JAKARTA- Pada 9 Desember 1998 Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengesahkan Deklarasi Hak dan Tanggung Jawab dari Para Individu, Kelompok, Organ Masyarakat untuk Memajukan dan Melindungi Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental yang Diakui secara Universal. Deklarasi ini kemudian dikenal sebagai Deklarasi Pembela HAM dan secara garis besar memuat dua maklumat.
Pertama, pengingat pentingnya pemenuhan hak terhadap setiap individu dan kelompok yang memperjuangkan HAM.
Kedua, perintah kepada negara untuk melindungi setiap individu dan kelompok yang memperjuangkan HAM secara institusional dan administratif.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, sayangnya, perlindungan terhadap Pembela HAM di Indonesia belum dilakukan secara menyeluruh. UU 39/ 1999 tentang HAM dan beberapa peraturan sektoral lainnya belum sepenuhnya memberikan perlindungan pada pembela HAM.
Hal ini disampaikan dalam joint statement Koalisi Pembela HAM yang terdiri dari Amnesty International Indonesia, ELSAM, Greenpeace, ICEL, Imparsial, Institute for Women’s Empowerment, Kemitraan, KontraS, LBH Pers, SAFEnet, YLBHI, YPII
“Faktanya, serangan kepada Pembela HAM kian meningkat setiap tahunnya pada jumlah maupun ragam kekerasannya,” ujar Damairia Pakpahan dari YPII.
Pada tahun 2019 YPII mencatat Pembela HAM yang mengalami kekerasan mencapai 290 orang. Pada tahun 2020. Amnesty International mencatat 253 orang dan pada tahun 2021 jumlah korban mencapai 297 orang. Jika dilihat dari isu sektoral, sepanjang 2020
ELSAM mencatat ada 178 Pembela HAM di isu lingkungan yang mengalami kekerasan dan 2 diantaranya meninggal akibat pembunuhan.
“Pada periode Januari-Agustus 2021 ada sebanyak 95 korban individu dan kelompok mengalami ancaman dan kekerasan,” demikian Villarian Burhan dari ELSAM.
Damar Juniarto dari SAFEnet menjelaskan jika dilihat dari bentuknya, ada beragam bentuk kekerasan dan ancaman yang terjadi pada Pembela HAM yang meningkat tajam yaitu pada serangan digital, kriminalisasi dengan menggunakan pasal karet dan serangan berbasis gender.
SAFEnet mencatat 147 insiden serangan digital sepanjang 2020, puncak serangan terjadi saat penolakan Omnibus Law di bulan Oktober 2020.
“Sedangkan di tahun 2021 (per November), terjadi 120 insiden dan puncaknya adalah serangan terjadi pada bulan Mei yang menyasar aktivis anti korupsi dari Indonesia Corruption Watch dan mantan anggota KPK yang dipecat karena tidak lulus TWK,” katanya.
Sementara itu upaya kriminalisasi terhadap Pembela HAM terus berlangsung. Kasus terbaru yang menjadi perhatian publik adalah kasus Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar. Pun halnya teror bahan peledak yang menimpa kekuarga pembela HAM, Veronica Koman.
“Serangan pada pembela HAM acap terjadi ditujukan pada keluarga dan kerabat dekat yang tidak terlibat dalam advokasi yang dilakukan pembela HAM tersebut,” jelas M. Isnur dari YLBHI.
Mona Ervita dari LBH Pers mengatakan jurnalis dan media sebagai pilar demokrasi pun tidak terbebas dari serangan dan potensi kriminalisasi karena pekerjaannya sebagai jurnalis.
“Misalnya kasus yang menimpa Asrul di Palopo dan Nurhadi di Surabaya,” ujarnya.
Ririn Sefsani dari Kemitraan mengevaluasi strategi pembangunan rezim Jokowi yang berorientasi infrastruktur, ekonomi dan investasi, memperburuk situasi perlindungan dan keamanan Pembela HAM, Karena acap mengabaikan HAM bahkan memperluas konflik dan melanggengkan serangan pada Pembela HAM.
“Sementara itu dari segi aktor pelaku penyerangan, Komnas HAM mencatat bahwa Kepolisian menjadi pihak yang sering diadukan sebagai pelaku dalam kasus pelanggaran HAM,” katanya.
Asep Komarudin dari Greenpeace Indonesia mengatakan, ditetapkannya tanggal 7 September 2021 sebagai Hari Pembela HAM Nasional sesungguhnya menjadi harapan baik, untuk menghormati dan memenuhi hak-hak Pembela HAM. Ini melahirkan usulan kebijakan perlindungan pada pembela HAM, misalnya UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
“Pada pasal 66 dalam undang-undang itu memerintahkan pejuang lingkungan tidak dapat dipidanakan meskipun kebijakan turunanya dalam bentuk Permen Anti-SLAPP belum terealisasi,” tegasnya.
Namun kemudian mekanisme anti-SLAPP ini bisa diperkuat lagi dengan menghentikan SLAPP sedini mungkin.
“Anti-SLAPP dalam pembelaan HAM secara umum menjadi penting untuk diadopsi dalam Revisi UU 39/1999 Tentang HAM agar perlindungan kepada Pembela HAM terhadap serangan hukum menjadi lebih utuh,” katanya.
Ardimanto Saputro dari Imparsial mengatakan tak luput juga Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal-Pasal Tertentu dalam UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) harus diimplementasikan secara lebih tegas untuk mengerem laju kasus kriminalisasi terutama di tingkat penyidik dan kejaksaan agar lebih selektif dalam menilai sebuah tindak pidana.
Mendesak Pemerintah
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, berdasarkan uraian tersebut dan bertepatan dengan hari Pembela HAM Internasional, kami dari Koalisi Pembela HAM mendesak
Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin mewujudkan perlindungan dan keamanan bagi Pembela HAM dan menyetujui menjadikan 7 September sebagai hari Pembela HAM Nasional.
DPR-RI diminta perlu meneguhkan komitmen dan janji politik untuk melakukan revisi UU HAM No.39/1999 dalam Prolegnas 2022 dengan memasukkan ketentuan perlindungan pada Pembela HAM.
Pemerintah dan DPR-RI agar melakukan amandemen pada UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan mencabut pasal karet di berbagai undang-undang yang seringkali digunakan sebagai alat mengkriminalisasi Pembela HAM.
Aparat penegak hukum khususnya Kepolisian dan Kejaksaan agar menerapkan prinsip anti-SLAPP dalam penanganan perkara Pembela HAM.
Andi Muhamad Rezaldy – KontraS menuntut agar Komnas HAM segera melakukan diseminasi SNP No. 6 tentang Pembela HAM ke seluruh jajaran Kementerian dan Kelembagaan dan menerbitkan revisi Peraturan Komnas HAM No. 5/2015 tentang Prosedur Perlindungan Pembela HAM.
“Percepat penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap Pembela HAM, khususnya menetapkan kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran berat HAM,” tegasnya. (Web Warouw)