Kamis, 10 Juli 2025

Benang Merah Tragedi 1965 dan Peristiwa 1948

Oleh: Yunantyo Adi*

Saya sejak awal memang menolak membawa-bawa masalah Peristiwa Madiun 1948 dalam pembicaraan Peristiwa 1965. Saya tidak bermaksud menutupi peristiwa kekejaman-kekejaman yang terjadi pada tahun 1948, sama sekali bukan. Tetapi begini, kita ini membincang Peristiwa 1965 tanpa Pertistiwa 1948 itu sudah amat sulit, dan membincang Peristiwa 1948 tanpa Peristiwa 1965 itu pun sesungguhnya sudah amat sulit

Pun, ruang dan waktu antara kedua peristiwa itu juga relatif jauh, dengan situasi nasional dan internasional yang lumayan berbeda. Anda berapa dalam partai apa pun, entah PKI, PSII, Partai Masyumi, PDI, PDIP, Golkar, apa punlah, sepanjang hampir 20 tahun, diri Anda di dalam partai pasti akan mengalami masalah dan posisi internal maupun eksternal yang jauh berlainan.

Yang kita maksud, mereka para korban kekerasan tahun 1965-1966, adalah orang-orang yang tak tersangkut tindakan kriminal G-30S tetapi menjadi korban aksi kekerasan alat-alat negara dan mereka juga bukan pelaku-pelaku kriminal dari kekerasan Madiun 1948.

Adalah tidak adil, jika ada warga PKI yang memang pelaku kriminal di tahun 1948, kesalahannya ditimpakan kepada seluruh warga PKI, apalagi kok ditimpakan kepada seluruh warga PKI di tahun 1965-1966. Menghukum para pelaku kriminal semestinya menghukum pelakunya saja, bukan dengan cara membunuh tikus dalam rumah dengan bom. 

Apa yang digembar-gemborkan di sini adalah, seakan Peristiwa 1948 itu adalah kejadian warga PKI membunuhi para kiai, dan itu mau ditarik kesimpulan sebagai pembenar atas kekerasan 1965. Seakan Peristiwa 1948 sesederhana itu, mereka menyuguhkan teks-teks sejarah dengan menutupi usaha-usaha rekonsiliasi antara keluarga-keluarga kiai dengan eks PKI, juga menutupi kekejaman alat-alat negara dalam membantai warga PKI kala itu, serta menghapuskan pernah adanya penyelesaian Peristiwa 1948 secara negara pada tahun 1949,— itulah narasi Orde Baru.

Dua orang berkelahi di jalan saja kita bisa dengan banyak versi, bagaimana mungkin Peristiwa Madiun 1948 dan Peristiwa 1965 kita mau-maunya dibodohi hanya boleh mendengar satu versi: versi Orba dan purnawirawan TNI AD.

Ada perlakuan tidak adil dalam memberlakukan narasi sejarah di sini, yaitu hanya memberlakukan narasi Orde Baru dalam Peristiwa 1948, untuk menjegal upaya rehabilitasi dan rekonsiliasi atas Peristiwa Tragedi Kemanusiaan 1965-1966. Ini merupakan cara yang sama di era Orde Baru dulu. Narasi 1965 yang disuguhkan ke masyarakat dan generasi penerus adalah narasi Orde Baru hingga sekarang generasi penerus menjadi korban dari narasi itu. Padahal Peristiwa 1948 itu kejadian yang rumit, yang tidak mungkin diambil kesimpulan dari sudut pandang manapun, kata sejarawan Soe Hok Gie dalam “Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan”.

Rekayasa Pembodohan

Kalau soal kekejaman, jelas kekejaman terhadap warga PKI sebagai pihak yang kalah dalam kasus Madiun 1948 jauh lebih banyak. Kalau mau jujur baca “Berbagai Fakta dan Kesaksian Sekitar Peristiwa Madiun”. Para tawanan yang sudah tak bersenjata dihabisi, diciduk dan dieksekusi malam-malam tanpa proses hukum.

Tentang kekejaman ini tentulah hal yang rumit. Sebagai contoh, yang dihadirkan adalah monumen-monumen kekejaman warga PKI terhadap lawan-lawan PKI di Jawa Timur. Tetapi kekejaman terhadap warga PKI (oleh militer dan non-militer) justru mau ditutup-tutupi seakan tidak pernah ada. Tindakan itu adalah rekayasa pembodohan nasional terhadap generasi muda.

Kekejaman terhadap warga eks PKI dalam kasus Madiun 1948 tidak dibolehkan dibuat monumen-monumen. Misalnya kuburan massal warga PKI di Kabupaten Karanganyar dan lainnya, penjara-penjara di Magelang, penyiksaan massal di Magetan dan lainnya. Karena mereka di pihak yang kalah.

Kuburan-kuburan massal warga PKI yang dibantai pada tahun 1965-1966 tak dibolehkan dibuat monumen sejak Orde Baru. Kenapa kekejaman terhadap warga eks PKI ditutupi? Dalam Simposium Purnawirawan TNI di Balai Kartini baru-baru ini juga tak pernah membahas kekejaman alat-alat negara terhadap warga PKI dalam kasus Madiun tentu saja. Mereka gembar-gembor tentang kekejaman PKI. Tentu ada tujuannya, dari gembar gembor itu.

Hal sederhana, foto kekejaman terhadap warga PKI di Magetan dalam Simposium Purnawirawan TNI itu ditampilkan dengan caption foto yang terbalik, seakan itu kekejaman PKI terhadap lawannya. Memeriksa foto saja sudah tidak becus, bagaimana mungkin anda mau menggabungkan pembicaraan kasus 1965 dan kasus 1948  dalam satu lembaran negara?

Tangis Roeslan Abdoelghani setelah diminta menyaksikan pembunuhan massal terhadap warga eks PKI dalam kasus Madiun 1948 di sebuah sekolah (Roeslan Abdoelghani Tokoh Segala Zaman, 2002) mau ditutup-tutupi, kenapa? Fakta sejarah mencatat bahwa Panglima Besar Jenderal Soedirman setelah menyaksikan sendiri kekejaman dalam pembantaian terhadap warga PKI dalam bulan November 1948 juga mau ditutup-tutupi, kenapa? Setelah menyaksikan pembantaian terhadap warga PKI itu, di penghujung November 1948 Soedirman pulang ke rumah, Panglima Besar itu syok dan mengeluh kepada istrinya, dan menurut anaknya yang bernama Muhammad Teguh Bambang (2012), Soedirman mengalami tekanan batin, habis mandi tergolek lemas, sampai-sampai menjalani perawatan di Rumah Sakit Panti Rapih (Tim Tempo, Soedirman, Seorang Panglima, Seorang Martir, 2012, halaman 26).

Jadi untuk apa para purnawirawan jenderal dan konco-konconya ini menutupi kekejaman  terhadap warga PKI dalam kasus Madiun 1948 yang sedemikian kejam itu? 

Kalau soal pemberontakan, katanya PKI memberontak dalam kasus Madiun 1948, benarkah itu? Ini juga soal rumit. Kenyataannya sebelum Perdana Menteri Hatta dan Jenderal Nasution menyerbu Madiun, Letkol Soeharto sendiri (yang kelak menjadi Presiden RI), melakukan penyelidikan di Madiun atas perintah Jenderal Soedirman.  Soeharto sendiri menyimpulkan PKI tidak memberontak dan tidak ada kekejaman-kekejaman di Madiun (Harry Poeze, Madiun 1848, halaman 206).

Pakar militer Prof Salim Said mengungkapkan, Soedirman sendiri menganggap kasus Madiun adalah perkelahian antar laskar yang bisa dilerai. Namun karena perintah Hatta, Soedirman terpaksa ikut menyerbu. Kenapa fakta ini juga mau ditutup-tutupi? 

Banyak hal harus diselidiki tentang Peristiwa Madiun 1948, kita tidak boleh tunduk pada narasi Orde Baru belaka. Apalagi koq mau tunduk pada narasi buku-buku sekolah era Orde Baru karya intelektual-intelektual murahan itu. 

Sekali lagi, membincang Madiun 1948 tanpa membincang kasus 1965, dan membincang masalah 1965 tanpa kasus 1948 adalah sama-sama hal rumit. Bagaimana mungkin anda bisa seenak perutnya mau menggabungkan narasi Madiun 1948 dalam narasi 1965 hanya berdasar narasi purnawirawan TNI lulusan Orde Baru itu? 

Kaki Tangan AS-Inggris

Anda pula mengatakan bahwa, kita selalu berurusan dengan PKI, PKI itu memberontak. Bukan, salah itu! Bagaimana kalau saya balik begini: bangsa ini menjadi berurusan dengan PKI dan bukan partai lain, adalah karena kehendak Amerika dan Inggris, dan faksi TNI tertentu yang menjadi kaki tangan Amerika-Inggris itulah yang selalu menghancurkan PKI dengan cara apa pun ia bisa tempuh.

Mau pembuktian? Mari kita sama-sama buktikan keterlibatan agen-agen Amerika-Inggris ini secara jernih. Silahkan Saudara kumpulkan sejarawan dan intelektual duduk satu meja dengan anda, dan kita membicarakan itu. Dalam kasus Madiun 1948, tentu anda ingat adanya Doktrin Truman sebagai upaya Amerika menghancurkan kaum merah di seluruh dunia. Dalam kasus 1965 anda tentu ingat Perang dingin dan permainan CIA (Central Intelegence Agency) dan kanca-kanca Inggrisnya. Kita di Tanah Air menjadi wayang-wayang adu domba dan purnawirawan TNI baru saja mempertontonkan diri sebagai domba-domba yang tersesat dengan cara menyelenggarakan simposium. Sudah domba, tersesat pula. 

Jadi bagaimana? Jadi saya tetap pada pendapat saya, bahwa pembicaraan soal Madiun 1948 dan Peristiwa 1965 harus dibicarakan secara terpisah. Karena masing-masing mengalami kerumitan-kerumintan sendiri dalam ruang dan waktu serta konteks yang berbeda. Tetapi ada memang ada kesamaan,— semua itu tak lepas dari andil Amerika dan tentara maupun sarjana-sarjana lulusan Barat yang ambil peran dalam usaha-usaha penghancuran persatuan Nasakom (Nasional-Agama-Komunis). Juga tak lepas dari adu domba agen-agen Barat itu pada rakyat sehingga terjadi konflik horizontal yang meluas, dan adu cepat saling bunuh.

Sebagai contoh, anak-anak muda Lakspedam NU dalam penelitian mereka di Blitar menemukan fakta bahwa militer memprovokasi warga kampung NU dengan memberi daftar kiai yang seolah mau dibunuh warga PKI.  Setelah itu tentara juga yang kemudian ke kampung warga PKI dan memberi daftar warga BTI yang seolah mau dibunuh kiai dan santri, sehingga terjadi adu cepat saling bunuh. Karena kampung kiai dan santri yang diberi daftar lebih dulu, mereka menyerbu duluan ke kampung warga PKI. Hal semacam ini biasa terjadi di tahun 1965-1966, juga biasa terjadi di tahun 1948. 

Jangan salah,– bahwa sejarah mencatat bangsa kita segera move on pasca peristiwa Madiun 1948. Secara kenegaraan parlemen masa itu (KNIP) membahas kasus Madiun 1948, dan disadari sama-sama terjadi kekejaman satu sama lain, masing-masing yang bertikai jatuh korban dalam jumlah besar dan mengenaskan. Setelah melalui debat alot, parlemen memutuskan untuk bekerja sama kembali dan tidak saling gugat.

Pemerintah RI sendiri membuktikan dirinya untuk tidak menggugat terhadap “lawannya” di Madiun, dengan menerbitkan Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 7 Sept 1949 yang diteken Menteri Kehakiman Soesanto Tirtoprodjo. 

Penyelesaian Negara

Sewajarnya, versi perihal Madiun 1948 dibebaskan beredar, bukan malah hanya versi Orde Baru saja yang diedarkan. Di era Soekarno, kata Soemarsono dalam Revolusi Agustus (2008), PKI bebas mengemukakan versinya walau PKI di pihak yang kalah.

Nah, kalau kita mau membahas Madiun 1948, mestinya Simposium Purnawirawan TNI berani mengemukakan versi PKI, seperti Simposium Nasional Tragedi 1965 pada tangga 18-19 April 2016 yang semua elemen termasuk warga eks PKI maupun TNI dan lain-lainnya. Ketidakhadiran Menteri Pertahanan dan unsur TNI lainnya bukanlah salah panitia. 

Peristiwa 1948 telah ada penyelesaian negara. Peristiwa G-30S di Lubang Buaya telah diproses hukum di Mahmilub. Tapi bagaimana dengan kekejaman alat-alat negara pasca peristiwa G-30S terhadap korban kekerasan 1965 yang terjadi tahun 1965-1966 yang mereka para korban justru tak tahu-menahu kejadian Lubang Buaya?

Ketika negara ingin membicarakan tanggung jawabnya setelah 50 tahun berlalu, tidaklah pantas membawa-bawa Peristiwa Madiun 1948 dengan versi yang amburadul, untuk kepentingan memprovokasi dan menebar kebencian.

Kita harusnya belajar pada warga NU, anak-anak muda NU, yang move on dan mengajarkan rekonsiliasi kultural atas peristiwa masa lalu, baik di Blitar dan di tempat lain. Kita juga harus belajar pada Ketua Pemuda Pancasila Sulawesi Tengah Rusdy Mastura yang waktu menjadi Walikota Palu melakukan rehabilitasi dan rekonsiliasi pada korban 1965 secara kenegaraan (kepemerintahan daerah).

Juga kita mestinya tak lupa pada upaya yang dilakukan Dahlan Iskan, Mantan Menteri BUMN dan CEO Jawapos yang merekonsiliasi para pihak yang bertikai dalam kasus Madiun 1948 di Magetan, Jawab Timur. Jugta kita mestinya belajar pada mahasiswa, anak-anak muda dan Pemerinttah Daerah di Semarang yang membuatkan makam layak bagi korban di kuburan massal.

Sewajarnya kita belajar pada hal-hal yang sejuk atas peristiwa kekerasan di masa lalu, bukan malah mempermainkan data untuk memprovokasi dan memainkan kekerasan lanjutan, membubarkan diskusi-diskusi bertema sejarah maupun HAM, dan sebagainya. Ketika negara berkehendak mengupayakan pengungkapan sejarah, rehabilitasi, reparasi, dan rekonsiliasi atas kekerasan alat-alat negara di masa lalu, tak sewajarnya anda malah mengobarkan api peperangan dan kerusakan. Sekian, terima kasih. 

*Penulis adalah seorang jurnalis, editor Suara Merdeka dan Koordinator Perkumpulan Masyarakat Semarang (PMS) untuk Hak Asasi Manusia.

 

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru