NEW DELHI- Indonesia perlu belajar dari pelayanan rumah sakit di India. Dibawah ini kesaksian dari Prof Tjandra Yoga Aditama dari New Delhi, India kepada Bergelora.com, Minggu (3/7)
Mantan DirJen Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL), Kementerian Kesehatan ini menceritakan pengalamannya saat harus menjalani operasi di sebuah rumah sakit di New Delhi, India.
“Saya dioperasi karena sakit trigger finger atau ada juga yg menyebutnya click finger. Keluhannya adalah jari telunjuk kanan nyeri, dan kalau habis ditekuk mau di luruskan maka berbunyi klik-klik, juga agak bengkak,” ujar mantan Kepala Badan Litbang Kesehatan, Kementerian Kesehatan.
Prof Tjandra Yoga Aditama menceritakan pengalamannya saat dirinya harus operasi di Rumah Sakit Fatwawati beberapa waktu lalu.
“Operasi ini dikerjakan sehari sebelum puasa di Rumah Sakit Fatmawati. Walaupun operasi relatif kecil tapi dilakukan di kamar operasi besar, dengan team operator lengkap. Dimulai dengan doa bersama. Pokoknya serius sekali, padahal saya pikir tadinya operasi kecil saja,” jelas mantan pejabat Kementerian Kesehatan yang sekarang menjadi Senior Advisor, WHO SEARO, sebuah lembaga kesehatan dunia yang bermarkas di India.
Sesudah selesai menjalani operasi dokter mengatakan bahwa dua minggu lalu jahitan operasi harus dicabut.
“Saya agak bingung juga karena saya sudah harus kembali kerja ke India,” jelasnya.
Akhirnya, sesudah 3 hari kembali ke New Delhi dirinya mencari klinik dekat rumah atau kantornya yang bisa cabut dua jahitan.
“Ternyata, tidak ada klinik yang menyediakan pelayanan ini, dan saya harus pergi ke rumah sakit besar yang dekat rumah saya namanya Moolchand Hospital. Saya agak ragu juga sebenarnya, tapi pengalaman di rumah sakit itu cukup menarik,” katanya.
Beberapa hal yang mengagetkan dan mengesankan pada dirinya salah satunya adalah gedung Moolchand Hospital cukup baik dan bersih. Ini beda rumah sakit di India dengan rumah sakit di Indonesia.
“Saya pergi ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan ternyata tidak penuh pasien,” katanya.
Waktu masuk IGD ia melihat seorang dokter mengalungkan stetoskop di lehernya. Teman, seorang dokter dari Myanmar lalu “sok akrab” dan langsung menegur dokter itu.
“Halo dokter. Ini ada Profesor saya mau cabut jahitan,” katanya mengutip dokter dari Myanmar itu.
“Langsung saja masuk terus lalu belok kanan, ternyata itu langsung masuk IGD dan ruang operasi kecil.
“Saya langsung disuruh tidur. Dokternya yang pakai sorban warna pink langsung menangani bersama dua perawatnya. Jahitan saya dicabut dan beres,” jelasnya.
Setelah selesai tindakan buka jahitan itu Prof Tjandra Yoga diantar ke tempat pendaftaran dan dia bilang sama petugasnya, “Ini berikan karcis yang 100 rupee (sekitar Rp 20,000), jangan yang 400 rupee,” katanya mengutip dokter itu.
“Saya tidak mengerti juga kenapa murah banget,” kata Prof Tjandra Yoga.
Sambil nunggu karcis maka dokter ber “promosi” bahwa rumah sakit itu sudah terakreditasi internasional. Bahkan rumah sakit itu termasuk pertama di India.
“Hal ini yang perlu juga ditiru bahwa mutu pelayanan yang dijaga dengan akreditasi perlu diketahui pengunjung rumah sakit,” katanya.
Sesudah dokter ini menyelesaikan catatan medik dan waktu Prof Tjandra Yoga pamit, maka dia memberikan kartu nama dengan nomor telpon emergency rumah sakit.
“Kita kan nggak pernah tahu apa yang mungkin akan terjadi, maka ini nomor emergency ya kalau-kalau diperlukan”.
Menurutnya ini bentuk pelayanan yang baik dan mungkin dapat juga ditiru di Indonesia. (Calvin G. Eben-Haezer)