JAKARTA- Kementerian Keuangan mengklarifikasi hasil riset lembaga asal AS, AidData yang mengungkapkan utang tersembunyi Indonesia kepada Cina mencapai US$ 17,28 miliar atau setara Rp 266 triliun terkait proyek jalur sutera baru. Pemerintah menyebut, utang ini adalah pinjaman nonpemerintah yang jika wanprestasi memang beresiko pada keuangan pemerintah.
“Hidden debt versi AidData tak dimaksudkan sebagai utang yang tak dilaporkan atau disembunyikan,” ujar Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo melalu akun Twitternya, Jumat (5/10).
Ia menjelaskan, utang tersebut dihasilkan dari skema business to business (b to b) yang dilakukan dengan BUMN, bank milik negara, special purpose vehicle, serta perusahaan patungan dan swasta. Utang BUMN tidak tercatat sebagai utang pemerintah dan bukan bagian dari utang yang dikelola pemerintah.
“Demikian juga utang oleh perusahaan patungan dan swasta tidak masuk dalam wewenang pemerintah. Jika pihak-pihak tersebut menerima pinjaman, maka pinjaman ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab mereka,” kata dia.
Meski demikian, Yustinus menekankan, tata kelola Indonesia terhadap utang luar negeri kredibel dan akuntabel. Penarikan utang luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah, BUMN, dan swasta tercatat dalam Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI).
“SULNI disusun dan dipublikasikan secara bulanan oleh Bank Indonesia bersama Kementerian Keuangan,” kata dia.
Berdasarkan data SULNI per akhir Juli 2021, total ULN Indonesia dari Cina mencapai US$ 21,12 miliar. Ini terdiri dari utang yang dikelola pemerintah sebesar US$ 1,66 miliar atua 0,8% dari total ULN pemerintah, serta utang BUMN dan swasta dengan total mencapai US$ 19,46 miliar.
“Dalam konteks Indonesia, tidak tepat jika terdapat ULN (termasuk pinjaman Cina) yang dikategorikan sebagai utang tersembunyi. Semua ULN yang masuk ke Indonesia tercatat dalam SULNI dan dapat diakses publik,” kata dia.
Terkait utang BUMN yang dijamin, Yustinus menjelaskan, utang tersebut dianggap kewajiban kontinjensi pemerintah. Kewajiban kontinjensi tidak akan menjadi beban yang harus dibayarkan Pemerintah sepanjang mitigasi risiko gamal bayar dijalankan. Saat ini, tak ada proyek yang dijamin pemerintah berstatus gaga bayar.
Menurut Yustinus, kewajiban kontinjensi memiliki batasan maksimal penjaminan oleh pemerintah. Batas maksimal pemberian penjaminan baru terhadap proyek infrastruktur yang diusulkan memperoleh jaminan pada 2020 – 2024 sebesar 6% terhadap PDB 2024.
“Dengan tata kelola seperti ini, mitigasi risiko dilakukan sedini mungkin dan tidak akan menjadi beban pemerintah, apalagi beban yang tak terbayarkan,” ujarnya.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, berdasarkan laporan AidData yang dirilis akhir bulan lalu, ambisi Cina untuk membuat jalur sutera baru yang dikenal Belt and Road Initiative (BRI) mendorong puluhan negara menumpuk ‘utang tersembunyi’ mencapai US$ 385 miliar. Salah satunya adalah Indonesia yang memiliki utang tersembunyi sebesar US$ 17,28 miliar atau setara Rp 266 triliun.
Utang tersembunyi Tiongkok ke Indonesia ini diberikan sepanjang 2000-2017. Nilainya setara 1,6% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Di luar dari utang tersembunyi tersebut ini, Indonesia juga diketahui telah menerima pinjaman senilai US$ 4,42 miliar atau setara Rp 63 triliun pada periode yang sama melalui skema Official Development Assistance (ODA), serta pinjaman melalui skema Other Official Flows (OOF) sebesar US$ 29,96 miliar atau setara Rp 427 triliun. Indonesia termasuk 10 negara penerima pinjaman terbesar dari Tiongkok melalui dua skema tersebut.
AidData merupakan laboratorium penelitian pengembangan internasional yang berbasis di Virginia’s College of William & Mary. Lembaga ini menganalisis 13.427 proyek pembangunan Tiongkok senilai total U$ 843 miliar di 165 negara selama periode 18 tahun hingga akhir 2017 untuk mengungkap besaran utang tersembunyi dari proyek BRI.
AidData mendefinisikan utang tersembunyi sebagai utang yang diberikan oleh Tiongkok kepada negara berkembang bukan melalui pemerintahan negara peminjam, melainkan melalui perusahaan negara (BUMN), bank milik negara, Special Purpose Vehicle (SPV), perusahaan patungan dan lembaga sektor wasta.
Mayoritas dari utang tersebut biasanya tidak akan muncul dalam neraca utang pemerintah. Dengan demikian, utang ini tidak akan masuk dalam sistem pelaporan utang yang dibuat oleh lembaga keuangan dunia seperti Bank Dunia maupun Dana Moneter Internasional (IMF). Kendati demikian, utang ini dapat menjadi beban pemerintah apabila terjadi wanprestasi. (Calvin G. Eben-Haezer)