JAKARTA- Menjadi aktivis jangan sampai terpengaruh membawa agenda asing. Hal ini ditegaskan Budiman Sudjatmiko, mantan kader PDIP dan mantan Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD) saat melawan Orde Baru, dalam wawancara yang dimuat di akun youtube COKRO TV dan dikutip Bergelora.com di Jakarta, Selasa (20/2).
“Dengan itu aktivis jangan terpengaruh asing. Jangan ngikuti asing. Jangan dikit-dikit agenda asing. Kenapa? karena beberapa isu bisa jadi memang cara untuk mengikat bangsa kita supaya kita tidak terbang (maju-red),” tegasnya.
Budiman memberi contoh pada hilirisasi nikel dan sawit yang banyak dikritik dan ditolak oleh negara-negara Eropa dan Amerika.
“Boleh kritik soal lingkungan kelapa sawit misalnya. Eropa ingin kelapa sawit kita jangan sampai dijual karena dianggap merusak lingkungan muncullah aktivis-aktivis Indonesia yang oke enggak apa kritik, enggak ada masalah. Tapi you harus berpikir independen. Jangan karena didanai untuk sekedar membawa peran yang diinginkan oleh Eropa untuk menghambat produk CPO kita. Jangan sampai ke arah sana,” ujarnya.
Video wawancara lengkap Budiman Sudjatmiko klik dibawah ini:
“Juga soal nikel, ya kita perbaiki kita harus perbaiki tapi jangan masukan agenda asing,” tegas mantan Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD) ini.
Budiman juga menyoroti kritik terhadap proses demokrasi saat di tahun Pemilu 2024 yang baru saja berlangsung.
“Kedua, soal demokrasi misalnya soal kritik-kritik teman-teman itu valid sah segala macam. Tapi jangan juga kemudian mengatakan bahwa proses demokrasi kita sudah sangat melenceng dan sehingga kemudian Presiden harus dimakzulkan. Rekomendasi mereka kan sebagian sangat radikal Presiden harus dimakzulkan. Siapa yang untung ketika satu saat terjadi chaos di republik ini ketika pemilihan demokratis kita terhambat,” ujarnya.
Budiman mengakui demokrasi di Indonesia belum sempurna, bahkan jauh dari sempurna.
“Meskipun belum sempurna memang pasti jauh dari sempurna. Saya juga belum puas. Tapi jangan sampai pada masuk agenda-agenda asing seperti itu saat kita sudah berhasil mencontohkan pada dunia,– di negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, kita bisa menjalankan demokrasi liberal, one person one vote selama 25 tahun terakhir. Ini nyaris tanpa kekerasan politik ya. Tidak ada pembunuhan politik di tempat kita. Tidak ada kekerasan-kerasan politik yang sangat luar biasa at least 25 tahun terakhir ini,” tegasnya.
Ia mengingatkan hingga saat ini bangsa Indonesia tetap bersatu dan harus terus dijaga karena ada agenda masa depan yang lebih baik lagi bagi rakyat Indonesia.
“Bangsa kita juga enggak terpecah belah. Itu sesuatu yang susah loh, tapi kita bisa tunjukkan bahwa kita bisa. Nah jangan sampai masuk agenda asing. Karena kita punya agenda. Bahwa demokrasi ini kita jalankan tapi jangan juga sampai seperti Amerika Latin,” ujarnya.
Budiman menjelaskan, ternyata mazhab ekonomi liberalistis atau sosialistis pada akhirnya semuanya akan ke tengah. Untuk ke tengah itu butuh proses pendewasaan dan pematangan pendewasaan dan pematangan.
“Mazhab ekonomi apapun itu butuh satu generasi. Persis yang terjadi di banyak negara berkembang khususnya Amerika Latin. Kenapa mereka terjebak terjerembab sebagai negara berkembang terus?”
“Karena baik ketika presidennya lagi jalankan neoliberalisme atau saat Presiden menjalankan sosialisme mereka hanya dikasih dua periode saja. Dua periode ketika belum matang sudah ganti ke kiri ke sosialis. Sosialis sudah mulai matang nih di zaman Lula di Brazil diganti ke kanan. Maka kadang-kadang Amerika Serikat juga dukung presiden kiri di Amerika Latin. Kemarin Biden dukung Lula supaya menang, supaya jangan sampai programnya si Bolsonaro yang kanan itu matang. Nanti suatu saat dua periode Lula nih dipenggal lagi. Amerika akan dukung kanan lagi. Karena ditakuti oleh negara maju yang ingin mempertahankan dominasinya. Boleh ke tengah tapi dalam tuntunan gua. Begitu sudah mau matang ke tengah gua ganti ke kanan sehingga masuk ke periode kekanak-kanakan lagi. Setiap ideologi kan kayak manusia punya periode kekanak-kanakannya. Mau matang butuh 4 periode, kita kembalikan ke arah kanan. Gitu aja,” jelasnya.
Itulah menurut Budiman menjelaskan mengapa negara-negara Amerika Latin demokrasinya setelah 40 tahun demokrasi liberal, sumber daya manusia juga sudah baik tapi tidak bisa menjadi negara industri maju.
Ia mengingatkan bahwa negara-negara maju di Eropa dan Amerika tidak menginginkan negara seperti Indonesia memiliki pemimpin yang kuat, cerdas dan berani.
“Nah, saya melihat negara berkembang itu kayak enggak boleh punya pemimpin dengan tiga kriteria ini. Kalau ada cenderung yang berani usahakan dia jangan cerdas deh nanti kita supply kita ekspose di media asing kalau dia cerdas. Usahakan jangan berani deh. Caranya gimana ya kita dukung dia supaya ngomong di chatam house dimuat di foreign policy. Cerdas kan tapi yang penting jangan berani deh. Ikut agenda kita aja oke. Ya suruh ngomong di Kongres Amerika suruh ngomong difasilitasi kalau perlu. Eh tapi sudah ada yang berani dan cerdas ya udah terlanjur, kalau gitu usahakan dia jangan berpikir strategis deh,” paparnya menilai nadib negara-negara berkembang dimata negara maju. (Web Warouw)