JAKARTA- Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyikapi vonis ringan Peradilan Militer I-02 Medan, Kematian Prada Lucky, dan Penambahan Kodam Baru dalam rilis yang diterima Bergelora.com di Jakarta, Senin (11/8)
Pada 07 Agustus 2025, Hakim Militer pada Pengadilan Militer I-02 Medan menjatuhkan vonis dua tahun enam bulan (2,5 tahun) penjara dan pemecatan bagi Serka Darmen Hutabarat dan Serda Hendra Francisco Manalu yang terbukti melakukan penembakan yang menewaskan seorang korban anak berinisial MAF di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara.
Sidang vonis yang tak sensitif keadilan itu, ditambah dengan represi atas protes kerabat MAF yang memakai simbol One Piece bersamaan dengan kematian prajurit TNI Prada Lucky Chepril Saputra Namo yang disiksa oleh sejumlah seniornya saat bertugas di Batalyon Teritorial Pembangunan (BTP) 834 Waka Nga Mere, Nagekeo, NTT.
Bahkan keluarga dan kerabatnya juga turut mendapatkan intimidasi dan kekerasan pasca memprotes vonis ringan tersebut.
Selain itu, di tengah dua peristiwa duka tersebut muncul rencana pembentukan enam (6) Kodam Baru yang akan diresmikan 10 Agustus 2025 mendatang.
Koalisi memandang, vonis ringan dalam kasus pembunuhan anak di bawah umur (MAF) memperpanjang daftar kasus kekerasan dan pembunuhan oleh anggota TNI terhadap warga sipil yang berakhir tanpa hukuman setimpal.
Pola ini telah berulang seperti misalnya pada kasus penyerangan dan penganiayaan terhadap warga Deli Serdang pada November 2024 yang pelakunya divonis paling berat 9 bulan, pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani pada September 2020 di Intan Jaya yang vonis terberat pada pelakunya hanya selama 1 tahun, dan penyiksaan yang menewaskan Jusni pada Februari 2020 dengan vonis paling lama 1 tahun 2 bulan penjara.
Lebih lanjut, selain korban dari warga sipil, kasus pembunuhan juga terjadi terhadap sesama anggota TNI seperti dalam kasus kematian Prada Lucky yang diduga menjadi korban penganiayaan para seniornya yang bertugas di Batalyon Teritorial Pembangunan 834 Wakanga Mere, NTT.
Prada Lucky sempat dirawat di rumah sakit dengan bekas luka seperti bekas tusukan di kaki dan belakang tubuhnya serta memar dan lebam di sekujur tubuhnya, sebelum akhirnya meninggal dunia pada 6 Agustus 2025 lalu.
Kasus pembunuhan prajurit TNI seperti pada kasus Prada Lucky di NTT bukanlah kasus pertama yang terjadi.
Sebelumnya dalam kurun waktu 4 tahun saja setidaknya ada 2 kasus pembunuhan oleh sesama anggota TNI yang mencuat ke hadapan publik.
Kasus-kasus tersebut adalah kasus pembunuhan Prada MZR yang tewas akibat dianiaya enam seniornya di Batalyon Zeni Tempur 4/TK pada Desember 2023 dan kasus tewasnya Sertu Bayu yang meninggal dunia pada November tahun 2021 akibat menjadi korban penganiayaan yang dilakukan oleh dua perwira saat bertugas di Timika, Papua.
Dalam dua tersebut terdapat pola yang sama yaitu ketertutupan penegakan hukum. Bahkan Panglima TNI Andika Perkasa pada tahun 2021 sampai meminta adanya penyidikan ulang terhadap kasus pembunuhan Sertu Bayu karena dianggap terdapat banyak kejanggalan (impunitas).
Pada titik ini, dengan kondisi belum direformasinya peradilan militer di mana hakim, jaksa dan terdakwanya sama-sama merupakan anggota TNI, maka patut disangsikan bahwa proses hukum yang akan berjalan dengan baik dan memberikan keadilan bagi korban (impunitas)
Impunitas yang terjadi dalam kasus-kasus tersebut lahir dari sebuah sistem yang menutup diri terhadap pengawasan publik, serta lebih mengedepankan perlindungan terhadap institusi alih-alih menjunjung tinggi keadilan bagi korban. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa keberadaan sistem peradilan militer tidak menjamin adanya transparansi dan akuntabilitas yang memadai. Vonis peradilan militer yang jauh dari kata adil, sama artinya dengan memperkuat persepsi bahwa anggota militer kebal hukum.
“Kami memandang, impunitas yang masih sering terjadi tidak lepas dari kegagalan reformasi peradilan militer saat ini. Kendati TAP MPR No. VII Tahun 2000 Pasal 3 Ayat (4) huruf a dan Pasal 65 Ayat (2) UU TNI secara jelas menyatakan bahwa prajurit yang melakukan tindak pidana umum harus diadili di peradilan umum, praktiknya kasus-kasus seperti ini tetap ditangani di peradilan militer. Hal ini mengingkari prinsip _equality before the law_ dan menebalkan persepsi bahwa anggota militer kebal hukum,” demikian rilis Koalisi Masyarakat Sipil ini.
Di tengah maraknya kasus kekerasan yang melibatkan anggota TNI, alih-alih mempercepat reformasi di tubuh TNI, TNI justru malah berencana membentuk enam Kodam baru yang mana merupakan kemunduran dalam reformasi TNI yakni restrukturisasi komando teritorial (koter) yang merupakan amanat Reformasi 1998.
Sebelumnya, diberitakan media massa bahwa TNI akan meresmikan enam Kodam Baru pada 10 Agustus 2025 mendatang. Selain pembentukan kodam baru ini berpotensi menyedot anggaran negara dalam jumlah besar, pembentukan kodam baru juga tidak relevan di tengah perkembangan lingkungan strategis regional maupun internasional. Penting untuk diingat bahwa keberadaan kodam erat kaitanya dengan peran sosial-politik (Dwifungsi) dimana kodam/ koter lebih berfungsi sebagai alat penunjang kekuasaan Orde Baru ketimbang fungsi pertahanan. Oleh karena itu, ketika peran Dwifungsi TNI pada awal Reformasi dihapus maka sekaligus pula upaya restrukturisasi koter/ kodam dilakukan di seluruh Indonesia.
“Kami memandang penambahan jumlah Kodam adalah wujud nyata penguatan dan perluasan Koter TNI. Struktur itu kini berfungsi layaknya instrumen pengawasan sosial dan politik masyarakat, mengaburkan batas antara fungsi pertahanan dan kontrol sipi. Dengan demikian, dengan tidak dilakukannya pengurangan/ restrukturisasi koter, sejatinya pemerintah telah mengkhianati Reformasi 1998 dan semakin menunjukkan adanya upaya terang-terangan mengembalikan Dwifungsi TNI dan Orde Baru,” tegas rilis ini.
Oleh karena itu Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan,– Pertama,– mendesak Panglima TNI mengevaluasi proses hukum dalam kasus penembakan anak di bawah umur di Peradilan Militer I-02 Medan.
Kedua Koalisi juga menuntut pengadilan kasus Prada Lucky di peradilan sipil sebagaimana amanat TAP MPR No. VII Tahun 2000 dan UU TNI;
Ketiga,–Koalisi juga mendesak DPR dan Pemerintah segera melakukan reformasi peradilan militer melalui revisi UU Peradilan Militer 1998;
Keempat,–Koalisi meminta pemerintah untuk menjalankan amanat reformasi 1998 dengan menghentikan penambahan Kodam baru.
Kepada Bergelora.com, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, Centra Initiative, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), De Jure.(Norman Meoko)