Rabu, 22 Maret 2023

Catatan Papua 2017 (2) : Kekerasan Terhadap Warga & Aktivis Masyarakat Adat

Sebuah demonstrasi menolak pelanggaran HAM di Papua beberapa waktu lalu (Ist)

Disamping dukungan terhadap gencarnya pembangunan infrastruktur yang dilakukan Presiden Joko Widodo di Papua. Masyarakat meminta agar Presiden juga menyelesaikan beberapa persoalan HAM di Papua yang terus terjadi. Karena dibalik dari pembangunan yang dilakukan secara cepat dan masif, masih saja ada yang mengambil keuntungan dan merugikan rakyat Papua. Bergelora.com memuat tulisan kedua dari 3 tulisan berseri berupa Catatan 2017 yang disusun oleh masyarakat Papua yang tergabung dalam PUSAKA, WALHI Papua, JERAT Papua, KPKC GKI di Tanah Papua, SKP KC Fransiskan Papua, SKP Keuskupan Agung Merauke. (Redaksi)

Oleh : Sam Awom

Perampasan tanah seringkali diikuti dengan aksi pemaksaan dan kekerasan melibatkan aparatus negara dan perusahaan, sejak proses negosiasi perolehan lahan, penyelesaian konflik dan kegiatan produksi. Negara dan perusahaan menggunakan pendekatan keamanan dengan cara kekerasan fisik dan verbal untuk menggembosi, meredam dan menaklukkan aksi-aksi masyarakat dan buruh. Perusahaan juga diduga terlibat memprovokasi kelompok tertentu dan bertindak main hakim sendiri (vigilantism) menyerang aktivis pembela masyarakat adat dan lingkungan, maupun keluarganya.

Pada tahun 2017, kami mendokumentasikan empat kasus kekerasan yang berhubungan dengan industri perkebunan dan pertambangan di Papua, sebagai berikut:

1. Kekerasan terhadap warga bernama Yan Ever Mengge alias Bowake, asal Kampung Puragi, Distrik Metamani, Kabupatan Sorong Selatan, Papua Barat, dilakukan oleh aparat Brimob yang bertugas di perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Permata Putera Mandiri (PPM), pada 23 Oktober 2017.

Kasus ini bermula dari aktivitas PT. PPM yang melakukan pembongkaran dan penggusuran hutan milik masyarakat adat suku Iwaro tanpa ada musyawarah mufakat. Bowake dan beberapa warga melakukan palang adat dan menuntut perusahaan membayar kerugian masyarakat.

Perusahaan memanggil petugas Brimob, lalu mengeroyok memukul dan menyiksa Bowake yang sudah terjatuh ketanah. Brimob menggunakan popor senjata laras panjang memukul bagian leher, punggung, pinggang dan lutut. Mereka menendang dengan sepatu lars ke bagian perut, rusuk dan dada. Sebelumnya empat warga setempat juga menjadi korban kekerasan verbal dan intimidasi yang dilakukan oleh Brimob di PT. PPM, yakni Nataniel Orpae, Arnold Bumere dan Edison Oropae.

2. Kekerasan terhadap aktivis masyarakat adat Robertino Hanebora dan Gunawan Inggeruhi, serta Titus Ruban (wartawan tabloidjubi.com) asal dari Nabire. Mereka diserang dan dipukul sekelompok orang dilokasi pertambangan, kilometer 39, Kali Mosairo, Distrik Makimi, Kabupaten Nabire, pada Kamis, 29 Juni 2017. Kasus ini bermula dari korban dan Kepala Sub Suku Kampung Nifasi, Azer Monei, hendak menegur perusahaan pertambangan PT. Kristalin Eka Lestari (KEL) yang tidak patuh pada surat Kepala Suku Besar Wate terkait pemberhentian operasi pertambangan di Kali Mosairo. Namun, saat sedang berdiskusi dengan mandor perusahaan, tiba-tiba datang puluhan orang membawa peralatan potongan balok kayu, panah, parang, pisau dan batu, sambil berteriak menanyakan wartawan. Korban dan kepala suku keluar untuk menjelaskan maksud mereka, tetapi tidak dipedulikan dan memukul korban dengan balok hingga mengenai bagian badan, tangan dan rusuk. Korban Titus juga ditempeleng dan dikejar dengan parang. Lalu, semua korban melarikan diri dengan mobil.

3. Kekerasan verbal dialami korban bernama Egedius Pius Suam, Kepala Suku Auwyu di Kabupaten Boven Digoel dan juga menjabat Ketua II LMA Boven Digoel, beralamatkan di Kampung Ampera, Tanah Merah, Boven Digoel, yang dilakukan oleh sekelompok orang, diduga pendukung perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Indo Asiana Lestari, terjadi pada 14 Oktober 2017. Kelompok orang tersebut mendatangi rumah Edigius dan mengeluarkan kata-kata kasar, merendahkan, menteror dan mengancam akan membunuh Egedius yang dituding menghalang-halangi rencana perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Indo Asiani Lestari beroperasi ditanah adat mereka.

4. Kekerasan terhadap aktivis masyarakat adat bernama Adolfina Kuum alias Doli (perempuan, 36 tahun), aktivis front aksi Masyarakat Adat Independen (MAI) di Timika, yang berdomisili di Jalan Heatubun, Kwamki, Timika, Papua, yang diserang orang tak dikenal (OTK) pada Rabu malam, 20 Desember 2017, pukul 12.00 WIT, berlokasi tepat didepan rumahnya. Doli saat itu sedang duduk minum teh di para-para, didatangi tiga orang mengendarai kendaraan motor dan salah seorang diantaranya dengan pedang samurai hendak menyerang dan membacok korban, namun korban sempat menghindar dan melarikan diri sambil berteriak. Keluarga korban yang berada disamping rumah, sempat mengejar pelaku, namun pelaku sudah kabur. Korban Doli diketahui mengalami luka lecet disiku tangan kanan. Penyerangan ini diduga berhubungan dengan aktivitas Doli melakukan aksi dan kampanye penolakan PT. Freeport dan memperjuangkan hak masyarakat adat setempat.

Meluasnya Aksi Protes Perampasan Tanah

Kebijakan dan praktik pembangunan yang kontradiktif, tidak adil, melanggar HAM, merugikan masyarakat adat dan hanya menguntungkan kelompok dominan tertentu, mendorong terbentuknya gerakan masyarakat, yang semakin kritis terhadap sistem sosial rezim berkuasa dan menuntut perubahan. Fenomena gerakan masyarakat dan protes atas perampasan tanah semakin meluas di Papua, dimotori oleh organisasi masyarakat sipil, organisasi keagamaan, mahasiswa, kelompok studi, hingga aktivis pemuda kampung. Aksi-aksi dilakukan dalam berbagai bentuk dilakukan ditingkat lokal kampung hingga ke pusat pemerintahan di kabupaten dan provinsi, nasional dan internasional.

Kami mendokumentasikan aksi-aksi protes berhubungan dengan isu dan praktik perampasan tanah di Papua sepanjang tahun 2017, sebagai berikut:

1. Sepanjang Maret dan April 2017, Front aksi Masyarakat Adat Independen (MAI) Timika, terdiri dari perwakilan masyarakat adat Kamoro dan Amungme, korban perusahaan pertambangan PT. Freeport Indonesia (FI), aktif melakukan aksi protes terkait perampasan tanah untuk pertambangan PT. FI dan perundingan pemerintah dengan PT. FI yang tidak melibatkan masyarakat. Sejak Februari 2017, pemerintah berunding dengan PT. FI, terkait antara lain stabilitas investasi, terkait ketentuan fiskal dan perpajakan, perpanjangan kontrak hingga 2041, kewajiban divestasi dan pembangunan smelter. Namun, perundingan ini minim keterlibatan masyarakat adat pemilik tanah untuk menentukan pemanfaatan industri ekstraktif PT. FI di wilayah mereka. Hal ini sudah terjadi sejak awal kehadiran PT. FI dan terjadi perampasan tanah secara paksa. MAI menuntut agar PT. FI ditutup dan dilakukan audit atas kekayaan PT. FI, karena kehadiran PT. FI hanya merugikan masyarakat, terjadi pelanggaran HAM dan merusak lingkungan. Laporan Earthworks dan Mining Watch Canada (2012) menyampaikan limbah Grasberg telah mengubur sekitar 166 Km2 wilayah setempat yang dulunya hutan produktif dan lahan basah, ikan sebagian besar sudah hilang. Sedimentasi akibat tailing PT. FI sudah meluap ke pinggiran sungai, membuat mati ikan-ikan, udang, kerang, yang menjadi sumber makanan dan basis ekonomi orang Kamoro sejak dulu.

2. Pada Juni 2017, masyarakat adat Yimnawai Gir di Arso, Kabupaten Keerom, dimotori dewan adat dan pemuda setempat, melakukan aksi demonstrasi di lokasi pabrik perusahaan perkebunan kelapa sawit PTPN II Arso dan Kantor Bupati Keerom. Masyarakat adat menuntut pemerintah dan perusahaan mengembalikan tanah adat; Terkait masa depan Freeport, MAI bersikukuh: tutup, audit, baru berunding. seluas 50.000 hektare yang dirampas untuk perkebunan kelapa sawit saat Papua menjadi daerah operasi militer (DOM) tahun 1980 an. Aksi serupa dilakukan masyarakat pada tahun-tahun sebelumnya dan belum mendapatkan tanggapan berarti.

3. Pada Oktober 2017, puluhan warga Suku Yerisiam dari Kampung Sima, Distrik Yaur, Kabupaten Nabire, Provinsi Papua, melakukan aksi protes di depan gedung DPRD Nabire. Mereka membawa poster meminta pemerintah menghentikan perampasan tanah adat dan mendesak pemerintah mencabut ijin usaha tambang di wilayah adat Yerisiam, yang dilakukan tanpa konsultasi dengan masyarakat. Tahun 2011, pemerintah Provinsi Papua menerbitkan Ijin Usaha Pertambangan (IUP) kepada PT. Pasific Mining Jaya di Distrik Yaro, Nabire, luasnya 21.530 hektare. Daerah tersebut di klaim sebagai wilayah adat Suku Yerisiam Gua. Selain itu, pemerintah juga memberikan IUP kepada PT. Pasific Mining Jaya di daerah Makimi dan Uwapa, seluas 83.000 hektare dan PT. Benliz Pacific seluas 94.500 hektare. Perusahaan-perusahaan ini merupakan perusahaan modal asing. Pemerintah belum pernah berunding dan meminta persetujuan dengan masyarakat adat setempat sebelum menerbitkan IUP tersebut.

4. Pada November 2017, perwakilan Suku Yerisiam Gua dan Suku Wate dari Nabire, Provinsi Papua, bergabung dengan puluhan massa aksi dari organisasi mahasiswa dan pemuda Papua di Kota Jayapura, ibukota Provinsi Papua. Mereka melakukan aksi di Kantor Gubernur, menuntut Gubernur Papua mencabut 52 ijin usaha pertambangan di Papua. Massa aksi menuntut Gubernur untuk melindungi usaha tambang rakyat skala kecil yang diusahakan oleh pengusaha dan masyarakat adat Papua.

5. Pada 30 November 2017, Front Pembela Peduli Lembah Kebar di Manokwari, terdiri dari mahasiswa dan pemuda setempat, melakukan aksi di Kantor MRP (Majelis Rakyat Papua) di Manokwari. Front aksi ini menolak SK Menteri Kehutanan Nomor 837/MENHUT-II/2014 tentang pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit oleh PT. Bintuni Agro Prima Perkasa (BAPP), seluas 19.368 hektare di Kebar dan Senopi, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat. Mereka memrotes atas ijin yang diberikan tanpa diketahui dan melibatkan masyarakat adat setempat. Selain itu, dalam pembicaraan jenis komoditi yang ditanam adalah jagung, tetapi dalam ijin disebutkan kelapa sawit. Sebelumnya pada 17 November 2017, perwakilan masyarakat adat Mpur di Kebar membuat surat pernyataan menolak berbagai surat keputusan terkait perijinan perusahaan PT. BAPP yang diterbitkan Menteri dan pemerintah daerah, maupun pihakpihak tertentu mengatasnamakan masyarakat.

6. Pada 11 Desember 2017, berkenaan dengan peringatan hari HAM Internasional, Aliansi Mahasiswa Papua Selatan Peduli HAM, melakukan aksi long march dan mendatangi Kantor DPRD Kabupaten Merauke. Mereka menolak program MIFEE yang merampas tanah dan hutan adat di Papua selatan hingga mencapai 1,2 juta hektar, meminta pemerintah menghentikan ijin perusahaan yang melanggar HAM dan merusak hutan, termasuk menutup perusahaan milik PT. Korindo Group, dikarenakan tidak membawa dampat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat adat di Papua bagian selatan. Pada aksi memperingati hari HAM di Jayapura, Sorong dan Timika, front aksi aliansi juga menuntut penutupan tambang PT. Freeport Indonesia.

Dalam UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua, Pasal 43 ayat (5), mengamanatkan pemerintah mempunyai kewajiban melakukan mediasi aktif dalam penyelesaian sengketa tanah adat, secara adil dan bijaksana. Tetapi hingga saat ini, pemerintah belum menunjukkan tanda dan upaya efektif untuk menyelesaikan konflik dan tuntuan masyarakat. 

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,584PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru