YOGYAKARTA- Gubernur DIY Sri Sultan HB X mengisyaratkan akses pemanfaatan tanah SG bagi keperluan permukiman masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di Bantul selatan.
Menanggapi hal tersebut anggota Dewan Kebudayaan DIY, Prof Ir. Bakti Setiawan, yang peneliti UGM menandaskan pentingnya keamanan bermukim atau defensible life space warga Yogja.
Menurutnya, pemerintah berkesempatan mengoreksi pasar tanah melalui program perluasan akses lahan berbasis MBR secara swadaya dan mandiri. Saat ini lonjakan spekulasi harga kian meroket petak demi petak. Kompleks lahan jatuh ke tangan orang kaya dari luar Yogya. Padahal tiga perempat warga kota masih bergantung permukiman informal rumah swadaya hingga akhirnya terwujud kampung.
“Tata ruang dalam lingkup keistimewaan DIY tertuang pada Perdais No. 2 tahun 2017 dan mendasarkan obyek lahan pada Perdais No. 1 tahun 2017 tentang pemanfaatan kelola tanah SG dan PAG dengan tujuan kesejahteran masyarakat lokal”, kata Prof Bobi, pada Sabtu,6 Mei 2023 di bilangan Sleman dalam acara bincang bersama komunitas pegiat permukiman gotong royong.
Prakarsa Sri Sultan HB X diterjemahkan perkumpulan Arsitektur Komunitas (ARKOM) dengan terobosan model partisipatoris warga pinggir sungai Gajahwong dan Winongo melalui kelompok tabungan pemukim Paguyuban Kalijawi. Permukiman Gotong Royong atau PERGOTO menjadi roadmap merealisasikan kesejahteraan dan keamanan bermukim warga MBR sesuai amanat Peraturan Daerah Keistimewaan (Perdais) 2017.
Senada disampaikan Dr Achmad Uzair, sosiolog perkotaan dari UIN SUKA Yogyakarta, menanggapi perintah Sri Sultan HB X bukan saja bertujuan memitigasi persoalan ketersediaan lahan melainkan juga pemberian izin (permission to use) permukiman layak yang berkeadilan sesuai pesatnya pertumbuhan kampung kota.
Keamanan bermukim dengan kejelasan pemanfaatan akses lahan MBR menjadi syarat mengubah status warga miskin dari yang semula ilegal dan marjinal menjadi warga kota bermartabat memperoleh layanan pemerintah. Di kota Yogya pada 2021 masih terdapat 114 hektare masuk kategori kawasan kumuh ringan yang pemberdayaan permukimannya belum tersentuh optimal.
Kepada Bergelora.com di Yogyakarta dilaporkan, tercatat sebanyak 23.47 persen rumah tangga di DIY mendiami rumah bukan milik sendiri. Sedikitnya butuh 250.000 rumah guna mengatasi kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan rakyat. Backlog perumahan ini kiranya tidak cukup diatasi dengan ketersediaan lahan tapi sekaligus akses bagaimana rakyat menjangkau terpenuhinya hak bermukim yang aman (Hari Subagyo).