JAKARTA – Bertempat di Beranda Garuda Rakyat, lembaga Jacartanicus yang bergerak di bidang kesenian dan penerbitan Ultimus Bandung, menyelenggarakan acara bertema Puisi dan Kebenaran di Jakarta, sabtu (25/3). Ini dalam rangka merespon Inpres 2/2023 dan Keppres 4/3023 yang diterbitkankan Presiden Jokowi, 15 Maret 2023. Acara ini diharap untuk menjelajahi kemungkinan kontribusi puisi karya seniman penyintas 65 mengungkap sejarah pelanggaran ham masa lalu.
Pembacaan puisi oleh Toto Muryanto, Putu Oka Sukanta, Toga Tambunan, dan Astaman Hasibuan menjadi pembuka kegiatan tersebut, yang membawa perasaan dan perhatian para peserta acara yang memenuhi ruangan, terdiri dari aktivis 98, generasi muda, mahasiswa, akademisi ke situasi kelam peristiwa 65.
Nampak hadir Danial Indrakusuma, Martin Aleida, Dolorosa Sinaga dan Garda Sembiring.
Nara sumber Yoseph Yapi Taum, dosen Fakultas Sastra UGM; Soe Tjhen Marching, Penulis dan Feminis, dosen senior dalam bidang Bahasa dan Kebudayaan di SOAS University of London dan
Afnan Malay, Penyair.
“Upaya pemerintah non-judisial dapat menutup yudidial sehingga rekonsiliasi tidak terjadi. Kita mesti mempunyai strategi untuk pengungkapan ini dan saya yakin sastra bisa sebagai jalan kebenaran, dimana sastra merupakan pengetahuan dan pengalaman kemanusiaan melalui kenikmatan estetik (esthetic enjoyment) yang membuat manusia (pembacanya) merefleksikan kehidupannya sendiri dalam perspektif bentuk hidup yang lain,” Yoseph Yapi Taum, memaparkan
Meski demikian, dia menuturkan, masih adanya tantangan dalam menjelaskan kebenaran ini.
“Saya mengakui betapa kompleksnya peristiwa 1965, betapa sulitnya mengungkap kebenaran tentang apa yang terjadi pada waktu itu dan betapa sensitifnya isu yang menyangkut “PKI”, apalagi mewujudkan rekonsiliasi yang sudah merupakan jalan buntu.
Tragedi 1965 mungkin selamanya akan menjadi medan tarik ulur kebenaran sejarah, ucapnya.
“Saya yakin, dengan kata-kata kita dapat mengungkapkan kebenaran, perkembangan teknologi yang ada tentu saja mampu menjadi wadah menyebarluaskan hasil-hasil sastra ini” ujar Soe Tjhen Marching,
Afnan Malay, Penyair berdiam di Jogyakarta menyatakan pesimis akan pengungkapan peristiwa 65, terkait waktu sudah sangat lama lewat tetap saja tidak ada penyelesaian. Berbeda dengan Chili, hanya beberapa tahun saja, dapat ditetapkan pelakunya kejahatan HAM.
“Sudah sebaiknya puisi-puisi yang tadi disampaikan kepada masyarakat ini sebagai identitas para korban ’65 dalam memaparkan kebenaran dan juga perlu diketahui oleh keturunan-keturunannya,” sambung Afnan Malay,
Diskusi ditutup dengan rasa pesimis penyelesaian tuntas kebenaran peristiwa 1965, secara hukum formal. Tetapi memiliki peluang dengan adanya keputusan pemerintah. Peran sastra-sastra ini juga merupakan catatan penting, mempunyai kekuatan besar dalam menyentuh kemanusiaan (Bunga)