JAKARTA- Saat ini Tentara Nasional Indonesia (TNI) berjalan tanpa arahan Nasional Security Council (NSC) atau Dewan Keamanan Nasional yang posisinya tidak bisa digantikan oleh Menkopolhukam. Sehingga terjadi gagal paham tentang pertahanan dan keamanan negara di tengah perubahan peta kekuatan global. Hal ini disampaikan Analis Pertahanan dari Indonesia Institute For Maritime Studies, DR. Conny Rahakunduni Bakrie kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin(7/3).
“Hal ini terjadi karena kita (Indonesia) tidak ada NSC. NSC di jegal terus oleh Undang-undng Keamanan Nasional. Puncak kekacauan akibat gagal paham itu adalah pandangan ‘1.000 friends zero enemy’ atau minimum essential forces,” jelasnya.
Connie Rahakundini Bakrie menjelaskan turunan dari NSC adalah national interests (kepentingan nasioal), goals and priorities (capaian dan prioritas), integrating instruments of national power (instrumen kekuatan nasional yang terintegrasi), national security (keamanan nasional), directives (penetapan arah keamanan nasional)
NSC menurut Conny Rahakunduni Bakrie beranggotakan Presiden, Menteri Pertahanan dan Menteri Luar Negeri. Kementerian Pertahanan merumuskan strategi pertahanan berupa tujuan-tujuan strategis, bagaimana mencapai tujuan strategis, implementasi guidlines, dan strategic risk management (strategi manajemen atas resiko)
Strategi militer menurutnya dirumuskan oleh Panglima TNI berupa national military objectives (tujuan militer secara nasional), menetapkan misi, tugas-tugas, states desired capabilities (target kapasitas negara) dibidang militer, attributes priorities strategic (strategi prioritas), military risk assessments (assessments resiko militer) dan regional assessments (assessment regional)
“Dari sini baru turun ke trimatra terpadu yang ditentukan oleh kepala-kepala staf berupa joint principles and attributes, joint operating concepts, functional concepts, full-spectrum dominance. Gelar kekuatan berupa command and control, battlespace awareness, focused logistics dan military protection,” jelasnya.
Gagal paham karena ketiadaan NSC menurutnya berakibat Kementarian Pertahanan tidak memiliki kebijakan outward looking defence sesuai dengan visi penguasaan 2 samudera dan dirgantaranya. Kementerian Luar Negeri tidak memiliki pengetahuan tentang negara mana yang menjadi ancaman Operasi Militer Perang (OMP) langsung atau tidak langsung. TNI sendiri tidak memiliki kemampuan outward looking military. Padahal dokrin untuk operasi militer perang sejatinya adalah offensive passive, bukan lagi defensive aktif.
“Kebingungan dalam membedaan penggunaan kekuatan TNI dalam Operasi Militer Perang (OMP) dengan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Menteri Susi koq bisa menjadikan TNI jadi satgas. Mendagri Tjahjo Kumolo malahan bisa mendeployed Satpol PP untuk menghadapi teroris. TNI dipakai untuk penggusuran Kalijodo dan lainnya,” jelasnya.
Dalam ketahanan energi kekacauan menurut Connie Rahakundini Bakrie terlihat pada kasus Blok Masela yang berujung rebutan proyek dan gagal melihat Blok Masela sebagai objek vital nasional (ovitnas) dan aspek pertahanan pada pulau-pulau terdepan yang strategis dan kaya sumber daya.
“Sehingga Indonesia dapat memiliki TNI yang outward looking defence seperti yang dirancang pada tahun 1998. Tetapi pemerintahan sipil tidak komit alias tidak membiayai TNI menjadi tentara sungguhan dengan alasan defence budget yang terbatas,” ujarnya.
Sehingga menurutnya, jika dibandingkan pada Operasi Militer Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMPS) negara-negara normal lainnya adalah tentara yang mengurus terorisme, transnational crime (kejahatan antar negara) dan enviromental degradation (kerusakan lingkungan hidup), natural resources (urusan sumberdaya alam), disease (penyakit) dan aspek human security (keamanan manusia).
Di Indonesia menurutnya Operasi Militer Perang (OMP) TNI malah menjadi operasi patroli terkordinasi, operasi pengamanan ovitnas, operasi pengamanan VVIP, operasi perdamaian dunia, operasi bantuan kepada Polri, operasi bantuan bencana, operasi SAR, operasi penegakan ketertiban (gaktib) dan yustisi, operasi angkutan laut militer, operasi bantuan kepada pemerintah, operasi keamanan laut, operasi pengamanan ALKI serta operasi perdamaian kawasan.
“Menjadi aneh misalnya gaktib masuk menjadi tugas TNI, sementara polisi menjadi pasukan militer? Tugas lain sudah ada di badan lain seperti Basarnas dan BNPP. Sementara itu TNI disuruh diam tetapi pemerintahan sipil terlihat semakin tidak jelas arah pembangunan pertahanan,” ujarnya.
Connie Rahakundini Bakrie mengingatkan pesan Presiden Soekarno, ”Bangsa yang tidak mencintai tentaranya, sama dengan harimau yang tidak mencintai taring dan kukunya, sama dengan kerbau yang tidak mencintai tanduknya.” (Web Warouw)