JAKARTA– Pengamat pertahanan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Ahmad Yani Bandung, Dr Connie Rahakundinie Bakri, mengingatkan pemerintahan Presiden Indonesia, Joko Widodo, untuk lebih dinamis di dalam menghadapi supremasi AUKUS di Asia Timur.
Hal itu dikemukakan Connie Rahakundinie Bakrie, Kamis pagi, 23 September 2021, menanggapi posisi apa yang mesti ditempuh Indonesia, setelah AUKUS, pakta keamanan trilateral antara Australia, Britania Raya, dan Amerika Serikat yang didirikan pada 15 September 2021.
AUKUS adalah singkatan dari Austalia, United Kingdom (Inggris), dan United States (Amerika Serikat).
Dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa, 21 September 2021, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Retno Marsudi, menegaskan inisiatif pertahanan AUKUS, dapat mengancam stabilitas kawasan.
Connie Rahakundinie Bakrie mengingatkan Indonesia perlu segera menata merubah diri dari pendekatan reaktif sederhana defensive defence untuk fokus menuju pendekatan offensive pasive defence yang lebih dinamis, untuk mendorong visi Poros Maritim Dunia yang mampu menghadapi supremasi AUKUS atau apapun yang kelak akan muncul.
Indonesia, kata Connie Rahakundinie Bakrie, perlu menambahkan air-space defence & maritime defense elementsdimana gerak kekuatan dan postur Tentara Nasional Indonesia (TNI) lebih dapat difokuskan kearah Utara, Timur dan Barat.
Ini bertujuan untuk dapat langsung menghadapi ancaman yang terjadi dikawasan dan wilayah perairan erta ruang udara dan angkasa Samudera Pasifik dan Samudera Hindia selain mempersiapkan kekuatan dan postur TNI ke arah Selatan untuk menghadapi tantangan kelangkaan food, water & energy security bagi terwujudnya masa depan Indonesia yang berkelanjutan
“Maka diharapkan kementrian Luar Negeri dan Kementrian Pertahanan dapat segera duduk bersama menyusun roadmap baru politik luar negeri dan pertahanan menuju ke pencapaian target untuk “berada di dua samudera” dalam antisipasi risiko ancaman dari persaingan langsung gelar dan proyeksi kekuatan di kawasan yang segera akan dimulai oleh hadirnya AUKUS.”
“Makna atas supremasi negara adalah negara harus bebas membuat pilihan keamanan, politik, diplomatis, dan ekonomi bebas dari paksaan eksternal dalam bentuk apapun,” kata Connie Rahakundinie Bakrie.
Jelaslah, memiliki proyeksi kekuatan yang lethal, efektif dan efisien akan membawa implikasi nyata dalam perubahan struktur sistem pertahanan, menjadi sebuah singleunit defense system yang didahului dengan perombakan doktrin inward looking defence/defensive active menjadi outward looking defence/offensive passive.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, dikatakan Connie Rahakundini Bakrie, Keterbatasan anggaran yang mengakibatkan dibangunnya kekuatan pertahanan negara dan TNI berbasis ketersediaan anggaran adalah suatu “excuse usang”.
“Ini,” menurut Connie Rahakundinie Bakrie, “Harus diakhiri segera mengingat potensi dan posisi geostrategis Indonesia yang merupakan comparative advantage (tidak dimiliki oleh banyak negara) segenap penduduk, lautan beserta Sea Lanes Of Communications (SLOC) dan Sea Lanes Of Trades (SLOT), ruang dirgantara dan seluruh ruang permukaan daratan Indonesia yang demikian strategis dan merupakan kunci atas segala kunci keamanan kawasan.”
Pemerintah Indonesia mengkhawatirkan ketegangan di antara negara-negara besar di kawasan Indo-Pasifik, setelah pengumuman inisiatif pertahanan antara Australia, Inggris, dan Amerika Serikat (AS), yang dikenal dengan AUKUS.
“Saya singgung mengenai AUKUS dan keputusan Australia untuk pengadaan kapal selam bertenaga nuklir,” kata Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Retno Marsudi ketika menyampaikan keterangan pers secara virtual dari New York, AS pada forum Asia Society, pada Selasa, 21 September 2021, sebagaimana dikutip Kantor Berita Nasional Indonesia, Rabu, 22 September 2021.
Melalui kemitraan baru tersebut, Australia akan mendapatkan teknologi pembuatan kapal selam bertenaga nuklir guna memperkuat angkatan lautnya.
Kesepakatan AUKUS dianggap bertujuan untuk menyaingi kekuatan China yang semakin meningkat di kawasan.
Selain itu, kesepakatan baru Australia dengan Inggris dan Amerika Serikat juga telah memicu kemarahan Prancis, yang sebelumnya memiliki perjanjian dengan Australia soal pembelian kapal selam konvensional.
Menteri Luar Negeri Indonesia, mengatakan bahwa Indonesia mencatat komitmen-komitmen yang dinyatakan Australia, termasuk janji negara itu untuk terus menghormati prinsip nonproliferasi dan hukum internasional.
“Tetapi saya menekankan bahwa yang tidak diinginkan oleh kita semua adalah kemungkinan meningkatnya perlombaan senjata dan power projection atau unjuk kekuatan di kawasan,” kata Retno Marsudi. (Aju)