Sabtu, 12 Juli 2025

Catatan Papua 2017 (3) : Kebijakan TORA dan Upsus Pajale

Pembukaan lahan yang merusak lingkungan hidup di Papua (Ist)

Disamping dukungan terhadap gencarnya pembangunan infrastruktur yang dilakukan Presiden Joko Widodo di Papua. Masyarakat meminta agar Presiden juga menyelesaikan beberapa persoalan HAM di Papua yang terus terjadi. Karena dibalik dari pembangunan yang dilakukan secara cepat dan masif, masih saja ada yang mengambil keuntungan dan merugikan rakyat Papua. Bergelora.com memuat tulisan kedua dari 3 tulisan berseri berupa Catatan 2017 yang disusun oleh masyarakat Papua yang tergabung dalam PUSAKA, WALHI Papua, JERAT Papua, KPKC GKI di Tanah Papua, SKP KC Fransiskan Papua, SKP Keuskupan Agung Merauke. (Redaksi)

Oleh : Sam Awom

MENTERI Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan keputusan Nomor SK.180/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2017, tentang Peta Indikatif Alokasi Kawasan Hutan untuk Penyediaan Sumber Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA). Kebijakan ini diterbitkan sebagai bagian dari amanat Nawacita dan program jangka menengah pemerintahan Jokowi terkait dengan Reforma Agraria (RA). Program populis RA ini sangat menggembirakan dan seakan-akan menjawab menyelesaikan permasalahan ketimpangan struktural penguasaan tanah, ketidakadilan ekonomi, kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta penyelesaian konflik agraria.

Namun, kebijakan dan program RA ini, berbeda dalam praktik dan menyimpang dari cita-cita perubahan sosial dan tujuan RA. Di Papua, pemerintah menetapkan kawasan hutan objek TORA sekitar 1.729.175 hektare atau sekitar 43 persen dari luas objek reforma agraria nasional (4,1 juta hektare). Kebanyakan tanah objek reforma agraria tersebut diperoleh dari kawasan hutan yang telah dilepaskan untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit seluas 1.174.804 ha dan hutan produksi konversi (HPK) yang tidak produktif seluas 391.506 ha.

Penetapan ini dipastikan melanggar hak-hak konstitusional dan hak-hak hukum Orang Asli Papua, karena dilakukan semenamena, tanpa ada konsultasi, sosialisasi, musyawarah dan mufakat bersama masyarakat adat setempat, yang diketahui sebagai penguasa dan pemilik tanah adat. Hal mana, secara defacto hukum adat dan kebiasaan yang hidup dalam masyarakat setempat secara turun temurun merekognisi hak-hak masyarakat adat Papua atas tanah dan kawasan hutan setempat. Meskipun secara hukum, masih belum ada pengakuan pemerintah daerah dan Kementerian Lingkungan Hidup terhadap hak masyarakat atas tanah dan hutan adat di Papua, entah apa alasannya.

Objek RA di Papua sebagian besar berada di kawasan hutan dan HPK yang dikonversi untuk lahan perkebunan, diketahui daerah tersebut masih berkonflik antara masyarakat adat pemilik tanah berhadapan dengan negara dan korporasi sebagai pemegang hak baru menguasai tanah dan kawasan hutan. Karenanya, kebijakan program RA ini justeru mendatangkan kecemasan dan memperluas ketegangan.

Program RA ini juga dicurigai sebagai alat baru penguasa untuk mengkontrol dan memiliki tanah, melalui dan atau mengatasnamakan masyarakat. Dalam konteks misi RA di Papua, seharusnya program RA diarahkan pada pengakuan perlindungan terhadap hak-hak atas tanah dan penyelesaian konflik agraria. Isu lain terkait dengan siapa yang menjadi subjek RA? Apakah orang asli Papua (OAP)? Jika subjeknya OAP tentunya tidak tepat karena tujuan dan sasaran RA adalah penduduk tanpa tanah?

OAP bukan masyarakat tanpa tanah, mereka bermasalah dengan perampasan tanah dan penyingkiran akses atas tanah. Lalu, jika dimaksudkan sebagai subjek adalah penduduk baru yang didatangkan dari luar tanah Papua? bukankah ini akan menimbulkan masalah baru dan tidak sejalan dengan aspirasi OAP untuk membatasi penduduk baru datang?

Ketegangan horizontal sudah terjadi dibeberapa daerah terkait dengan kepentingan ekonomi yang berbeda dan praktik diskriminasi. Pemerintah telah menerbitkan kebijakan program memfasilitasi kelembagaan koperasi sebagai wadah pembangunan kebun masyarakat terkait program redistribusi lahan. Program ini sangat menguntungkan perusahaan yang seharusnya bertanggung jawab memfasilitasi pengembangan kebun masyarakat.

Di Papua, tidak banyak OAP terlibat secara penuh dalam seluruh tahapan kegiatan usaha perkebunan skala luas, karena masih baru dalam pengetahuan dan budaya mereka. Kebanyakan OAP dilibatkan hanya saat awal pekerjaan yang membutuhkan tenaga fisik. Jika subjeknya OAP dan diwadahkan dalam koperasi, tanpa terlibat sepenuhnya dalam kegiatan produksi perkebunan dan menggantungkan pada perusahaan, maka yang terjadi koperasi ‘berjenggot’ mengakar keatas, kepada pemodal yang mengendalikan kebun. Artinya, kebijakan ini justeru menjadi jalan baru melegalkan perampasan tanah dan kontrol kegiatan produksi pada korporasi, yang sudah pasti eksploitatif, tidak adil dan merugikan masyarakat.

Pada akhir Desember 2016, Menteri Pertanian dan Panglima TNI, membuat kesepakatan kerjasama untuk percepatan pelaksanaan program pembangunan pertanian tahun 2016 dan 2017. Program kerjasama ini bagian dari program percetakan sawah baru. Ombudsman RI pernah mempermasalahkan keterlibatan TNI dalam program ini, alasannya tidak ada dukungan regulasi yang patut, hanya berdasarkan Nota Kesepahaman.

Semestinya harus ada keputusan politik presiden, namun SK dimaksud belum diterbitkan. Pelibatan TNI juga tidak sesuai dengan peran dan fungsi sebagai penjaga keamanan utama negara. Ombudsman juga menduga program percetakan sawah baru tidak dilakukan dengan kajian yang baik. Ini Alasan Ombudsman Persoalkan TNI Terlibat Urusan Petani.

Beberapa waktu lalu, program percetakan sawah baru yang dilaksanakan oleh Kementerian BUMN mempunyai masalah korupsi dan menjerat Menteri BUMN, Dahlan Iskan, serta salah satu penyidik Bareskrim Polri Ajun Komisaris Besar Polisi Raden Brotoseno. Di Papua, TNI bekerjasama dengan Dinas Pertanian melakukan Upsus Pajale, singkatan dari Upaya Khusus dengan tanaman padi, jagung dan kedelai, wujud program ketahanan pangan dan mendukung swasembada pangan nasional.

Di wilayah pesisir tanah Papua, pemerintah daerah setempat merencanakan pembukaan sawah baru seluas rata-rata 1000 hektare per kabupaten dan melibatkan TNI sebagai penanggung jawab pembukaan lahan. Belum ada dokumentasi dan informasi data memadai terkait upaya khusus perluasan sawah baru, utamanya terkait dengan objek dan subyek penerima manfaat.

Program ini sepertinya mengulang program swasembada beras pada tahuan 1980 an, hanya menguntungkan bagi para imigran dari luar Papua, yang mempunyai pengalaman menggarap sawah. OAP mempunyai pengetahuan dan budaya ekonomi dari meramu hasil hutan dan dusun sumber pangan, tetapi bukan itu menjadi sasaran, mungkin karena dianggap tradisional, berskala kecil, tidak cocok dengan kebutuhan pembangunan nasional dan tidak dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.

Di daerah pengembangan transmigrasi di Merauke, Nabire, Jayapura dan Sorong, program percetakan sawah dapat berjalan. Namun di daerah tertentu yang didiami penduduk asli, seperti di Kampung Waijan, Distrik Salawati, Kabupaten Raja Ampat, dan Kampung Senderawoi, Distrik Rasiei, Kabupaten Teluk Wondama, kawasan hutan dan dusun sagu milik masyarakat setempat digusur dan dibuat sawah baru oleh aparat TNI setempat, tanpa ada ijin. Masyarakat tidak berani protes atau menolak program ini. Lahan sawah baru terbengkalai dan tidak jelas siapa penerima manfaat.

Penutup

Pemerintah harus menghentikan perampasan tanah masyarakat adat Papua karena bertentangan dengan konstitusi dan melanggar hak asasi manusia. Paradigma dan kebijakan pembangunan yang mengutamakan kepentingan pertumbuhan ekonomi dan berbasis pada modal besar harus diubah menjadi kebijakan pembangunan yang menjunjung tinggi HAM, mengutamakan keadilan, pengetahuan dan kepentingan masyarakat adat Papua, serta keberlanjutan lingkungan alam.

Pemerintah harus menyelesaikan permasalahan pelanggaran HAM di masa lalu dan menghentikan pendekatan keamanan dalam berbagai kegiatan sosial ekonomi, hukum dan politik. Penyelesaian dimaksud tidak hanya berhenti pada komitmen, tetapi diperlukan langkah dan aksi-aksi nyata, termasuk pemulihan hak-hak korban dan keluarganya. Bagaimanapun pendekatan keamanan dan pelanggaran HAM yang terjadi selama ini mengesankan sistem kolonialistik dan tidak mencitrakan negara demokratik sebagaimana tertuang dalam konstitusi. Kami juga mendesak kepada pemerintah secara sungguh-sungguh memenuhi, mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak konstitusional masyarakat adat Papua, termasuk hak atas tanah.

Perwujudan dari pemenuhan hak tersebut tidak hanya sebagai SK (Surat Keputusan) pengakuan “yang belum terjadi”, tetapi juga meninjau kembali dan mencabut ketentuan kebijakan dan perijinan perusahaan yang melanggar dan merugikan hak-hak masyarakat adat, yang menyebabkan terjadinya perampasan tanah dan mengancam kelestarian lingkungan hidup, serta menyelesaikan konflik-konflik perampasan tanah.

Peran aktivis dan organisasi perjuangan HAM, masyarakat adat dan lingkungan, harus dihormati dan dilindungi. Hakikat penghormatan terhadap HAM artinya pemerintah maupun korporasi harus menghargai hak-hak dasar warga untuk hidup bebas dari penyiksaan dan perlakuan kejam yang tidak manusiawi, bebas berekspresi, bebas menentukan pembangunan.

Pemerintah harus melindungi dan mencegah para aktivis dari tindakan yang tidak manusiawi. Perwujudan dari upaya pemenuhan hak-hak para aktivis adalah pemerintah juga harus meninjau kembali dan memberikan kebebasan pada para tahanan politik dan keadilan bagi korban kriminalisasi yang ditahan karena aksi protes terhadap perampasan tanah. Pemerintah wajib mengusut, mengadili dan memberikan hukuman secara adil kepada pelaku-pelaku tindak pidana kekerasan yang mengorbankan masyarakat dan aktivis.

 

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru