JAKARTA- Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) secara tegas menepis bahwa Islam identik dengan radikalisme dan terorisme, yang terjadi adalah kelompok teroris memanfaatkan Islam sebagai identitasnya untuk mencapai tujuannya dengan cara-cara yang tidak Islami.
“Fakta adanya kelompok Islam tertentu mencoba membawa paham yang diyakininya dijadikan sebagai dasar negara Indonesia, adalah ilusi yang tidak berdasar. Indonesia merupakan negara dengan keragaman agama, suku, dan budaya yang tidak mungkin diseragamkan. Pancasila menjadi perekat dasar dari keberagaman kita,” Direktur Bidang Deradikalisasi Prof. Irfan Indris kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (2/5)
Sebelumnya Radikalisme dan terorisme menjadi musuh “baru” umat manusia. Hal ini mengemuka pada acara seminar “Radikalisme dan Terorisme di Indonesia”, yang di selenggarakan oleh Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) di Jakarta 30 April 2016. Presidium Bidang Hukum Dan HAM ISKA, Hargo Mandirahardjo dalam sambutannya menyampaikan bahwa semua pihak harus berperan serta dalam penyelesaian berbagai masalah kebangsaan dewasa ini, terutama masalah radikalisme dan terorisme”.
“Penanganan radikalisme dan terorisme harus menjadi prioritas bagi upaya penciptaan kondisi rasa aman bagi masyarakat. Terlepas apapun yang menjadi motif tindakan teror oleh berbagai kelompok di Indonesia, upaya penanganan harus dilakukan secara komprehensif dan integral. Upaya untuk memutus mata rantai radikalisme dan terorisme merupakan tugas berat yang harus dipikul oleh negara, namun peran serta masyarakat sangat penting dalam upaya penanganan radikalisme dan terorisme tersebut” ujar Hargo.
Amad Ubaidillah, Direktur Pusat Studi Pesantren Al Falak Bogor menyebutkan bahwa terorisme fundamentalis Islam jihadis yang bekerja mirip sebuah sel tidak saja terjadi di kawasan Timur Tengah tetapi telah menjadi fenomena di banyak negara. Fenomena identitas Islam yang disematkan para radikalis dan teroris pada kenyataannya sangat merugikan Islam dan kaum muslim yang secara umum justru menolak gagasan dan praktik kekerasan yang mengatasnamakan Islam.
Yopik Gani pengajar PTIK yang juga fungsionaris PP ISKA, dalam pemaparannya menyatakan bahwa “pendekatan represif bukanlah cara paling efektif untuk menangani radikalisme dan terorisme. Melainkan dibutuhkan pendekatan yang membangun kerjasama atau sinergitas serta kemitraan yang erat dengan masyarakat. Pemolisian masyarakat (Polmas) merupakan salah satu model pendekatan yang dapat membangun kesadaran masyarakat betapa berbahayanya radikalisme dan terorisme terhadap stabilitas keamanan bangsa ini. Model Polmas mengusung falsafah pemolisian yang memberdayakan dan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam menangkal segala ancaman Kamtibmas”.
Yopik menambahkan bahwa “Masyarakat sebagai subjek dalam upaya-upaya penangkalan, pencegahan dan penanggulangan ancaman dan gangguan Kamtibmas, sedangkan Polri sebatas katalisator yang membantu masyarakat memecahkan masalahnya. Dengan pendekatan Polmas penanggulangan radikalisme dan terorisme hadir di lingkungan masyarakat. Singkatnya, Polmas dapat membangun kesadaran setiap warga masyarakat menjadi polisi bagi dirinya sendiri dan lingkungannya,” (Jones S)