat memecah belah dan menaklukkan’
Zachary Abuza, seorang profesor di National War College di Washington yang fokus pada politik dan keamanan Asia Tenggara, mengatakan berbagai pertempuran tersebut melemahkan junta militer.

“Pasukan oposisi bertempur di delapan zona pertempuran berbeda di seluruh negeri. Bukan berarti ada satu kelompok yang kuat atau canggih, tapi kekuatan militer tersebar tipis, tidak mampu memecah belah dan menaklukkan,” kata Abuza kepada DW.

“Hal ini memungkinkan Tentara Kemerdekaan Kachin KIA, Arakan Army, KNU, dan kelompok etnis lainnya memperoleh keuntungan teritorial yang signifikan. Kekuatan militer telah terkuras secara signifikan dan terdapat gangguan signifikan dalam hal logistik, sehingga sangat sulit mempercepat penempatan dan penambahan pasukan,” katanya.

“Militer belum mampu merebut kembali sejumlah besar wilayah yang telah lepas dari genggaman mereka sejak Operasi 1027 dimulai, meskipun mereka memfokuskan upaya mereka di jantung wilayah Bamar, yaitu Sagaing dan Magwe. Itu tetap menjadi prioritas mereka, wilayah etnis berada di urutan kedua,” tambah Abuza.

Perang mencapai Naypyidaw
Di Rakhine, Tentara Arakan Arakan Army, yang merupakan sayap bersenjata dari Liga Persatuan kelompok etnis Arakan, memperoleh keuntungan setelah perjanjian gencatan senjata sebelumnya berakhir pada bulan November. Arakan Army telah merebut setidaknya enam kota kecil di negara bagian tersebut dan terus berjuang untuk menguasai lebih banyak wilayah.

Bahkan sebelum jatuhnya Myawaddy, pemberontak telah menguasai lebih dari 60% wilayah negara itu, demikian menurut Pemerintah Persatuan Nasional Myanmar NUG, organisasi yang mengklaim dirinya sebagai pemerintahan sah Myanmar.

Ketegangan ini kemungkinan akan meningkat, jika pemberontak melakukan perlawanan di wilayah perkotaan yang sebelumnya tidak terkena dampak konflik. Bulan ini, mereka melancarkan serangan roket dan drone ke Naypyidaw, ibu kota Myanmar yang dijaga ketat, dan menghantam pangkalan junta di dekat bandara kota tersebut.

“Serangan di Naypyidaw dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa tidak ada tempat yang aman bagi para jenderal. Saya rasa, penting bagi pasukan oposisi untuk meningkatkan jumlah serangan di wilayah perkotaan,” kata Abuza.

Takut Pembalasan Militer

Ketika konflik ini menempatkan pihak militer dalam posisi lemah, junta berupaya meningkatkan pangkat dan jumlah personel bersenjatanya. Baru-baru ini pemerintah kembali memberlakukan wajib militer, yang mengharuskan pria dan perempuan untuk ikut wajib militer setidaknya selama dua tahun. Dari 56 juta penduduk, 14 juta memenuhi syarat untuk dinas militer.

Militer punya target untuk merekrut 60.000 anggota baru setiap tahunnya, dan 5.000 orang sampai akhir April ini. Potensi pertambahan personil ini, ditambah dengan kekuatan junta yang besar, menunjukkan bahwa rezim tersebut masih cukup kuat dan tidak akan menyerah.

“Militer mempunyai kawasan yang luas untuk dijadikan tempat mundur, dengan jaringan pangkalan dan produksi senjata. Mereka mungkin kalah, tapi ini tidak berarti mereka sudah habis-habisan. Ini adalah rezim yang selalu menganggap taktik bumi hangus sebagai hal biasa,” kata Mathieson.

Juru bicara faksi pemberontak KNU, Padoh Saw Taw Nee mengaku khawatir dengan respons militer yang diperkirakan akan terjadi setelah Myawaddy direbut.

“Balasan dari SAC harus diwaspadai. Setiap kali mereka kalah seperti itu, biasanya mereka melakukan pembalasan besar-besaran dengan serangan udara. Mereka selalu mengatakan bahwa, kapan pun Anda menguasai sebuah tempat, tidak masalah – kami hanya perlu menghancurkan tempat ini sehingga Anda tidak dapat mengatur administrasi Anda dari situ,” ujarnya. (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru