Oleh: Edy Haryadi *
SAYA tak banyak memiliki sahabat sejati. Sebab saya mengakui kebenaran nukilan kisah Sayyidina Ali bin Ali Thalib ini. Konon Sayyidina Ali pernah ditanya oleh seseorang: “Berapa orangkah sahabat sejatimu?” Jawab Sayyidina Ali: “Aku tidak tahu. Tunggulah nanti ketika aku sedang kesusahan. Lalu lihatlah berapa orang yang masih setia bersamaku. Itulah sahabat sejatiku.”
Lewat pengalaman kehilangan tiga tahun terakhir, saya belajar mengenal sahabat sejati atau sekedar “teman.” Pada bulan Agustus 2023, istri saya Yuni Tanjung meninggal dunia dalam tidur setelah 5,5 tahun berjuang melawan kanker payudara HER2 positif. Pada akhir September 2024, saya dipecat dan kehilangan pekerjaan setelah saya menulis skandal bedak bayi Johnson & Johnson memicu kanker ovarium pada wanita penggunanya yang dilarang dimuat di media saya sebelum saya dipecat.

Dan terakhir di bulan Agustus 2025, tepatnya 2 bulan 1 hari yang lalu anak tunggal saya Raka Arung Aksara juga wafat. Sungguh tiga tahun yang berat.
Maka, lima hari setelah Arung wafat, saya menerima telepon dari salah satu sahabat sejati saya yang rencananya siang ini akan saya temui. Sahabat ini sudah lolos ujian. Dia tetap menjadi sahabat sejati saya justru saat saya tengah ditimpa kesusahan.
Saat itu ia menelepon untuk menyampaikan duka cita. Ia tak bisa datang ke rumah saya karena dia tinggal di luar kota. Dan saya ingat apa kata-katanya: “Coy, kalau aku jadi kau, mungkin aku sudah gila.”
Kebetulan dia memilki banyak kesamaan dengan saya. Ia juga memiliki istri dan satu orang anak. Ia tak bisa membayangkan apakah dia masih bisa waras jika dia mengalami hal serupa dengan saya.
Saya sendiri tidak tahu mengapa saya masih kuat bertahan sampai sekarang. Kehilangan istri dan anak tunggal memang sebuah cobaan yang berat. Saya tidak memutuskan bunuh diri saja mungkin sudah hebat.
Tapi saya akui saya beruntung pada hari Arung wafat, 29 Agustus 2025, abang saya datang dari Palembang. Ia datang bersama keponakan saya, anak tertua adik saya yang tak bisa datang ke Jakarta karena tengah sakit dan juga tinggal di Palembang. Abang saya memang tidak bisa menghadiri pemakaman Arung karena dia baru datang ke rumah sore hari sementara Arung dimakamkan setelah Salat Jumat.
Tapi dengan kehadiran abang saya jelas saya tidak terlalu kesepian.
Merasa sunyi seorang diri di dalam rumah dengan empat kamar tidur dan dua kamar mandi. Abang saya dan keponakan saya memang datang untuk menemani saya agar tidak merasa sendiri dan kesepian.
Dan pada malam hari, setelah tamu-tamu yang melayat pulang, saya ngobrol di teras lantai dua rumah saya yang memang sejak Yuni dan Arung masih hidup saya gunakan sebagai “kantor” saya karena saya tak mau merokok di dalam rumah, sebuah kebiasaan yang masih saya lakukan sampai hari ini meski Yuni dan Arung sudah tiada.
Saya dan abang saya berbincang-bincang di teras lantai dua rumah saya sambil merokok dan ngopi sampai dini hari, di malam pertama Arung wafat. Rokok abang saya Djarum Coklat 76 sementara saya menghisap rokok Djava, rokok murahan buatan Madura yang harganya tidak sampai Rp 10 ribu per bungkus. Saat itu saya bertanya-tanya pada abang saya, apa salah saya? Mengapa musibah terus menimpa saya selama tiga tahun terakhir? Mengapa Allah menguji saya begitu keras justru ketika empat bulan terakhir saya mulai sadar dan mulai salat lima waktu? Mengapa?
Abang saya tidak langsung menjawab. Tapi dia bercerita tentang kisah Nabi Ayyub. Kisah ini universal, tak hanya terdapat dalam kepercayaan agama Islam, tetapi juga Nasrani, yakni Kristen dan Katolik. Juga agama Yahudi.
Abang saya bercerita Nabi Ayyub dulu adalah orang kaya dan memiliki banyak harta. Ia memiliki istri dan belasan anak putera puteri yang tampan dan cantik. Hebatnya, meski kaya raya, Nabi Ayyub tetap rajin beribadah dan bersedekah sebagai wujud rasa syukur pada Allah.
Ketaatan Nabi Ayyub membuat Setan iri dan murka. Setan lalu bilang ke Allah, “Pantas saja Nabi Ayyub saleh. Sebab dia kaya, sehat dan memiliki belasan anak yang tampan dan cantik.”
Akhirnya Allah pun mengizinkan Setan menguji Nabi Ayyub untuk membuktikan ke Setan apakah ketaatan Nabi Ayyub karena harta, kesehatan, dan 12 anaknya yang tampan dan cantik. Alhasil turunlah ujian Allah pada Nabi Ayyub. Allah hanya menyisakan lisan dan hatinya saja. Selebihnya betul-betul diuji dan dihabisi.
Nabi Ayyub mendadak jatuh miskin. Tak berhenti di situ, Allah juga memberi ujian maha dahsyat: seluruh putera dan puteri Nabi Ayyub meninggal dunia.
Tak sampai di situ, Allah juga memberi Nabi Ayyub penyakit kusta sehingga ulat dan belatung keluar dari tubuhnya. Karena miskin dan menderita sakit, Nabi Ayyub pun diusir warga dari kampungnya. Ia lalu mengungsi ke tempat pembuangan sampah.
Di sini pun Nabi Ayyub kembali diusir warga yang takut ketularan penyakit Nabi Ayyub. Dan berapa lama Nabi Ayyub menerima ujian itu? Tak tanggung-tanggung: 18 tahun! Tapi selama itu pula kesabaran, ketaatan dan keimanannya pada Allah tak goyah.
Ketika mendengar Nabi Ayyub itu dikisahkan abang saya, hati saya hangat dan sedikit lebih ringan. Karena saya berkesimpulan, ujian yang saya alami tiga tahun terakhir ini belum ada apa-apanya dengan ujian Allah pada Nabi Ayyub. Bahkan ujian Allah pada saya tak sampai selembar rambut pun dari ujian Allah pada Nabi Ayyub.
Kisah yang diceritakan abang saya inilah yang membuat saya kuat untuk bertahan sampai sekarang. Tidak putus asa dan tidak memutuskan mengakhiri hidup. Karena saya sadar, dibandingkan penderitaan dan ujian yang diterima Nabi Ayyub, penderitaan dan ujian pada diri saya tidak ada apa-apanya. Ini yang membuat saya tetap kuat dari hari ke hari sepeninggal Yuni dan Arung meski kini saya tinggal seorang diri di dunia fana ini.
Tak hanya itu jasa abang saya. Saat saya pulang ke Palembang kemarin, saya bercakap-cakap tentang kasus Arung yang tengah saya hadapi. Saya bilang, mungkin prosesnya bisa panjang, bisa bertahun-tahun demi “sejumlah uang” yang jumlahnya tidak sampai Rp 50 juta. Jadi ada kemungkinan biaya yang saya keluarkan bisa jadi akan lebih besar dengan apa yang kemudian akan saya terima jika saya menang sebagai ahli waris Arung.
Tapi abang saya langsung menepis keraguan saya. “Yah sudah lawan saja sampai akhir. Nggak apa-apa. Kalau perlu jual rumah untuk biaya agar Arung dapat keadilan. Teruskan saja sampai tuntas. Tanggung,” katanya tegas.
Nasehat itu membuat saya terperangah. Dan membuat keraguan saya hilang seketika. Itu juga yang membuat saya mantap untuk menghadiri undangan Tripartit pertama antara saya dan PT Valdo International yang mewakili Bank HSBC Indonesia, Senin depan tanggal 3 November 2026, jam 10.00 WIB, di kantor Suku Dinas Ketenagakerjaan Jakarta Selatan yang berada di kompleks perkantoran Walikota Jakarta Selatan.
Ya, abang saya benar. Saya akan tuntaskan perlawanan saya dan Arung setuntas-tuntasnya. Bila perlu jika proses ini sampai tahunan, saya siap. Nasehat itu membuat semangat saya tumbuh kembali untuk melawan. Sebaik-baiknya. Sehormat-hormatnya. Sampai menang.
#KeadilanUntukRakaArungAksara
——
*Penulis Edy Haryadi, jurnalis senior freelance. Bisa dihubungi di 0813-10-274-674

