Jumat, 14 November 2025

Belajar dari Lelaki di Tengah Hujan

Diskusi Musyawarah Buku “Lelaki di Tengah Hujan”, Novel Sejarah Gerakan Mahasiswa 98, di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, 3 April 2019. (Ist)

Buku Novel Sejarah berjudul Lelaki Di tengah Hujan mulai menimbulkan kontroversi dikalangan pelaku sejarah yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa yang ada dimasa itu. Ini catatan dari Bilven, seorang Budayawan di Bandung untuk diskusi Musyawarah Buku “Lelaki di Tengah Hujan” (Novel Sejarah Gerakan Mahasiswa 98), 3 April 2019 di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, dimuat untuk pembaca Bergelora.com. (Redaksi)

Oleh: Bilven

DENGAN tulisan “novel sejarah” di sampul depan, pembaca sudah langsung diberi rambu-rambu, bahwa buku Lelaki di Tengah Hujan ini adalah sebuah novel—yang artinya fiksi atau rekaan; tetapi juga sekaligus sejarah—yang artinya mengandung kenyataan yang benar-benar pernah terjadi pada zamannya. Rambu-rambu ini semakin dipertegas lagi dengan keterangan “based on true story”.

Tentu saja Wenri Wanhar sebagai penulis buku ini berhak dan bebas sesukanya mau memberi proporsi yang lebih besar kadar fiksinya atau mau menulis lebih banyak kadar akurasi fakta sesuai kenyataan sebenarnya. Begitupun dengan pembaca, bebas merdeka mau menikmati buku ini sebagai novel fiksi, ataupun mau menikmatinya sebagai buku sejarah non-fiksi, khususnya tentang sejarah gerakan mahasiswa menjelang jatuhnya orde baru Soeharto. Memang dibandingkan dengan buku-buku bergenre memoar atau biografi, Lelaki di Tengah Hujan memiliki kadar fiksi yang lebih besar; tetapi jelas novel ini memiliki kandungan fakta lebih banyak jika dibanding genre novel-novel pada umumnya, seperti Dilan atau Milea karya Pidi Baiq misalnya.

Saya sendiri cenderung memilih menjadi pembaca jenis kedua, berusaha menikmati episode-episode kisah dua dekade yang lalu, sambil membayangkan bagaimana kenyataan yang sesungguhnya terjadi pada waktu itu, dan sudah pasti sembari menerka-nerka siapa nama asli di balik nama-nama samaran (pseudoynm) dalam novel ini—Bujang Parewa, Joni Trotoar, Nizar, Gaek, dll.

Novel ini dibuka dengan sebuah peristiwa kontroversial yang terjadi 21 tahun lalu dan tetap menjadi pergunjingan di kalangan aktivis gerakan pro-demokrasi bahkan sampai hari ini, yaitu bom Tanah Tinggi. Dari peristiwa meledaknya bom rakitan di rusun Tanah Tinggi, mengalirlah cerita-cerita berikutnya ke dua arah: pertama, dari penangkapan tokoh kita si Bujang Parewa di lokasi ledakan hingga masa-masa setelahnya; kedua, kilas balik riwayat Bujang Parewa sejak awal terjun ke kancah dunia pergerakan hingga menjadi pemimpin gerakan bawah tanah.

Membaca mengikuti alur cerita di dalam novel ini, saya kira ada banyak fakta fakta sejarah yang bisa kita ketahui dan bahkan bisa menjadi pelajaran berharga bagi gerakan mahasiswa generasi pasca reformasi. Apalagi mayoritas aktivis mahasiswa hari ini adalah generasi kelahiran tahun 1990-an atau bahkan 2000-an. Kita diingatkan kembali banyak hal yang mungkin sudah dilupakan orang banyak. Berikut saya coba petik beberapa pelajaran menarik di antaranya.

Masuk ke kancah perjuangan pergerakan rakyat, harus siap menerima risiko terberat. Tertangkap, disekap dalam ruangan gelap, dipukuli, ditendang, ditelanjangi, diinterogasi, siksaan demi siksaan, disetrum, dibenturkan ke meja dan lemari, direndam kepala dalam bak mandi dan kakus (h.21–26, 188), bahkan sampai diculik dan dibunuh.

Pasca meletus Peristiwa Malari 1974, kampus menjadi musuh rezim, Dewan Mahasiswa dibekukan dan tokoh-tokohnya ditangkap, gerakan mahasiswa meredup. Gerakan mahasiswa 1977/78 yang menolak pencalonan kembali Soeharto juga dilibas. Kebijakan NKK/BKK 1978–79 makin mengekang gerakan. Sejumlah mahasiswa kemudian aktif di kelompok-kelompok studi, LSM, pers mahasiswa, atau organ ekstra seperti HMI, PMKRI, GMNI, PMII, dll. (h.28–29)

Periode 1980-an marak berdiri kelompok-kelompok studi atau kelompok diskusi di Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan kota-kota besar lainnya. Bermunculan protes-protes mahasiswa yg dimulai dari isu seputar kampus, lalu berkembang dengan isu-isu di luar kampus. (h.30–31, 71–72) Kelompok studi menjadi tempat persemaian teori-teori kiri yang menjadikannya bahan kajian, diskusi, dan perdebatan menarik untuk kemudian dirumuskan dalam gerakan perlawanan. (h.198)

Pers mahasiswa sebagai pers alternatif di masa represif. Terjadi banyak pembredelan persma dan pemecatan mahasiswa. Persma membentuk jaringan antar kampus, mengadakan pertemuan, pendidikan, dan pelatihan bersama, hingga mendirikan organisasi nasional. (h.111–116) Majalah kampus menjadi corong utama mengkampanyekan program-program kerakyatan. Isu kampus hingga isu 3 petani di desa mewarnai terbitan pers mahasiswa. (h.201–204)

Membentuk jaringan dan solidaritas antar kampus (h.103–106), seperti misalnya direpresentasikan dalam novel ini, solidaritas terhadap Peristiwa Subuh Berdarah di kampus ISTN. (h.155–163)

Membangun organisasi mahasiswa bertaraf nasional. Kesadaran yang semakin terbentuk mendorong mahasiswa untuk meluaskan komite-komite aksi dan mempersatukannya secara nasional. Sebagai ekspresi kritik dari mandulnya organ mahasiswa skala nasional yang diakui pemerintah seperti HMI, PMII, PMKRI, GMNI, GMKI; dianggap kurang tanggap dan cenderung pasif terhadap rezim Orba serta jalan pembangunan kapitalistik yang anti-rakyat. Banyak mantan aktivis organisasi ini yang progresif dan kecewa dan merasa kendaraan mereka yang lama telah macet mesinnya dalam merespons isu-isu kerakyatan. Mereka butuh kendaraan baru yang lebih progresif dan radikal. (h.135–141, 200) Solidaritas antar kampus berjejaring lalu membuat organisasi berskala nasional.

Muncul kesadaran bahwa gerakan mahasiswa tidak akan mampu membuat revolusi, membuat perubahan total sistem ekonomi politik kapitalistik yang diusung Orba. Sebagian besar mahasiswa dipaksa keluarga mengejar IPK tinggi agar mudah diterima lapangan kerja. Sebagian besar masih menganggap gerakan mahasiswa adalah gerakan moral, sementara gerakan moral telah menciptakan jarak antara mahasiswa dengan rakyat. Bahwa kelemahan dasar dari gerakan mahasiswa adalah tidak adanya energi revolusioner untuk menganalisis situasi ekonomi politik sehingga gagal memberikan solusi, metode, dan strategi serta jalan keluar bagi pembebasan rakyat.

Gerakan mahasiswa tidak mempunyai perspektif untuk membangun kekuatan rakyat berbasis kelas buruh dan tani, karena tapi tetap asyik berjuang di arena kelas sosialnya sendiri. Mereka memahami penderitaan dan penindasan rakyat secara teoretis dari kampus dan buku bacaan, tapi tidak turun ke tengah rakyat. Kecenderungan lain yang membuat gerakan mahasiswa menjadi avonturir adalah kerja sama dengan faksi-faksi politik elite dominan. Gerakan mahasiswa harus menuju gerakan kerakyatan (h.130–134) Gerakan mahasiswa kemudian berintegrasi dengan gerakan rakyat. Mahasiswa terus bergerak, menyasar kebijakan pemerintah yang menggusur tanah rakyat seperti Kedung Ombo (h.92–99), Badega, Kacapiring, Cimacan, Jatiwangi, Cilacap, dsb. (h.33–34) Menentang rencana pemugaran cagar budaya Benteng Vastemburg Solo. (h.74–82) Peristiwa Belangguan (h.182–190). Peristiwa Ngrambe & Boyolali (h.205–212). Mahasiswa mengorganisir buruh di Surabaya dan kawan industri di Gerbang Kartasusila. Di Jakarta mahasiswa yang bertransformasi ke dalam gerakan mahasiswa progresif kerakyatan mempelopori live in di basis buruh, kemudian mendorong kelompok buruh melakukan pemogokan besar di Tangerang, Bogor, dan Pluit. Pengorganisiran buruh terjadi di Jabodetabek, Semarang, Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan, Solo, dll. Perlawanan terus berlangsung dengan aksi massa, baik di daerah maupun nasional, baik sektoral maupun aliansi. (h.254–56)

Memajukan gerakan mahasiswa menjadi gerakan rakyat. Kerja-kerja perlawanan politik menentang kediktatoran Orde Baru Soeharto menjadi perjuangan rakyat terorganisir. Perjuangan demokrasi pada hakikatnya adalah perjuangan rakyat menentang segala bentuk penindasan terhadap umat manusia dalam bentuk apa pun. Penyatuan perlawanan gerakan mahasiswa menjadi strategi taktik dan program perjuangan demokrasi. Untuk itu dibutuhkan sebuah organisasi nasional yang dibangun dengan kuat yang mempunyai ideologi, gagasan sosial demokrasi kerakyatan dalam program danstrategi taktik perjuangannya. Menyadari perlunya membangun organisasi skala nasional untuk mengakhiri sektarianisme antarkota, juga mendorong mahasiswa beraliansi dengan rakyat. (h.166–170) Deployment atau pengiriman kader mahasiswa untuk ditempatkan di wilayahwilayah industri, dikirim ke barak-barak buruh itu untuk menghancurkan watak borjuis kecil yang arogan, kelewat teoretis dan oportunis. Dengan hancurnya watak borjuis kecil ini diharapkan dapat melakukan bunuh diri kelas dan sadar akan pentingnya kekuatan kaum buruh. Dengan cara ini keberpihakan mahasiswa kepada buruh tidak sebatas teori. (h.225)

Setelah gerakan mahasiswa berhasil melahirkan gerakan tani dan buruh, tumbuh keberanian rakyat untuk memperjuangkan hak-haknya. Meluas sentimen antikediktatoran Orba. (h.212) Metode pengorganisiran dengan cara turun ke basisbasis rakyat melahirkan organisasi-organisasi perlawanan di tingkatan massa rakyat. Dan ketika unsur-unsur demokratis dan kerakyatan telah berdiri di garda depan menghadapi rezim Orde Baru Soeharto, pergolakan meletus di mana-mana. Anakanak muda itu dengan penuh kesadaran mengasah keberanian mereka. Kesewenang-wenangan penguasa dilawan dalam bentuk aksi massa dan sikap politik. Bersama-sama sektor rakyat lainnya, mereka membentuk partai. (h.254, 279–81)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru