Disamping dukungan terhadap gencarnya pembangunan infrastruktur yang dilakukan Presiden Joko Widodo di Papua. Masyarakat meminta agar Presiden juga menyelesaikan beberapa persoalan HAM di Papua yang terus terjadi. Karena dibalik dari pembangunan yang dilakukan secara cepat dan masif, masih saja ada yang mengambil keuntungan dan merugikan rakyat Papua. Bergelora.com memuat tulisan pertama dari 3 tulisan berseri berupa Catatan 2017 yang disusun oleh masyarakat Papua yang tergabung dalam PUSAKA, WALHI Papua, JERAT Papua, KPKC GKI di Tanah Papua, SKP KC Fransiskan Papua, SKP Keuskupan Agung Merauke. (Redaksi)
Oleh : Sam Awom
PENGHUJUNG 2017, Presiden Joko Widodo mengeluarkan instruksi (INPRES) kepada para Menteri, Kepala Staf Kepresidenan, serta Gubernur dan Bupati dilingkungan pemerintahan provinsi Papua dan Papua Barat, mengenai Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat di bidang kesehatan dan pendidikan, pengembangan ekonomi lokal, infrastruktur dasar, infrastruktur digital, guna mewujudkan masyarakat Provinsi Papua dan Papua Barat yang damai dan sejahtera.
INPRES Nomor 9 Tahun 2017 ini, ditandatangani Presiden Jokowi pada 11 Desember 2017, sehari setelah peringatan “International Human Rights Day”. Inpres ini tidak banyak sambutan dan sepi pemberitaan, dibandingkan pemberitaan media mengenai aksi-aksi massa, mahasiswa dan pemuda dari berbagai daerah di Tanah Papua dan diluar Papua pada saat itu, yang menuntut penyelesaian kasus pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) di masa lalu dan belum terselesaikan hingga hari ini, serta menuntut penghormatan terhadap hak-hak dasar orang asli Papua.
Seperti halnya kebijakan program pemerintahan sebelumnya, Presiden Jokowi juga luput dengan kebijakan penyelesaian permasalahan mendasar di Papua yaitu pelanggaran HAM. Pertengahan tahun 2016, Menko Polhukam, Luhut Binsar Panjaitan, menyatakan bahwa pemerintah sedang mempersiapkan program holistik atau menyeluruh untuk membangun Tanah Papua melalui penyelesaian terintegrasi, termasuk menyelesaikan permasalahan HAM.
Sebelumnya, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pernah menerbitkan Inpres Nomor 5 tahun 2007 dan Peraturan Presiden Nomor 85 tahun 2011, terkait percepatan pembangunan di Papua. Perpres ini menyentil tentang pemetaan sumber permasalahan HAM di Papua, tidak menyebutkan upaya penyelesaian permasalahan pelanggaran HAM.
Realitasnya berbeda, pemerintah cenderung mengenyampingkan dan mengabaikan permasalahan pelanggaran HAM, atau menawar penyelesaiannya tanpa melalui pengadilan, melainkan lewat musyawarah mufakat. Pemerintah lebih mengutamakan program pembangunan “kesejahteraan”, seperti pembangunan infrastruktur dan konektivitas, jalan, bandara, pelabuhan, jaringan komunikasi, pasar dan sebagainya, yang kian bertambah sepanjang tiga tahun terakhir. Namun, pembangunan tersebut tidak menghentikan aksi-aksi kekerasan dan pelanggaran HAM, yang jumlahnya bertambah dan membesar di era pemerintahan Jokowi.
Pemerintah menempatkan penyelesaian masalah pelanggaran HAM bukan menjadi landasan dan langkah utama menuju pembangunan ekonomi, melainkan mengedepankan pembangunan ekonomi sebagai strategi melupakan persoalan HAM.
Kami mendokumentasikan kejadian pelanggaran HAM yang terjadi dibeberapa daerah di Tanah Papua sepanjang tahun 2017 yakni: (1) kasus penghadangan aksi demonstrasi diikuti pelarangan dan penangkapan semena-mena terjadi dalam beberapa waktu berbeda dengan jumlah warga (2) kasus penangkapan diikuti penyiksaan dengan korban sebanyak 137 orang, (3) jumlah warga ditangkap, disiksa dan meninggal sebanyak 2 (dua) orang, (4) jumlah korban kekerasan dan meninggal dalam insiden protes sebanyak 2 (dua) orang. Dua kasus terakhir terkait dengan program ekonomi yakni protes warga atas pengelolaan dana kampung di Kimaam dan konflik nelayan setempat dengan nelayan dari luar Papua.
Kasus-kasus ini melibatkan aparat kemanan negara TNI dan Polri. Angka korban kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua tidak pernah berkurang. Karenanya, banyak komentar miring pemerhati HAM terhadap Inpres Jokowi tersebut.
Pembangunan tidak dapat menggantikan korban pelanggaran HAM dan serta merta melupakan ingatan penderitaan (memoria passionis). Nilai dan hak-hak hidup manusia yang diabaikan, bahkan dengan mudah dihilangkan, martabat direndahkan, diperlakukan secara tidak adil, tanpa perlindungan, hak-hak hukum diabaikan, tanpa kebebasan dan termasuk hak untuk menentukan pembangunan tidak akan pernah dapat dilupakan hanya karena ada pembangunan jalan, pelabuhan dan berbagai infrastruktur fisik.
Karenanya menjadi pertanyaan penting adalah untuk siapakah semua pembangunan itu jika martabat manusia Papua tak pernah diupayakan pemulihannya secara nyata dalam kebijakan dan konsisten dalam pelaksanaan?
Demikian pula, paradigma pembangunan negara masih mengutamakan pertumbuhan ekonomi, sentralistik dan berbasis pada modal skala besar. Meskipun disebutkan berulang-ulang strategi pendekatan pembangunan dan pengembangan wilayah mengutamakan keunggulan komparatif daerah, berbasis budaya dan wilayah adat, Namun praktiknya tidak demikian.
Pemerintah menetapkan pusat pertumbuhan ekonomi secara nasional dan wilayah pengembangan strategis. Kawasan strategis tersebut menjadi sasaran pengembangan program infrastruktur dan konektivitas wilayah, yang pelaksanaannya bekerja sama dengan swasta dan pemodal besar.
Perampasan Tanah dan Deforestasi di Papua
Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua, Pasal 43, ayat (4) dan penjelasannya, secara tersirat mengatur bahwa penyediaan tanah ulayat untuk keperluan apapun dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat adat untuk memperoleh kesepakatan. Musyawarah tersebut mendahului penerbitan surat ijin perolehan dan pemberian hak oleh instansi yang berwenang. Kesepakatan menjadi syarat penerbitan izin dan keputusan pemberian hak.
Namun, implementasi ketentuan ini tidak pernah dilaksanakan, secara sengaja dan atau diabaikan. Di Tanah Papua, negara mempunyai otoritas luas mengkontrol dan menentukan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Negara sedemikian rupa mengatur dan mengkonstruksi pola dan struktur ruang, fungsi dan peruntukan kawasan hutan, berdasarkan pengetahuan formal dan kepentingan ekonomi, yang terkadang kontradiktif dengan sistem nilai dan pengetahuan masyarakat adat setempat.
Disini negara maupun korporasi yang didukung negara telah mencaplok dan merampas tanah-tanah tanpa persetujuan masyarakat adat Papua. Perampasan tanah juga dilakukan negara melalui penerbitan ijin usaha pemanfaatan sumberdaya alam dalam skala luas, serta berbagai fasilitas kemudahan berinvestasi kepada para pemodal besar, yang dilakukan tanpa musyawarah dan kesepakatan dengan masyarakat adat setempat.
Kebijakan dan praktik pembangunan demikian mengeksklusi Orang Asli Papua, mengabaikan hak legal dan peran mereka dalam menentukan pembangunan, membuat warga kehilangan hak dan akses terhadap tanah dan sumber kehidupannya.
Sepanjang tahun 2017, pemerintah menerbitkan ijin-ijin baru untuk usaha perkebunan dan pertambangan. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menerbitkan ijin pelepasan kawasan hutan kepada tiga perusahaan perkebunan kelapa sawit dan industri pangan, yakni PT. Bangun Mappi Mandiri di Kabupaten Mappi pada Juli 2017 (18.006 ha), PT. Agriprima Cipta Persada di Kabupaten Merauke pada Juli 2017 (6.200 ha), dan PT. Menara Wasior di Kabupaten Teluk Wondama pada September 2017 (28.880 ha).
Rencana PT. Menara Wasior sudah menciptakan keresahan dan penolakan warga setempat. Pada Juni 2015, PUSAKA mengirimkan surat kepada Menteri LHK untuk tidak memproses permohonan ijin pelepasan kawasan hutan PT. Menara Wasior, (anak perusahaan Salim Group), alasannya daerah konsesi dimaksud merupakan tempat terjadinya pelanggaran HAM berat “Wasior Berdarah” (2001) yang belum diselesaikan hingga hari ini.
Dalam beberapa kesempatan percakapan, masyarakat adat setempat mengartikulasikan penolakan kehadiran perusahaan karena lebih banyak mudaratnya dibanding manfaatnya. Alasan lain, didaerah tersebut merupakan sumber pangan masyarakat dan terdapat tempat-tempat situs sosial budaya. Aspirasi ini disampaikan secara terbatas karena mereka tidak merasa bebas menyampaikan penolakan secara terbuka dan masih trauma dengan kekerasan dimasa lalu.
Pemerintah juga menerbitkan ijin baru usaha pertambangan kepada enam perusahaan pada tahun 2017, yakni 4 (empat) perusahaan pertambangan di wilayah Provinsi Papua, terdiri dari PT. Wira Emas Persada di Nabire (eksplorasi logam DMP, 1.242 ha), PT. Aurum Wira Persada di Nabire (eksplorasi logam DMP, 13.880 ha), PT. Trident Global Garmindo (eksplorasi logam DMP, 17 830 ha), dan PT. Madinah Qurrata’ain di Dogiyai (eksplorasi emas DMP, 23.340 ha); serta 2 (dua) perusahaan di wilayah Provinsi Papua Barat, terdiri dari PT. Bayu Khatulistiwa Sejahtera di Manokwari (eskplorasi emas, 7.741 ha), PT. Dharma Nusa Persada (eksplorasi emasi, 20.805 ha).
Pada Maret 2017, Menteri LHK membuat keputusan Nomor SK.172/Menlhk/Setjen/PLA.2/3/ 2017, tentang perubahan alih fungsi kawasan hutan lindung Momi Anggi di Gunung Botak, Kabupaten Manokwari Selatan, seluas 2.318 hektar, untuk menjadi hutan produksi konversi (HPK) seluas 231 ha dan hutan produksi terbatas (HPT) seluas 2.100 ha. Keputusan ini diduga untuk mengakomodasikan kepentingan perusahaan tambang pasir kuarsa PT. SDIC. Padahal sebelumnya (2013), pemerintah daerah memohonkan kawasan hutan tersebut diubah menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) karena disekitarnya terdapat kampung-kampung yang dihuni Orang Asli Papua, tetapi tidak diijinkan.
Kebijakan dan pemberian ijin-ijin baru tersebut bertentangan dengan komitmen dan kebijakan Presiden Jokowi tentang moratorium konsesi lahan sawit dan tambang pada April 2016. Presiden Jokowi juga menerbitkan Inpres Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penundaan dan Penyempurnaan Tata Kelola Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Idealnya, komitmen dan kebijakan ini dapat memberikan kesempatan kepada negara untuk mengevaluasi, mereview dan mengendalikan ijin-ijin pemanfaatan hasil hutan dan lahan yang bertentangan dengan undang-undang, cacat hukum serta merugikan hak masyarakat adat. Namun, pemerintah mengabaikan dan membiarkan terjadi pelanggaran komitmen dan aturan yang dibuat sendiri untuk kepentingan ekonomi.
Pemberian ijin baru ini berpotensi memperluas terjadinya deforestasi dan degradasi hutan di Papua yang cenderung meningkat. Tahun 2017 ini, pembongkaran dan penggusuran kawasan hutan untuk kepentingan perusahaan perkebunan kelapa sawit dalam jumlah yang cukup luas terjadi dibeberapa tempat, yakni perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Agriprima Persada Mulia (Merauke), PT. Kartika Cipta Pratama (Boven Digoel), PT. Permata Putera Mandiri (Sorong Selatan). Perusahaan PT. Permata Putera Mandiri (PPM), anak perusahaan PT. Austindo Nusantara Jaya (ANJ) merupakan anggota RSPO (Roiundtable Sustainable Palm Oil), yang mensyaratkan anggotanya prinsip dan kriteria RSPO antara lain wajib memperoleh lahan dengan menghormati prinsip-prinsip FPIC (Free Prior Informed Consent) dan tidak melakukan pengolahan lahan pada daerah yang bernilai konservasi tinggi.
Praktiknya berbeda dilapangan, perusahaan menggusur tempat penting masyarakat, perusahaan bersama aparatus keamanan negara terlibat dalam melakukan kekerasan terhadap warga yang menuntut haknya. Kebijakan dan praktik pembangunan yang merampas tanah diikuti dengan tindakan kekerasan merupakan pelanggaran HAM dan sekaligus menjadi sumber pelanggaran HAM di Papua.
Catatan Papua 2017 (1) : Perampasan Tanah & Deforestasi di Papua
Disamping dukungan terhadap gencarnya pembangunan infrastruktur yang dilakukan Presiden Joko Widodo di Papua. Masyarakat meminta agar Presiden juga menyelesaikan beberapa persoalan HAM di Papua yang terus terjadi. Karena dibalik dari pembangunan yang dilakukan secara cepat dan masif, masih saja ada yang mengambil keuntungan dan merugikan rakyat Papua. Bergelora.com memuat tulisan pertama dari 3 tulisan berseri berupa Catatan 2017 yang disusun oleh masyarakat Papua yang tergabung dalam PUSAKA, WALHI Papua, JERAT Papua, KPKC GKI di Tanah Papua, SKP KC Fransiskan Papua, SKP Keuskupan Agung Merauke. (Redaksi)
Oleh : Sam Awom
PENGHUJUNG 2017, Presiden Joko Widodo mengeluarkan instruksi (INPRES) kepada para Menteri, Kepala Staf Kepresidenan, serta Gubernur dan Bupati dilingkungan pemerintahan provinsi Papua dan Papua Barat, mengenai Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat di bidang kesehatan dan pendidikan, pengembangan ekonomi lokal, infrastruktur dasar, infrastruktur digital, guna mewujudkan masyarakat Provinsi Papua dan Papua Barat yang damai dan sejahtera.
INPRES Nomor 9 Tahun 2017 ini, ditandatangani Presiden Jokowi pada 11 Desember 2017, sehari setelah peringatan “International Human Rights Day”. Inpres ini tidak banyak sambutan dan sepi pemberitaan, dibandingkan pemberitaan media mengenai aksi-aksi massa, mahasiswa dan pemuda dari berbagai daerah di Tanah Papua dan diluar Papua pada saat itu, yang menuntut penyelesaian kasus pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) di masa lalu dan belum terselesaikan hingga hari ini, serta menuntut penghormatan terhadap hak-hak dasar orang asli Papua.
Seperti halnya kebijakan program pemerintahan sebelumnya, Presiden Jokowi juga luput dengan kebijakan penyelesaian permasalahan mendasar di Papua yaitu pelanggaran HAM. Pertengahan tahun 2016, Menko Polhukam, Luhut Binsar Panjaitan, menyatakan bahwa pemerintah sedang mempersiapkan program holistik atau menyeluruh untuk membangun Tanah Papua melalui penyelesaian terintegrasi, termasuk menyelesaikan permasalahan HAM.
Sebelumnya, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pernah menerbitkan Inpres Nomor 5 tahun 2007 dan Peraturan Presiden Nomor 85 tahun 2011, terkait percepatan pembangunan di Papua. Perpres ini menyentil tentang pemetaan sumber permasalahan HAM di Papua, tidak menyebutkan upaya penyelesaian permasalahan pelanggaran HAM.
Realitasnya berbeda, pemerintah cenderung mengenyampingkan dan mengabaikan permasalahan pelanggaran HAM, atau menawar penyelesaiannya tanpa melalui pengadilan, melainkan lewat musyawarah mufakat. Pemerintah lebih mengutamakan program pembangunan “kesejahteraan”, seperti pembangunan infrastruktur dan konektivitas, jalan, bandara, pelabuhan, jaringan komunikasi, pasar dan sebagainya, yang kian bertambah sepanjang tiga tahun terakhir. Namun, pembangunan tersebut tidak menghentikan aksi-aksi kekerasan dan pelanggaran HAM, yang jumlahnya bertambah dan membesar di era pemerintahan Jokowi.
Pemerintah menempatkan penyelesaian masalah pelanggaran HAM bukan menjadi landasan dan langkah utama menuju pembangunan ekonomi, melainkan mengedepankan pembangunan ekonomi sebagai strategi melupakan persoalan HAM.
Kami mendokumentasikan kejadian pelanggaran HAM yang terjadi dibeberapa daerah di Tanah Papua sepanjang tahun 2017 yakni: (1) kasus penghadangan aksi demonstrasi diikuti pelarangan dan penangkapan semena-mena terjadi dalam beberapa waktu berbeda dengan jumlah warga (2) kasus penangkapan diikuti penyiksaan dengan korban sebanyak 137 orang, (3) jumlah warga ditangkap, disiksa dan meninggal sebanyak 2 (dua) orang, (4) jumlah korban kekerasan dan meninggal dalam insiden protes sebanyak 2 (dua) orang. Dua kasus terakhir terkait dengan program ekonomi yakni protes warga atas pengelolaan dana kampung di Kimaam dan konflik nelayan setempat dengan nelayan dari luar Papua.
Kasus-kasus ini melibatkan aparat kemanan negara TNI dan Polri. Angka korban kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua tidak pernah berkurang. Karenanya, banyak komentar miring pemerhati HAM terhadap Inpres Jokowi tersebut.
Pembangunan tidak dapat menggantikan korban pelanggaran HAM dan serta merta melupakan ingatan penderitaan (memoria passionis). Nilai dan hak-hak hidup manusia yang diabaikan, bahkan dengan mudah dihilangkan, martabat direndahkan, diperlakukan secara tidak adil, tanpa perlindungan, hak-hak hukum diabaikan, tanpa kebebasan dan termasuk hak untuk menentukan pembangunan tidak akan pernah dapat dilupakan hanya karena ada pembangunan jalan, pelabuhan dan berbagai infrastruktur fisik.
Karenanya menjadi pertanyaan penting adalah untuk siapakah semua pembangunan itu jika martabat manusia Papua tak pernah diupayakan pemulihannya secara nyata dalam kebijakan dan konsisten dalam pelaksanaan?
Demikian pula, paradigma pembangunan negara masih mengutamakan pertumbuhan ekonomi, sentralistik dan berbasis pada modal skala besar. Meskipun disebutkan berulang-ulang strategi pendekatan pembangunan dan pengembangan wilayah mengutamakan keunggulan komparatif daerah, berbasis budaya dan wilayah adat, Namun praktiknya tidak demikian.
Pemerintah menetapkan pusat pertumbuhan ekonomi secara nasional dan wilayah pengembangan strategis. Kawasan strategis tersebut menjadi sasaran pengembangan program infrastruktur dan konektivitas wilayah, yang pelaksanaannya bekerja sama dengan swasta dan pemodal besar.
Perampasan Tanah dan Deforestasi di Papua
Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua, Pasal 43, ayat (4) dan penjelasannya, secara tersirat mengatur bahwa penyediaan tanah ulayat untuk keperluan apapun dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat adat untuk memperoleh kesepakatan. Musyawarah tersebut mendahului penerbitan surat ijin perolehan dan pemberian hak oleh instansi yang berwenang. Kesepakatan menjadi syarat penerbitan izin dan keputusan pemberian hak.
Namun, implementasi ketentuan ini tidak pernah dilaksanakan, secara sengaja dan atau diabaikan. Di Tanah Papua, negara mempunyai otoritas luas mengkontrol dan menentukan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Negara sedemikian rupa mengatur dan mengkonstruksi pola dan struktur ruang, fungsi dan peruntukan kawasan hutan, berdasarkan pengetahuan formal dan kepentingan ekonomi, yang terkadang kontradiktif dengan sistem nilai dan pengetahuan masyarakat adat setempat.
Disini negara maupun korporasi yang didukung negara telah mencaplok dan merampas tanah-tanah tanpa persetujuan masyarakat adat Papua. Perampasan tanah juga dilakukan negara melalui penerbitan ijin usaha pemanfaatan sumberdaya alam dalam skala luas, serta berbagai fasilitas kemudahan berinvestasi kepada para pemodal besar, yang dilakukan tanpa musyawarah dan kesepakatan dengan masyarakat adat setempat.
Kebijakan dan praktik pembangunan demikian mengeksklusi Orang Asli Papua, mengabaikan hak legal dan peran mereka dalam menentukan pembangunan, membuat warga kehilangan hak dan akses terhadap tanah dan sumber kehidupannya.
Sepanjang tahun 2017, pemerintah menerbitkan ijin-ijin baru untuk usaha perkebunan dan pertambangan. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menerbitkan ijin pelepasan kawasan hutan kepada tiga perusahaan perkebunan kelapa sawit dan industri pangan, yakni PT. Bangun Mappi Mandiri di Kabupaten Mappi pada Juli 2017 (18.006 ha), PT. Agriprima Cipta Persada di Kabupaten Merauke pada Juli 2017 (6.200 ha), dan PT. Menara Wasior di Kabupaten Teluk Wondama pada September 2017 (28.880 ha).
Rencana PT. Menara Wasior sudah menciptakan keresahan dan penolakan warga setempat. Pada Juni 2015, PUSAKA mengirimkan surat kepada Menteri LHK untuk tidak memproses permohonan ijin pelepasan kawasan hutan PT. Menara Wasior, (anak perusahaan Salim Group), alasannya daerah konsesi dimaksud merupakan tempat terjadinya pelanggaran HAM berat “Wasior Berdarah” (2001) yang belum diselesaikan hingga hari ini.
Dalam beberapa kesempatan percakapan, masyarakat adat setempat mengartikulasikan penolakan kehadiran perusahaan karena lebih banyak mudaratnya dibanding manfaatnya. Alasan lain, didaerah tersebut merupakan sumber pangan masyarakat dan terdapat tempat-tempat situs sosial budaya. Aspirasi ini disampaikan secara terbatas karena mereka tidak merasa bebas menyampaikan penolakan secara terbuka dan masih trauma dengan kekerasan dimasa lalu.
Pemerintah juga menerbitkan ijin baru usaha pertambangan kepada enam perusahaan pada tahun 2017, yakni 4 (empat) perusahaan pertambangan di wilayah Provinsi Papua, terdiri dari PT. Wira Emas Persada di Nabire (eksplorasi logam DMP, 1.242 ha), PT. Aurum Wira Persada di Nabire (eksplorasi logam DMP, 13.880 ha), PT. Trident Global Garmindo (eksplorasi logam DMP, 17 830 ha), dan PT. Madinah Qurrata’ain di Dogiyai (eksplorasi emas DMP, 23.340 ha); serta 2 (dua) perusahaan di wilayah Provinsi Papua Barat, terdiri dari PT. Bayu Khatulistiwa Sejahtera di Manokwari (eskplorasi emas, 7.741 ha), PT. Dharma Nusa Persada (eksplorasi emasi, 20.805 ha).
Pada Maret 2017, Menteri LHK membuat keputusan Nomor SK.172/Menlhk/Setjen/PLA.2/3/ 2017, tentang perubahan alih fungsi kawasan hutan lindung Momi Anggi di Gunung Botak, Kabupaten Manokwari Selatan, seluas 2.318 hektar, untuk menjadi hutan produksi konversi (HPK) seluas 231 ha dan hutan produksi terbatas (HPT) seluas 2.100 ha. Keputusan ini diduga untuk mengakomodasikan kepentingan perusahaan tambang pasir kuarsa PT. SDIC. Padahal sebelumnya (2013), pemerintah daerah memohonkan kawasan hutan tersebut diubah menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) karena disekitarnya terdapat kampung-kampung yang dihuni Orang Asli Papua, tetapi tidak diijinkan.
Kebijakan dan pemberian ijin-ijin baru tersebut bertentangan dengan komitmen dan kebijakan Presiden Jokowi tentang moratorium konsesi lahan sawit dan tambang pada April 2016. Presiden Jokowi juga menerbitkan Inpres Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penundaan dan Penyempurnaan Tata Kelola Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Idealnya, komitmen dan kebijakan ini dapat memberikan kesempatan kepada negara untuk mengevaluasi, mereview dan mengendalikan ijin-ijin pemanfaatan hasil hutan dan lahan yang bertentangan dengan undang-undang, cacat hukum serta merugikan hak masyarakat adat. Namun, pemerintah mengabaikan dan membiarkan terjadi pelanggaran komitmen dan aturan yang dibuat sendiri untuk kepentingan ekonomi.
Pemberian ijin baru ini berpotensi memperluas terjadinya deforestasi dan degradasi hutan di Papua yang cenderung meningkat. Tahun 2017 ini, pembongkaran dan penggusuran kawasan hutan untuk kepentingan perusahaan perkebunan kelapa sawit dalam jumlah yang cukup luas terjadi dibeberapa tempat, yakni perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Agriprima Persada Mulia (Merauke), PT. Kartika Cipta Pratama (Boven Digoel), PT. Permata Putera Mandiri (Sorong Selatan). Perusahaan PT. Permata Putera Mandiri (PPM), anak perusahaan PT. Austindo Nusantara Jaya (ANJ) merupakan anggota RSPO (Roiundtable Sustainable Palm Oil), yang mensyaratkan anggotanya prinsip dan kriteria RSPO antara lain wajib memperoleh lahan dengan menghormati prinsip-prinsip FPIC (Free Prior Informed Consent) dan tidak melakukan pengolahan lahan pada daerah yang bernilai konservasi tinggi.
Praktiknya berbeda dilapangan, perusahaan menggusur tempat penting masyarakat, perusahaan bersama aparatus keamanan negara terlibat dalam melakukan kekerasan terhadap warga yang menuntut haknya. Kebijakan dan praktik pembangunan yang merampas tanah diikuti dengan tindakan kekerasan merupakan pelanggaran HAM dan sekaligus menjadi sumber pelanggaran HAM di Papua.