Oleh: Supriyanto Martosuwito
INI adalah cerita derita para mahasiswa kedokteran, calon dokter dan dokter, yang jarang terungkap di media massa.
Cerita ini datang dari para dokter dan mereka yang sedang magang yang enggan disebut identitasnya. Namun berdasarkan realita dan fakta serta pengalaman yang mereka alami.
Di Indonesia, negeri tercinta kita, para calon dokter dan mereka yang sudah menjadi dokter menghadapi banyak perundungan (bullying), pemerasan dari organisasi profesi, birokrasi dan sistem di pemerintahan serta budaya buruk yang melembaga atas nama “senior – junior” dan wadah tunggal gaya Orde Baru, yang masih dipertahankan.
Sejak masih jadi calon mahasiswa, menjalani praktik dan piket jaga di rumah sakit, mengurus izin praktik setelah lulus, dan memperoleh gelar spesialis, semua dilewati dengan perundungan, birokrasi dan pemerasan, bernuansa sogokan. Menghadapi pejabat dan pengurus organisasi yang korup dan feodal.
Perguruan tinggi, lembaga pemerintah dan organisasi profesi yang seharusnya memfasilitasi dan mempermudah warga negara yang memenuhi syarat menjadi dokter, justru memerah dan memeras mereka. Memerah adalah sebutan untuk mengeksploitasi sumber daya mereka; uang, waktu dan tenaga – sebagaimana peternak memerah susu sapi.
Sedangkan memeras adalah menahan mereka untuk mengerjakan tugas pengabdian – tidak memberi izin praktik – dan mempersulit upaya peningkatkan kemampuan kerja profesionalnya – sebagai dokter spesialis – meski memenuhi syarat teknis. Kecuali bagi mereka yang bersedia menyogok – yang angkanya mencapai ratusan juta rupiah. Atau memanfaatkan koneksi, lobby, silaturahmi, yang tak ada hubungannya dengan kemampuan profesionalitas mereka.
Para calon dokter di Indonesia sudah dipersulit dan diperah tenaganya, jadi obyek pemerasan dengan banyak alasan – sejak masih calon mahasiswa.
Banyaknya warga yang ingin anaknya jadi dokter membuat perguruan tinggi yang membuka fakultas kedokteran – pasang tarif tinggi. Sangat komersil. Para oknum di PTN dan PTS meloloskan mereka yang bersedia membayar mahal, terlepas secara akademis memenuhi syarat atau tidak.
Setelah diterima jadi mahasiswa, mereka harus menghadapi tradisi perploncoan. Termasuk juga di fakultas kedokteran. Para senior memerah tenaga juniornya, saat praktik yaitu di rumah sakit, dengan melayani seniornya layaknya majikan. Menyediakan kebutuhan para senior, termasuk kebutuhan makannya yang sedang piket jaga, dengan tanggungan biaya junior. Setelah junior naik jadi senior, dia boleh menikmati, ikut memerah tenaga junior berikutnya.
Memplonco, mengeksploitasi “orang baru” – di luar tugas akademis sebagai mahasiswa fakultas kedokteran. Melanjutan “tradisi turun temurun” yang sudah berlangsung puluhan tahun dan masih berlangsung hingga kini.
Setelah lulus dari fakultas kedokteran, masalah berikutnya menghadang. Dokter muda akan dilempar ke daerah yang jauh di pedalaman, kecuali menyogok pejabat dan oknum pengurus organisasi profesi yang memberikan rekomendasi izin praktik, untuk mendapat pos yang diinginkan.
Ini tradisi lama. Bahkan di tahun 1985-90-an, untuk praktik di Jakarta dan sekitarnya, calon dokter yang sudah punya surat izin praktik (SIT) masih harus nyogok dengan uang setara dengan mobil kijang.
Dokter yang baru praktik, yang masih sedikit pasiennya didatangi sales obat dari industri farmasi, didorong menjual obat mahal yang diresepkan agar mendapat komisi dan iming-iming kendaraan atau apa saja yang diinginkan dokter baru. Jangan heran jika untuk sakit apa pun, pasien diresep antibiotik, karena produk antibiotik, komisinya besar.
Para dokter umum yang mengambil spesialis juga diperas oleh dokter-dokter ahli dan para penentu mereka, dengan menyediakan akomodasi, service/ layanan paripurna untuk kunjungan dan pertemuan mereka, yang biayanya puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Menyediakan anggaran untuk hotel, makan-makan, rekreasi, dan bingkisan mereka yang akan meluluskan.
Perundungan dokter junior dilakukan oleh dokter yang merasa lebih senior, oleh dokter yang memiliki kerabat pemilik klinik dan rumah sakit.
Penderitaan yang lebih parah diterima oleh perawat, suster, yang juga menjadi korban kejahatan dan budaya buruk “senior vs junior”. Mereka mengambil keuntungan dari feodalisme baru, karena dekat dengan “orang kuat” di lingkungan mereka.
Suster yang merasa senior juga melakukan perundungan kepada dokter muda yang dianggap junior, dimana kesetaraan profesi mulia seharusnya merupakan tim yang kompak, bersama sama menyelamatkan pasien. Tapi itu belum terwujud. Kasta kasta dan peng-kasta-an masih ada dan dipertahankan di lingkungan kesehatan kita.
Kita sama sama meyakini, dokter merupakan profesi mulia. Mereka menyembuhkan yang sakit, menunda kematian dan memperpanjang usia – terlepas dari keyakinan bersama bahwa umur dan nyawa ada di tangan Tuhan.
Seorang dokter menjadi kebanggaan keluarga, dibutuhkan kehadirannya oleh masyarakat dan merupakan profesi yang sangat terhormat. Mereka yang sedang sakit tetap meminta penyembuhan dari dokter untuk beragam jenis sakit yang mereka yakini bisa disembuhkan. Baik dari dokter yang praktik di rumah, di klinik maupun rumah sakit.
Secara keseluruhan Indonesia kekurangan dokter, baik dokter umum maupun spesialis. Penyebaran dokter ke seluruh pelosok negeri belum merata. Banyak warga lebih memilih berobat ke luar negeri, karena tidak meyakini kemampuan dokter dan penanganan di dalam negeri. Selain lebih mahal dari perhitungan totalnya.
Tapi untuk menjadi dokter tidak mudah, bukan hanya persyaratan akademis dan biayanya, melainkan juga birokrasi perguruan tinggi yang korup, organisasi profesi yang sama korupnya. Juga budaya buruk lain, yang masih melembaga – hingga kini. Senior vs Junior.
Akhir-akhir ini, ramai jadi pergunjingan, organisasi profesi kedokteran semakin diskriminatif dan rasis. Penempatan dokter bukan hanya bergantung pada koneksi dengan orang kuat, orang berpengaruh, memiliki hubungan yang baik . Melainkan juga faktor suku, keturunan dan agamanya. Bukan kemampuan teknis/profesional mereka dan kebutuhan wilayah untuk keahlian mereka.
Mereka yang ingin menjadi spesialis dihambat oleh organisasi dan lembaga berwenang, dipertimbangkan dari latar belakang keluarganya – keturunannya, sukunya. Bukan kualifikasi medis, integritas dan lulus uji profesionalitasnya.
Para dokter yang memilih praktik di negara jiran, mencurahkan betapa birokratisnya dan “hambatan non medis” untuk berpraktik dan mengabdi di Indonesia – negeri tercinta kita. Betapa sulitnya mendapatkan Surat Tanda Register (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) sebagai syarat utama melayani masyarakat.
Rezim Orde Baru (1967-1998) mengarahkan agar semua profesi berkumpul dalam “wadah tunggal”, agar mudah dikontrol dan dikooptasi – Para ulama dikooptasi di MUI, wartawan di PWI, guru di PGRI dan dokter di IDI. Lalu setiap lima tahun, menjelang pemilu, ketua umum mereka menyatakan “kebulatan tekad, mendukung kelanjutan pemerintahan di bawah kepemimpinan Pak Harto”. Sehingga rezim Suharto berkuasa selama 32 tahun.
Setelah pemerintahan Suharto jatuh “wadah tunggal” tak lagi diterapkan. Ada banyak lahir organisasi baru kewartawanan, kepengacaraan, dan pekerja. Kecuali MUI dan IDI – yang masih bersemangat Orde Baru.
IDI terus memonopoli dunia kedokteran, mulai dari pendidikan hingga pelayanan. IDI, bersama-sama PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia) berhak menyetujui dan menolak permohonan registrasi dokter dan dokter gigi, menerbitkan dan mencabut surat registrasi dokter dan dokter gigi, dan mengesahkan standar kompetensi para dokter.
Melalui kolegium, IDI juga secara langsung bisa mempengaruhi pembentukan program studi dokter spesialis di sebuah universitas.
Bahkan, konon, Menteri Kesehatan juga harus tunduk pada kolegium ketika bicara izin pembukaan program studi spesialis – yang selama ini dikenal lamban dan menjadi “bottleneck” proses regenerasi dokter spesialis.
Sejumlah dokter pernah menggugat IDI karena dianggap melakukan praktik monopoli sertifikasi profesi dokter. Namun Mahkamah Konstitusi (MK) memenangkan IDI dan menyebutnya sebagai satu-satunya organisasi profesi kedokteran yang sah di NKRI.
Hingga kini, orang memandang profesi dokter, pengacara, akuntan, wartawan dan tenaga profesi dari sosok sosok tokoh sukses yang gemerlap di media massa. Bahwa di antara mereka terjadi pemerasan sesama rekan profesi, jarang terungkap dan tidak diketahui.
Pendidikan, hukum dan kesehatan sudah jadi industri. Seperti juga informasi di media dan panggung politik.
Para petinggi di kementrian kesehatan dan pengurus di organisasi profesi kedokteran dirasa lebih banyak membebani – bahkan menyusahkan anggotanya yang sungguh-sungguh ingin mengabdi kepada masyarakat. Menjalankan tugas mulia mereka di bidang kemanusiaan.
Dokter dan tenaga kesehatan memang tidak hidup di ruang hampa. Mereka tinggal di tengah masyarakat, yang wakil wakilnya makmur di tengah kesengsaraan rakyat. Pejabat yang korup dan memperkaya diri, petinggi dinas pajak yang makmur dari kewajiban warga menyetor pajak.
Juga organisasi profesi yang memerah dan memeras para dokter demi melanggengkan kekuasaan dan kesejahteraan para pengurusnya.
* Penulis, Supriyanto Martosuwito adalah Pemerhati Sosial.