Gandengan tangan dua anak mantan Presiden RI itu, membuat para hadirin menahan nafas. Sekitar 500-an hadiri yang hadir memusat pada dua sosok, Sukmawati Soekarno Putri, putri Presiden Soekarno dan Hutomo Mandala Putra atau akrab disapa Tommy Soeharto, putera Presiden Soeharto. Terlihat kikuk di saat awal bersalaman, namun tawa lebar keduanya saat mengangkat tangan mencairkan suasana di Gedung MPR. Mereka lebur dalam suasana bahagia bersama undangan yang hadir dalam “Silaturahmi Nasional Anak Bangsa 2010”.
Salaman dan berakhir gandengan tangan itu tidak lain sebagai ungkapan perdamaian mewakili orangtua mereka. Sukmawati danTommy salah satu korban konflik masa lalu. Bersama Amelia Yani, Chaterine Panjaitan, Ilham Aidit, Perry Omar Dhani, Sarjono Kartosuwiryo, tokoh korban konflik masa lalu, peristiwa politik yang sangat langka itu segera diabadikan puluhan wartawan foto dan televisi yang meliput acara itu. Sorotan lampu blitz kamera tak henti selama beberapa menit. Esoknya, foto itu menempati headline Koran Nasional.
Acara yang digagas FSAB ini boleh di bilang menjadi salah satu keberhasilan para anggotanya lantaran berhasil “mendamaikan” Sukmawati dan Tommy. Sukmawati dalam kesaksiannya, menuturkan masa-masa kelam yang dialaminya setelah Peristiwa 1965.
“Saya bersyukur bisa hadir di sini. Untuk ke depan mari kita optimistis, permusuhan dan kekacauan tidak boleh ada lagi.” tegas Sukma. Di akhir testimoninya Sukma menyatakan terima kasih kepada Amelia Yani dan kawan-kawan yang menyelenggarakan Forum Silaturahmi Anak Bangsa.
Setelah Sukmawati, giliran Tommy Soeharto mengatakan bahwa ia melihat Silaturahmi Nasional sebagai forum yang tepat untuk menengok kembali sejarah bangsa yang akibatnya harus ditanggung anak-cucu. Dalam pandangannya, semua kejadian dalam sejarah bangsa merupakan bagian dari hukum sebab akibat yang harus diterima. “Marilah kita terima bagian baik dan buruknya bangsa dan berharap jangan sampai terulang kembali. Kita tidak bisa mengubah sejarah, tapi kita bisa mengubah masa depan bangsa kita sendiri dengan bahu membahu membangun bangsa,” kata Tommy.
Dia berharap, pertemuan silaturahmi tidak hanya berlangsung setahun sekali, tapi berlanjut ke hubungan sosial, budaya dan ekonomi. Dia akhir kesaksiannya, dia meyampaikan permohonan maaf. “
Atas nama pribadi saya mengucapkan maaf lahir batin. Semoga Tuhan yang Maha Esa memberikan ridho-Nya bagi kita semua.” Ucapan permohonan maaf itu disambut dengan tepuk tangan para undangan.
Catherine Panjaitan (putri Mayjend TNI (anumerta) Donald Isaac Panjaitan) yang baru saja masuk FSAB menjelang diselenggarakannya Silatnas 2010 ikut memberi kesaksiannya. Demikian pula, Perry Omar Dani (putra Marsekal Omar Dani/mantan KASAU). Sebagian Chaterine dapat dibaca dalam judul (Cerita Chaterine Pandjaitan Tentang Penderitaan).
Ilham Aidit (putra Ketua CC PKI DN Aidit) pada awal kesaksiannya menceritakan kepedihan masa kecilnya yang tak berani memakai nama sang ayah. “Setiap akan menuliskan nama lengkapnya, saya selalu berhenti ketika akan menuliskan Aidit.” Dia harus merelakan mencopot nama sang ayah agar bisa menjalani hari-harinya tanpa dikaitkan dengan sosok ayahnya.
Tapi tak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan itu sendiri. Nama Aidit tersemat di akhir nama Ilham justru ketika dia hadir dalam pertemuan FSAB. Dia dipanggil Ilham Aidit sejak memasuki FSAB. “Mereka memperkenalkan nama lengkap saya. Itu terjadi setelah saya berumur 44 tahun,” ujar Ilham yang berprofesi sebagai arsitek.
Pada kesaksiannya ini, Ilham menyinggung soal rekonsiliasi. Menurut Ilham, rekonsiliasi sesulit apapun harus dilakukan oleh semua elemen bangsa. Ia mengutip Desmon Tutu yang menyatakan “no future without forgiveness”, tak ada masa depan tanpa saling memaafkan. Desmon Tutu adalah pastor di Afrika Selatan, salah seorang yang mendukung rekonsiliasi etnis hitam dan putih di negara yang pernah menjalankan politik rasialis itu. Di Afrika Selatan, tokoh besarnya Nelson Mandela yang dihukum lebih dari 20 tahun kemudian memaafkan penghukumnya sehingga terjadi rekonsiliasi.
Meski begitu, Ilham menganggap untuk sampai pada rekonsiliasi banyak syarat yang harus dipenuhi. Dia menggarisbawahi dua hal yang hendak dicapai dalam rekonsiliasi yakni rehabilitasi dan pencabutan pasal-pasal yang telah diundangkan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 32/1981. Isinya melarang mereka yang terlibat dalam G30S, baik langsung maupun tak langsung, untuk menjadi pegawai negeri, guru, tentara, polisi, dan masuk ke lembaga tinggi negara.
“Kami sudah membicarakan hal ini dengan Ketua MPR RI Taufiq Kiemas,” jelas Ilham.
Peristiwa G30S dan peristiwa yang menyusulnya memang sebuah sejarah yang kelam, yang hingga kini terdapat beberapa versi. Beberapa ahli pesimistis bahwa kebenaran peristiwa ini bisa diungkapkan secara akurat. Sarjono Kartosuwiryo memiliki kisah tersendiri pula. Pria yang kini jadi juragan sebuah angkutan kota itu mengaku nama Kartosuwiryo telah ditenggelamkan lawan politiknya. Semua harta benda yang ditinggalkan ayahnya telah dirampas oleh sejumlah pihak.
”Saya hanya dapat bagian 10 persen saat itu,” kata Sarjono. Meski hidup di garis kemiskinan, Sarjono mengaku menikmati kehidupannya. Selama bertahun-tahun ia mencari kuburan sang ayah yang beritanya simpang siur. Bukti yang paling otentik ia peroleh bahwa kuburan Kartosuwiryo ada di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu.
Kesaksian anak-anak para korban yang penuh derita itu mengharu biru perasaan dan pikiran para hadirin yang memadati Ruang Nusantara V Gedung MPR RI. Tapi suasana kesedihan kemudian diselingi tawa terpingkal-pingkal ketika Sarjono melanjutkan kesaksian dengan kocak. Sarjono mengaku di lingkungan keluarga besar Kartosuwiryo cuma dia yang berani mencantumkan nama sang ayah. “Ternyata itu menjadi modal dan hikmah tersendiri karena saya kemudian bisa berpidato di podium yang biasa digunakan untuk Ketua MPR RI Taufiq Kiemas. Tidak pernah saya terbayang bisa berada di tengah-tengah sini,” ujarnya bangga.
Kepandaian Sarjono mencairkan suasana dengan gaya ironi dan satire tersebut membuat pengamat politik Yudi Latif yang bertindak sebagai moderator berseloroh juga mengatakan Sarjono mengidap kelainan genetik sebab ayahnya SM Kartosuwiryo sepanjang hidupnya dikenal sebagai sosok serius. Demikianlah suasana haru dan tawa bahagia mewarnai Ruang Nusantara V Gedung MPR RI. Di situ perwakilan keluarga yang pernah terlibat konflik sepanjang sejarah kemerdekaan RI merasa sama-sama menjadi korban. Karena itu mereka sepakat menghapus dendam dan saling memaafkan untuk bekerja sama menatap masa depan dengan harapan silaturahmi bisa menjadi titian menuju rekonsiliasi nasional yang sesungguhnya.
Hal menarik lainnya dalam acara tersebut adalah tampilnya mantan Tapol dari Pulau Buru yang dikenal oleh Amelia Yani ketika ia pernah berkampanye di Pulau Buru. Mantan Tapol tersebut memberikan testimoni bahwa dia tidak terlibat G30S, hanya terkena dampak lingkungan. Walaupun begitu dia tidak mendendam. Sekarang dia tidak mau ke luar dari Pulau Buru yang sudah subur dan makmur, dia tidak ingin meminta ganti rugi, malah mensyukuri semuanya itu sebagai rencana dan anugerah Allah SWT. Selain dari anak-anak korban konflik, kesaksian juga datang dari unsur Eksponen Angkatan ’66 yang diwakili oleh Cosmas Batubara (ex Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia-KAMI), dan dari Unsur Masyarakat, yaitu Tri Chandra (Majelis Syarikat Indonesia)
Akbar Tanjung mewakili eksponen ’66 mengatakan, konflik yang terjadi di tanah air adalah akumulasi dari keresahan masyarakat yang bila ada masalah, langsung memicu kejadian dan konflik. Bangsa ini tentu tidak boleh membiarkan konflik itu terjadi. Aparat tidak boleh ragu mengambil tindakan hukum terhadap mereka yang melakukan pelanggaran dan menentang hukum. “Apa pun alasannya, jangan diperbolehkan, apa pun latar belakangnya. Kalau melanggar aturan, ambil tindakan dan jangan ragu-ragu. Lakukan pengelolaan konflik dengan baik sehingga tidak mengganggu sendi-sendi bangsa ini,” kata Akbar.
Setelah menggelar silaturahmi dan menyampaikan testimoni dan kesaksian, sejumlah tokoh menandatangani pernyataan bersama, antara lain Ketua dan Wakil Ketua MPR, keluarga besar FSAB, keluarga Bung Karno (Sukmawati Sukarnoputri), keluarga Suharto (Hutomo Mandala Putra), Eksponen Angkatan ‘66 (Adnan Buyung Nasution, Cosmas Batubara, Akbar Tanjung, Tatto S. Prajamanggala), serta undangan yang hadir.
*Judul asli artikel ini adalah ‘Luka Telah Disembuhkan’, ditulis oleh Bernada Triwara Rurit, Nina Pane dan Stella Warouw dalam buku kumpulan tulisan yang berjudul The Children Of War oleh Forum Silahturahmi Anak Bangsa (FSAB) yang di terbitkan oleh Penerbit Buku Kompas, Juni 2013.